Sabtu 22 Nov 2014 06:00 WIB

Bijak Mengalokasikan Dana Subsidi

Asma Nadia
Foto: Republika/Daan
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia

Saya termasuk yang percaya bahwa kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) atau menghilangkan subsidi BBM adalah sesuatu yang memang harus dilakukan. Karenanya saya tidak menganggap hal itu sebagai kesalahan atau pengkhianatan Presiden terhadap rakyat, seperti yang banyak didengungkan.

Saya justru percaya kebijakan tersebut dalam jangka panjang sangat penting bagi rakyat. Terlebih subsidi BBM telah menggerogoti anggaran belanja negara, menjerumuskan bangsa pada  utang yang tidak perlu, dan lebih buruk lagi dimanfaatkan oleh mereka yang sebenarnya tidak berhak mendapat subsidi.

Tapi saya tidak pernah sepa k at jika subsidi   dialihkan sebagai dana segar yang dicairkan untuk rakyat yang dianggap miskin, mengingat ada banyak cara  lebih bijak yang bisa dilakukan dan jelas dirasakan manfaatnya oleh  mereka .

Dalam upaya mendukung keyakinan itu, saya melemparkan pertanyaan sederhana di twitter @asmanadia. Intinya , upaya apa yang   akan di lakukan untuk berhemat dan menyiasati kenaikan BBM?

Jawaban yang mereka sampaikan   beragam.

"Potongan tempe lebih tipis dari biasanya.”

"Kurangi jalan-jalan."

"Tambah jam lembur."

“Lebih sering naik sepeda, murah dan sehat.”

“Pakai pertamax.”

"Tunggu tebengan kalau keluar."

"Gantian boncengan sama tetangga."

"Cari peluang menambah penghasilan.”

Deret jawaban yang saya kira sedikit banyak mewakili sebagian besar bangsa Indonesia, sepintas tampak sederhana, tetapi sebenarnya cukup menunjukkan bahwa setiap manusia  mempunyai kemampuan adaptasi yang luar biasa.

Untuk menyikapi kenaikan BBM, yang pasti berdampak pada kenaikan harga-harga produk dan jasa , secara umum kita hanya punya dua pilihan yaitu menambah penghasilan atau menghemat pengeluaran.

Bertahan hidup adalah insting manusia .  Jadi tidak peduli miskin atau kaya, tua atau muda, terdidik atau tidak, semua akan mencari cara   bertahan, dan dalam keadaaan normal, pasti akan menemukannya.

Dengan asumsi tersebut sebenarnya pemerintah tidak perlu membagikan dana tunai kepada rakyat miskin, namun harus mencari cara agar alokasi subsidi dialihkan pada pembangunan infrastruktur yang bisa meningkatkan penghasilan rakyat secara umum dan membuat rakyat membayar biaya lebih rendah, karena efisiensi yang dikembangkan pemerintah.

Seandainya saja dana puluhan triliun tersebut 100% dimanfaatkan untuk menambah infrastruktur –-terkait dengan bidang yang menyedot sejumlah besar BBM –-maka akan berdampak berkurangnya konsumsi BBM hingga pada akhirnya sekalipun   harga naik, biaya operasional tidak meningkat.

Ilustrasi sederhananya seperti ini.

Katakanlah Ahmad, seorang pekerja yang kesehariannya menggunakan sepeda motor untuk moda transportasi. K etika harga bensin Rp 6.500 per liter,   motornya menghabiskan 2 liter perhari.  Ini berarti  ia harus menyiapkan uang Rp 13.000 setiap hari untuk BBM . Seharusnya jika infrastruktur baik, 1 liter sehari saja sudah cukup. Pemborosan BBM yang terjadi diakibatkan jalanan macet, sehingga waktu yang ditempuh lebih lama, dan berakibat meningkatnya konsumsi BBM.

Jika kemudian pemerintah menaikkan harga BBM sebesar Rp 2.000 dan menggunakan dana subsidi untuk dibagikan tunai ke rakyat , tidak akan ada perubahan signifikan yang  terjadi. Jalanan tetap   rusak dan macet . Ada sedikit sisa subsidi untuk perbaikan jalan tapi tidak terlalu terasa. Kini , beban Ahmad   per harinya menjadi Rp 17 ribu  untuk  transportasi. Rakyat yang mendapat dana tunai mungkin masih bisa menikmati uang selama 3-4 bulan sebelum kemudian  bersahabat dengan   kesulitan lagi.

Gambaran di atas akan berbeda jika seluruh dana subsidi yang dihemat, dialihkan untuk pembangunan infrastruktur yang secara signifikan mengurangi pemborosan BBM.

Katakanlah dana puluhan triliun tersebut diarahkan untuk  pembebasan tanah,  pembangunan jalan baru , dan pelebaran jalan, serta perbaikan transportasi publik.

Dengan pembangunan tersebut kemacetan berkurang dan waktu tempuh lebih cepat. Bapak bernama Ahmad yang sebelumnya menghabiskan 2 liter sehari untuk transportasi, kini cukup mengkonsumsi 1,5 liter sehari untuk jarak tempuh   sama karena ada penghematan waktu. Sekalipun harga BBM Rp 8.500 per liter, ia hanya perlu mengeluarkan uang sebesar Rp 13 ribu sehari, atau kurang lebih sama.

Bahkan jika infrastuktur membaik, bukan hanya kesulitan si   A yang teratasi, tapi juga  masalah ekonomi secara umum.

Kapal-kapal laut tidak terlalu lama menunggu untuk bongkar muat. Berbagai buah-buahan tidak harus membusuk di jalan karena terlalu lama pengiriman. Ongkos operasional jadi lebih murah, transportasi umum berangsur lebih nyaman, dan berbagai keunggulan bisa dicapai. Pendeknya , dalam jangka panjang, kebijakan tersebut akan jauh lebih bermanfaat daripada membagikan uang tunai ke masyarakat.

Jika subsisidi seluruhnya dialihkan untuk perbaikan  infrastruktur, maka rakyat bisa melihat jelas bahwa memang dana dikembalikan ke rakyat, ada bentuk, wujud  hasilnya, dan tidak menguap entah ke mana.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini

Apa yang paling menarik bagi Anda tentang Singapura?

1 of 7
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement