REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
Sino-Islamic cultural sphere, ranah budaya Islam Cina yang secara sederhana mencakup seluruh kawasan Asia Timur, dalam kerangka yang saya bangun, adalah salah satu dari delapan ranah budaya Islam secara keseluruhan. Tujuh ranah budaya Islam lain: Nusantara (Asia Tenggara), Anak Benua India, Persia (Iran), Arab, Turki, Afrika Hitam (Sub-Sahara Afrika), dan belahan dunia Barat (Western hemisphere).
Setiap ranah budaya Islam memiliki distingsi sendiri dalam ekspresi sosial, budaya dan politik, dan pengamalan keislaman. Karakter dan distingsi ranah budaya Sino-Islamic menjadi subjek pembicaraan penulis “Resonansi” ini dalam ceramah di Chinese University of Hong Kong (CUHK) pada 8 Oktober 2014 lalu.
Distingsi itu, misalnya, paling terlihat jelas dalam arsitektur masjid khas Cina berwarna merah yang bukan tidak mirip “kelenteng”. Ceramah agama, khutbah Jumat, bacaan al-Fatihah, dan doa dalam bahasa Arab ketika shalat terasa kental dengan aksen vernakular-bahasa lokal.
Lebih jauh, kolega saya dari Universitas Hawaii, Profesor Dru Gladney, yang merupakan salah satu pakar paling terkemuka tentang Islam Cina, menyatakan, pusat sosial-keagamaan Muslim Cina selain masjid adalah kuburan pendahulu. Hal terakhir ini terkait dengan tradisi budaya masyarakat Cina secara keseluruhan yang sangat menghormati para leluhur.
Sejarah dan tradisi Sino-Islamic sangat panjang. Kaum Muslimin Cina daratan (mainland) memiliki “ingatan bersama” (collective memory), Islam sudah menyebar dan berakar kuat di Kanton (kini Guangzhou) dan Pulau Hainan sejak abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi.
Menurut mereka, Islam dibawa seorang “Saad” yang konon sahabat Nabi Muhammad. Beberapa waktu lalu saya pernah bertanya kepada pemimpin Muslim di Guangzhou dan Xi'an, apakah “Saad” itu adalah Saad ibn Abi Waqqas, mereka tidak bisa menjawab atau memastikannya.
Adanya eksistensi Sino-Islamic sejak abad ke-8 Masehi tampaknya menjadi dasar bagi munculnya teori Slamet Muljana dalam “Runtuhnya Kerajaan Hindu Djawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam Nusantara” (1968) bahwa sedikitnya enam orang Wali Songo adalah keturunan ulama Cina. Sebagai konsekuensinya, Islam Indonesia juga berasal dari Cina. Ia juga berpandapat, pendiri dan beberapa raja Kerajaan Demak adalah Muslim keturunan Cina.
Teori Slamet Muljana jelas sangat kontroversial dan karena itu ditolak banyak sejarawan dan ahli sejarah Islam Indonesia seperti Profesor HAMKA. Memegangi teori tentang asal usul Islam Indonesia dari Mesir, HAMKA menolak teori Slamet Muljana. Di tengah suasana masih kuatnya sentimen anti-Cina-terkait G30S/PKI yang dihubungkan dengan Republik Rakyat Cina (RRC), pemerintah Orde Baru melarang penerbitan dan pengedaran buku tersebut.
Bagi penulis “Resonansi” ini yang memperkenalkan teori “mata air” tentang asal usul Islam Nusantara, sangat boleh jadi Islam juga datang dari Cina-sebagai sebuah “mata air”. Hal ini sama halnya dengan adanya “mata air” lain seperti Kelantan, Benggali, Persia, dan Mesir. Tetapi, “mata air” paling besar adalah dari Arabia yang mencakup Irak, Yaman, sampai Makkah dan Madinah.
Jadi, dengan adanya sejumlah bukti tentang hubungan Islam Cina dengan Islam Nusantara, bukan tidak mungkin sebagian penyiar Islam juga datang dari wilayah Cina ke Nusantara. Hal sangat mungkin karena adanya hubungan pelayaran dan kehadiran pengembara Cina seperti Laksamana [Muhammad] Cheng Ho di sejumlah pelabuhan di kepulauan Nusantara.
Dengan adanya wilayah dan tradisi Sino-Islamic yang begitu panjang, penulis “Resonansi” ini dalam ceramah dan diskusi di CUHK berpendapat, pembentukan Islamic studies di universitas ini sangat tepat. Selain itu, perkembangan dan dinamika Islam, baik di Hong Kong sendiri dan wilayah daratan Cina serta dunia internasional lebih luas, memerlukan pengetahuan dan pemahaman lebih baik dan lebih akurat tentang Islam dan masyarakat Muslim.
Karena itu, the Islamic Studies Initiative (ISI, Inisiatif Kajian Islam) yang diluncurkan di CUHK pada September 2013 merupakan langkah sangat tepat dan sudah lama ditunggu. Inisiatif ini merupakan hasil dari persetujuan antara CUHK yang diwakili Research Institute for the Humanities (RIH CUHK) dengan Islamic Cultural Association (ICA) Hong Kong. Pihak terakhir ini bertanggung jawab menyediakan dana yang diperlukan untuk pembentukan dan penguatan Kajian Islam di CUHK.
Dalam bacaan penulis “Resonansi” ini, kerja sama seperti ini agak jarang terjadi. Pada satu pihak terdapat universitas (CUHK) yang bertumpu pada pengajaran dan penelitian akademik ilmiah, sedangkan pada pihak lain adalah ICA yang merupakan organisasi keagamaan, dakwah, dan sosial-budaya Islam yang bergerak di atas ukuran normatif Islam. Dalam sejumlah kasus lain, bukan tidak sering kedua belah pihak semacam ini sulit dipertemukan, dan bahkan terjadi 'ketegangan'.
Kajian Islam jelas merupakan hal baru di lingkungan universitas di Hong Kong. Subjek mengenai Islam boleh dikatakan absen dalam program universitas. Barulah pada pertengahan dasawarsa 2000-an, subjek tentang Islam ditambahkan ke dalam kurikulum sebagai komponen minor dalam Kajian Agama. Meski bermula sebagai subjek “minor”, perlahan tapi pasti Kajian Islam di Hong Kong kian menemukan momentum.