REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia
Saya punya kebiasaan menikmati pemandangan ketika naik pesawat terutama saat masih terlihat daratan. Salah satu yang terpampang jelas adalah hijau pepohonan yang rapih berbaris di hamparan sangat luas. Khususnya ketika pesawat terbang di atas pulau Sumatera. Tanpa harus menghitung, jelas terlihat betapa luasnya hutan yang kemudian dijadikan perkebunan.
Jika sempat berkunjung ke perkebunan tersebut, kita akan menemukan lahantersebut bukan tanah yang bebas dikunjungi. Ada batas-batas jelas kepemilikannya. Ada penjagaan, ada pengawasan.
Salah satu buktinya saat kasus nenek Minah yang diadili karena dianggap mencuribeberapa biji kopi di satu perkebunan. Peristiwa ini menunjukkan kepemilikan atas lahan itu, tetap terdapat batasan, hingga pihak luar tidak boleh mengambil apa pun dari area milik perusahaan.
Anehnya, sekali lagi ini anehnya, para pemilik yang memiliki otoritas kuat atas perkebunan masing-masing, sama sekali tidak tersentuh ketika kebun mereka terbakar atau menyebabkan kebakaran.
Seperti kondisi saat ini, di mana tanah air kembali dilanda masalah asap. Ribuan titik api muncul di Sumatra dan Kalimantan. Penerbangan terganggu, kegiatan ekonomi terpengaruh jelas, dan kesehatan masyarakat terancam.
Dari peta api bisa terlihat mana kebakaran hutan yang terjadi di wilayah kepemilikan pemerintah dan mana di bawah pengelolaan milik swasta. Khusus kebakaran yang terjadi di wilayah swasta, seharusnya pengusaha yang selama ini telah mengeruk keuntungan banyak atas lahan, bertanggung jawab atas segala akibat yang disebabkan usahanya.
Benar, kadang kebakaran hutan timbul karena gesekan panas di bawah tanah, terutama di lahan gambut saat musim kemarau, dan menimbulkan kebakaran hutan yang sulit diatasi, karena api menjalar di bawah tanah (tidak terlihat) tapi menimbulkan asap yang meluas.
Sekalipun sering dianggap berlangsung alamiah, sebenarnya kebakaran ini pun diawali ulah manusia (baca: pengusaha). Lahan gambut sejatinya merupakan lahan yang lembab, namun karena digali untuk pembuatan sungai buatan untuk mengirim kayu misalnya, air yang sebelumnya diam dalam lembabnya gambut, mengalir, menyebabkan gambut menjadi kering dan mudah terpercik api.
Kebakaran karena human error – sebetulnya lebih tepat ketamakan dan kelalaian manusia – biasanya disebabkan pembakaran hutan secara sengaja untuk penghematan biaya, atau yang diakibatkan puntung rokok.
Yang seharusnya menjadi sorotan dan keperihatinan utama adalah betapa pihak pengelola hutan, terlepas apa pun penyebab kebakarannya, seolah bisa dengan leluasa bebas dari tanggung jawab atas kebakaran hutan. Seakan, api yang menyala-nyala dan menjalar merupakan fenomena alam biasa. Pada akhirnya pemerintah dalam hal ini Depertemen Kehutanan juga BNPB yang harus berjibaku memadamkan api.
Padahal Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan Raffles B. Panjaitan mengungkap 73% kebakaran terjadi di kawasan non hutan. Sejak 1 Januari s.d. 16 September 2014 ada 20.253 titik api dan sebagian besar bahkan bukan di area hutan.
Efek yang ditimbulkan tak hanya di tanah air. Juni 2013, krisis asap turut memicu pertikaian diplomatik. Indonesia menuduh perusahaan-perusahaan asal Malaysia dan Singapura yang berbisnis perkebunan di Sumatera dan Kalimantan, termasuk di antara mereka yang dengan sengaja membakar hutan, selain perusahaan asal Indonesia.
Terlepas asalnya, penting sekali bagi pemerintah untuk memberlakukan semacam sangsi, mulai dari denda hingga lebih berat lagi agar para pengelola perkebunan tidak semata mengambil keuntungan, tapi juga bertanggung jawab.
Bagaimanapun kebakaran hutan adalah sesuatu yang terjadi berulang sehingga seharusnya bisa diantisipasi. Di Singapura, Parlemen meloloskan undang-undang yang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menjatuhkan denda hingga 1,6 juta US Dollar, kepada perusahaan yang mempunyai kantor di negara itu, dan terbukti menyebabkan atau berkontribusi terhadap kebakaran hutan.
Pemerintah Indonesia jika mau, tentu bisa melakukan hal serupa sehingga tanggung jawab pencegahan kebakaran hutan juga menjadi perhatian semua pihak. Jangan sampai pengelola hutan bertindak seperti raja di lahan yang dikelolanya ketika mencari keuntungan, namun saat terjadi kebakaran hutan, pemerintah yang menanggung resiko dengan mengorbankan uang rakyat. Padahal rakyat di sekitar hutan sekalipun, sejauh ini mungkin tidak terlalu merasakan manfaat, malah justru sebagai korban dan penanggung kerugian akibat kegiatan para pengusaha hutan.
Sekali lagi rasa keadilan kita diuji.
Saatnya bertindak.
Kebakaran hutan yang terjadi sudah memberi dampak kerugian ekonomi hingga Rp 20 triliun dan mengakibatkan 50 ribu orang terserang radang saluran pernapasan (ISPA). Sampai kapan akan terus dibiarkan?