REPUBLIKA.CO.ID, Oleh:Asma Nadia
Selalu ada lebih dari satu cara pandang untuk melihat segala sesuatu. Sederhananya melalui jendela positif atau negatif dan terkait berbagai hal, termasuk busana Muslimah.
Dulu ada istilah jilbab batmanuntuk menggambarkan Muslimah dengan jilbab yang sangat lebar hingga terlihat seperti sayap. Secara syar'i tentu saja bagus berpakaian lebih tertutup. Akan tetapi apakah harus seperti itu? Tidak, meski juga tidak salah. Yang menarik adalah mencermati bagaimana istilah-istilah ini muncul. Entahlah, mungkin sekadar lelucon, sindiran, atau justru saat itu memang ada yang ingin mendiskreditkan Muslimah berjilbab lebar. Wallahu a'lam.
Ketika kuliah, satu dua Muslimah sempat menegur cara saya berjilbab yang menurut mereka kurang panjang. Padahal jilbab yang saya pakai selalu menutup dada dan baju saya pun sama sekali tidak ketat atau tipis. Pendeknya insya Allah memenuhi alasan syar'i. Protes lain yang pernah saya terima dari pembaca buku saya yang melihat foto-foto di instagram @asma nadia.
Di sana beberapa kali tampak saya memakai celana panjang, bu kan dengan rok atau gamis karena alasan mobilitas, khususnya saat travelingsendiri.
Masukan ini tentu saya terjemahkan sebagai tanda sayang, meski menurut saya, sepanjang tidak ketat, tidak memperlihatkan lekuk tubuh, maka bercelana panjang--apalagi dengan atasan wajar dan minimal sebatas lutut--masih memenuhi syarat. Sebab celana panjang berbeda dengan legging. Saya sama sekali tidak menganjurkan legging dipakai para Muslimah karena menempel ketat hingga bentuk lekuk tubuh menjadi sangat terlihat. Tegasnya, legging merupakan dalaman, bukan luaran.
Beberapa tahun terakhir muncul istilah hijab dan hijaber. Hijaber diidentikkan dengan mereka yang memakai penutup rambut bergaya modis dan fashionable. Ada yang jilbab atau pashmi- nanya dililit, digelung, dibuat hingga mirip wig, dan berbagai mode lain. Tren ini bagi sebagian masyarakat yang fanatik dan terbiasa dengan jilbab sederhana masih dianggap kurang syar'i. Benarkah?
Menurut saya, berbagai jilbab atau penutup kepala yang dipakai hijaber tetap masuk kategori syar'i sepanjang menutup dada, tidak transparan, dan tidak ketat. Mengikut mode tidak berarti lantas melanggar syar'i.
Sebaliknya, upaya syar'i tidak selalu harus menjauhi mode. Keduanya bisa beriringan sepanjang yang menjadi prioritas pertama adalah ketentuan syar'i dan bukan modisnya. Malah dibanding kerudung zaman dulu yang tipis, transparan, serta asal menempel di kepala dan kerap jatuh ke leher, jilbab para hijaber ini jauh lebih mendekati syar'i.
Istilah hijaber masih marak, terbaru muncul istilah jilboobs atau jilboober yang merupakan gabungan dari kata jilbab dan boobs (payudara). Istilah ini, sebagaimana namanya, menggambarkan kelompok wanita berjilbab tapi tidak menutup dada, bahkan bagian dada dibiarkan membentuk di balik baju dan kemudian menjadi pembicaraan.
Bagaimana menyikapinya? Pertama, sama- sama kembali dulu pada konsep syar'i berpakaian islami. Ada tiga unsur terpenting, yaitu pertama tertutup, kedua tidak transparan (percuma jika tertutup tetapi tembus pandang), dan ketiga tidak membentuk. Saya sepakat bahwa berjilbab tapi membiarkan bagian dada membentuk, tidak syar'i. Hanya saja, saya tidak sepakat untuk memberi mereka--yang bagaimanapun sudah berkomitmen ber proses dan menutup aurat--julukan yang melecehkan.
Secara pribadi, saya tetap menghargai Muslimah yang berusaha untuk mengenakan jilbab, terlepas sempurna atau tidak, sebagai sebuah proses mendekat kepada Allah. Jangan sampai berbagai julukan negatif justru menjauhkan Muslimah yang baru hijrah dari Islam. Jangan sampai sikap apriori banyak pihak justru membuat mereka yang mulai berjilbab kemudian menjauh dengan alasan, "Sudah pakai jilbab aja masih diomongin, mending nggak usah pakai sekalian!"
Hargai proses iman yang tentu berbeda bagi setiap orang. Bukan tidak mustahil, upaya mereka berjilbab meski tidak sempurna menuai banyak tantangan dan menjadi perjuangan yang luar biasa sulit. Bagaimanapun keputusan berjilbab tetap langkah yang baik. Seiring waktu, doakan mereka yang berjilbab terbuka dan berbaju ketat perlahan menyesuaikan diri dan berjilbab lebih syar'i.
Bagi saya, jilbaber, hijaber, pendeknya semua Muslimah adalah bersaudara. Dan sesama saudara tentu tak akan saling mencela. Sebab, sekecil apa pun potensi kebaikan pada seseorang hendaknya kita iringi dengan prasangka baik dan mendoakan agar setiap langkah yang diambil Muslimah kita menjadi awal mendekat ke ridha Allah.
Yang lebih saya khawatirkan, jika istilah jilboob merupakan rekayasa pihak-pihak luar yang justru menggunakan fenomena ini untuk kepentingan pribadi atau merusak citra Islam. Mereka mengumpulkan gambar-gambar wanita berjilbab yang dadanya terbentuk, tanpa izin, lalu menempatkan gambar tersebut di internet, bahkan melinknya pada situs pornografi yang menampilkan perempuan dengan jilbab tapi berpose porno. Sesuatu yang jelas-jelas merupakan pelecehan agama dan seharusnya ditindak, minimal dilaporkan agar situs atau akun sosial media yang menampilkan ini ditutup.
Di sisi lain, ambil sindiran jilboobs sebagai sebuah motivasi melakukan introspeksi. Musimah yang sudah mulai menutup aurat barang - kali bisa mempertimbangkan menyempurnakan busana Muslimahnya daripada menjadi korban fitnah karena foto-fotonya dimanfaatkan untuk situs yang melecehkan Islam dan perempuan.