REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif
Ada keluhan panjang dan meluas tentang adanya jurang yang lebar antara idealitas Pancasila dengan realitas kehidupan. Tantangan bangsa Indonesia adalah bagaimana mencetak nilai-nilai ideal Pancasila itu menjadi karakter kebangsaan melalui pendalaman pemahaman, peneguhan keyakinan, dan kesungguhan komitmen untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila itu dalam segala lapis dan bidang kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.
Untuk itu, diperlukan pendekatan sosialiasi Pancasila secara lebih kreatif dan holistik, meliputi dimensi kognitif, afektif, dan konatif, yang dapat memengaruhi pola pikir, pola sikap, dan pola tindak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Dalam kaitan ini strategi komunikasi memainkan peran penting agar Pancasila benar-benar menjadi karakter kebangsaan yang efektif sebagai kategori keyakinan, pengetahuan, dan perbuatan.
Dalam strategi komunikator, harus ada pergeseran dari pendekatan sosialisasi Pancasila yang bersifat vertikal menjadi horizontal. Di masa lalu, negara menjadi agen tunggal komunikator Pancasila: negara yang mengambil inisiatif, negara yang menafsirkan, dan negara pula yang menatar.
Dengan melayani kepentingan vertikal, pendekatan komunikasi bersifat satu arah, dari atas ke bawah. Di masa depan, strategi komunikator Pancasila ini harus bersifat horizontal. Sesuai dengan nilai dasar Pancasila yang menekankan semangat kegotongroyongan, sosialisasi Pancasila harus melibatkan partisipasi dan keahlian segenap komponen bangsa.
Guru, alim ulama, tokoh masyarakat, musisi, wartawan, usahawan, olahragawan, dan berbagai profesi lainnya harus disertakan. Adapun tugas negara hanyalah memfasilitasi peran serta “ratusan sungai” ini agar mengalir menuju muara impian bersama.
Dalam strategi pesan, isi sosialisasi Pancasila harus mengakhiri kecenderungan untuk menekankan dimensi kognitif yang bersifat legalistik-formalististik yang menjemukan. Pesan Pancasila harus dapat menyentuh aspek afektif, yang dapat mematri rasa kepercayaan terhadap Pancasila di dalam hati. Pesan Pancasila juga harus dapat menjangkau aspek konatif, yang dapat mendorong komunikan untuk secara sukarela siap mengamalkan nilai-nilai Pancasila itu dalam perbuatan nyata.
Agar pesan bisa disampaikan secara efektif, strategi media komunikasi menjadi sangat menentukan. Di masa lalu, media sosialisasi Pancasila bersifat monolitik dengan mengandalkan media komunikasi kelompok yang bersifat statis dan konvensional (dengan ceramah satu arah).
Di masa depan, sosialiasi Pancasila harus mendayagunakan segala medium komunikasi yang dapat digunakan sesuai dengan konteksnya. Terlebih dengan kelahiran generasi X, Y, Z yang terbiasa menggunakan berbagai bentuk media baru, maka pilihan media sudah semestinya beralih ke strategi media campuran secara lebih kreatif dan dinamis sesuai dengan perkembangan zaman.
Keterbatasan dan memudarnya efektivitas peran agen tradisional (keluarga, organisasi keagamaan, kekerabatan) dalam sosialisasi nilai-nilai moralitas, akan semakin memperkuat peran media dalam membentuk karakter seseorang. Melesatnya perkembangan televisi swasta, meluasnya terpaan media, timbulnya rumah-rumah produksi, pesatnya penggunaan media baru, dan meruyaknya wacana dampak media massa, merupakan bukti kian kuatnya cengkeraman pengaruh agen modern ini.
Media memainkan peran penting dalam sosialisasi moral publik serta sebagai jembatan yang menghubungkan anak-anak dengan dunia kehidupan. Dalam mengatasi krisis sosial, media bisa berperan penting dalam proses belajar sosial, pemberian role model yang positif, serta pemberian label yang sesuai dengan tuntutan.
Menurut Joseph Klaper (1960), media massa cukup efektif terutama dalam mengubah sikap seseorang pada bidang-bidang di mana pendapat dan “keyakinan” orang dalam hal itu lemah, dangkal, dan kurang dianggap begitu prinsip. Sedangkan dalam hal-hal penting, pengaruh media, menurut David Philips (1972) akan kuat daya tularnya terhadap orang-orang rendah diri, kurang kasih sayang, sering gagal, kehilangan pegangan hidup, dan teralienasi.
Di sini kita melihat bahwa tayangan media bisa memberi banyak perubahan dalam pembentukan karakter seseorang, untuk kebaikan atau keburukan. Peran dan fungsinya konstruktif sejauh media tersebut mampu mengarahkan seseorang ke dalam proses belajar sosial yang baik, dengan menyediakan acara-acara yang menyediakan informasi dan role model yang positif.
Peran dan fungsinya bersifat destruktif jika siaran media hanya menyediakan informasi kekerasan, perselingkuhan, serta hiburan-hiburan yang merangsang gaya hidup konsumeris dan kesenangan tanpa kerja keras serta role model yang menyimpang dari tuntutan moralitas.
Peran positif dan negatif media ini kian genting seiring dengan pesatnya perkembagan teknologi komunikasi baru yang membuat terpaan media menjadi fenomena yang serbahadir (ubiquity). Tak salah jika media disebut sebagai “Tuhan Kedua” (the Second God) yang menurut George Gerbner (1967), merupakan mesin ideologi yang paling ideal.
Sebagai mesin ideologi, media bisa berperan penting dalam memberikan label, status, dan nilai pada sesuatu. Kecenderungan media untuk senantiasa memberi label positif pada produk-produk asing, memberi dampak kuat dalam pola identitikasi dan asosiasi masyarakat yang cenderung menyukai produk-produk asing seraya menyepelekan produk-produk dalam negeri. Demokrasi Amerika dijadikan rujukan ideal, sementara demokrasi Pancasila ditertawakan. Buah-buahan dari Bangkok diburu, sementara buah-buahan lokal diabaikan, dan seterusnya.
Dalam krisis karakter yang bisa mengarah pada kehancuran semua, pelibatan tanggung jawab dan komitmen media menjadi sangat penting. Di negara liberal seperti Amerika Serikat sekalipun, tanggung jawab media terhadap karakter bangsa menjadi komitmen bersama. Di sana, dari sepuluh film atau tayangan yang diproduksi TV dan rumah produksi, setidaknya harus ada tiga film atau tayangan yang bersifat edukatif dan patriotik. Tanggung jawab dan komitmen publik seperti ini mestinya lebih mengemuka di negara kita yang lebih mengedepankan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.
Pada akhirnya, pergeseran juga harus berlangsung dalam strategi komunikan, seiring dengan perubahan pola komunikator dari pendekatan vertikal ke horizontal. Di masa lalu, Pancasila merupakan alat kontrol negara terhadap rakyatnya. Di masa depan, Pancasila harus menjadi pedoman rakyat untuk mengkritik kebijakan negara. Maka dari itu, jika di masa lalu rakyat ditempatkan sebagai komunikan utama sosialisasi Pancasila, di masa depan justru aparatur negaralah yang menjadi sasaran utamanya.
Hal ini sesuai dengan pokok pikiran keempat dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, “Negara berdasar atas ke-Tuhanan, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu undang-undang dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara, untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.”
Berdasarkan pokok pikiran ini, sebelum pemerintah mengharapkan rakyatnya mau mengamalkan nilai-nilai karakter Pancasila, terlebih dahulu aparatur negaralah yang pertama-tama harus menunjukkan keteladanan dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila.