Rabu 28 May 2014 16:56 WIB

Pendidikan Persatuan dalam Keragaman

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Yudi Latif

Secara konsepsional, Indonesia telah memiliki prinsip dan visi kebangsaan yang kuat, yang bukan saja dapat mempertemukan kemajemukan masyarakat dalam kebaruan komunitas politik bersama, melainkan juga mampu memberi kemungkinan bagi keragaman komunitas untuk tidak tercerabut dari akar tradisi dan kesejarahannya masing-masing. Kebijakan pendidikan harus mampu memberi keseimbangan antara pemenuhan tuntuan perbedaan di satu sisi dan persatuan di sisi yang lain.

Untuk masa yang panjang, politik segregasi telah mengantarkan Indonesia sebagai masyarakat plural terkunci dalam situasi "plural mono kulturalisme". Dalam arti, terdiri dari ragam et no- kul tural, tapi hidup dalam kepompong buda ya nya masing-masing tanpa kehendak saling ber bagi.

Political correctnessdituntut untuk mentrasfor- masikan situasi "plural monokulturalisme" menuju situasi "multikulturalisme" lewat berbagai kebijak - an yang mendorong ke arah proses-pro ses penyer- bukan silang budaya (cross-culture fertilization).

Dalam usaha ini, harus dicegah munculnya pemaksaan hegemoni budaya mayoritas atas minoritas, jika perbedaan etnis, budaya, dan agama dikehendaki untuk bisa saling berinteraksi dan hidup berdampingan secara setara dalam komunitas politik bersama.

Masyarakat multikultural hanya bisa diperta hankan oleh suatu budaya politik jika kewargaan demokratis (democratic citizenship) bisa menjamin tidak saja hak- hak sipil dan politik setiap individu (individual rights), tetapi juga hak-hak sosial-budaya ke lompok masyarakat (communitarian rights). Seperti kata Habermas, "Warga harus mam pu mengalami keadilan nilai menyangkut hak- haknya juga dalam bentuk jaminan sosial dan peng akuan timbal balik atas perbedaan ben tuk- bentuk budaya dari kehidupan."

Masalah minoritas bisa dijelaskan dengan fakta bahwa setiap warga negara, bahkan jika dipandang sebagai subjek hukum, bukanlah individu-individu abstrak yang tercerabut dari akar- akar sosialnya. Oleh karena itu, pengakuan terhadap hak-hak budaya minoritas harus dibuka terlebih dahulu sebagai prakondisi menuju pembentukan individu warga negara yang bisa melampaui identitas etnisnya (post ethnic condition).

Dalam kaitan dengan hak-hak individu dan kelompok, David Hollinger (1995) membedakan dua jenis multikulturalisme: (1) "model pluralis" yang memperlakukan kelompok sebagai sesuatu yang permanen, dan sebagai subjek dari hak-hak kelompok (group rights); (2) "model kosmopolitan" yang mengidealkan peleburan batas-batas ke lompok, afiliasi ganda dan identitas hibrida; yang menekankan hak-hak individu (individual rights).

Mengacu pada pengalaman "melting pot-nya" Amerika Serikat, Hollinger lebih mengidealkan model kosmopolitan. Menurutnya, model ini memberi fleksibilitas kepada individu untuk menentukan seberapa ketat atau seberapa cair ikatannya dengan salah satu atau pelbagai komunitas. Dengan demikian, identitas bukanlah sesuatu yang fixed, melainkan senantiasa dalam proses menjadi.

Sementara itu, dengan merujuk pada kebijakan multikulturalisme di Kanada, Will Kymlicka menghadirkan kesimpulan yang lain. Menurutnya, di satu sisi, Kanada menerapkan "model pluralis" dengan mengakui hak-hak aneka kelompok et nis untuk mengekspresikan identitasnya masing-masing di ruang publik, termasuk di sekolah publik. Di sisi lain, Kanada juga mengantisipasi "model kosmopolitan" dengan cara mendorong ber bagai kelompok etnis untuk saling berinteraksi dan berbagi warisan budaya mereka serta berpartisipasi bersama dalam institusi- institusi pendidikan, ekonomi, politik, dan hukum.

Dalam jangka panjang, diharapkan terjadinya proses penyerbukan silang budaya yang bisa men cairkan hambatan-hambatan prasangka an tarkelompok, mendorong hibriditas budaya, yang pada akhirnya lebih memberi keleluasaan bagi individu untuk memenuhi hak dan menentukan pilihannya sendiri.

Bagaimanapun, upaya negara untuk memberi ruang bagi koeksistensi dengan kesetaraan hak bagi berbagai kelompok etnis, budaya, dan agama juga tidak boleh dibayar oleh ongkos yang mahal berupa frag mentasi masyarakat. Oleh karena itu, setiap ke lompok dituntut untuk memiliki komitmen ke bangsaan dengan menjunjung tinggi konsensus nasional, seperti yang tertuang dalam Pan ca sila dan konstitusi negara serta unsur-unsur pemersatu bangsa lainnya, seperti bahasa Indonesia.

Atas dasar itu, pada tingkat sekolah dasar, ba hasa Indonesia mestinya menjadi bahasa pengantar dengan memperhatikan pengajaran bahasa lokal dan dimungkinkan memberikan mata pela- jaran bahasa asing pada kelas akhir. Sekolah dasar dengan menggunakan bahasa asing sebagai bahasa pengantar hanya diperbolehkan bagi warga negara asing.

Kita tidak ingin melihat generasi baru bangsa yang lebih menguasai bahasa asing tanpa kemampuan untuk "menjunjung bahasa persatuan". Bahasa persatuan merupakan medium utama solidaritas kebangsaan, yang menjadi katalis untuk mentransformasikan sukses pribadi ke dalam sukses bersama. Bahasa juga menunjukkan bangsa. Jika tumbuh suatu generasi baru bangsa tanpa kemampuan menggunakan bahasa Indonesia, Indonesia sebagai bangsa akan kehilangan jati dirinya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement