REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia
Saya termasuk yang percaya bahwa kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) atau menghilangkan subsidi BBM adalah sesuatu yang memang harus dilakukan. Karenanya saya tidak menganggap hal itu sebagai kesalahan atau pengkhianatan Presiden terhadap rakyat, seperti yang banyak didengungkan.
Saya justru percaya kebijakan tersebut dalam jangka panjang sangat penting bagi rakyat. Terlebih subsidi BBM telah menggerogoti anggaran belanja negara, menjerumuskan bangsa pada utang yang tidak perlu, dan lebih buruk lagi dimanfaatkan oleh mereka yang sebenarnya tidak berhak mendapat subsidi.
Tapi saya tidak pernah sepa k at jika subsidi dialihkan sebagai dana segar yang dicairkan untuk rakyat yang dianggap miskin, mengingat ada banyak cara lebih bijak yang bisa dilakukan dan jelas dirasakan manfaatnya oleh mereka .
Dalam upaya mendukung keyakinan itu, saya melemparkan pertanyaan sederhana di twitter @asmanadia. Intinya , upaya apa yang akan di lakukan untuk berhemat dan menyiasati kenaikan BBM?
Jawaban yang mereka sampaikan beragam.
"Potongan tempe lebih tipis dari biasanya.”
"Kurangi jalan-jalan."
"Tambah jam lembur."
“Lebih sering naik sepeda, murah dan sehat.”
“Pakai pertamax.”
"Tunggu tebengan kalau keluar."
"Gantian boncengan sama tetangga."
"Cari peluang menambah penghasilan.”
Deret jawaban yang saya kira sedikit banyak mewakili sebagian besar bangsa Indonesia, sepintas tampak sederhana, tetapi sebenarnya cukup menunjukkan bahwa setiap manusia mempunyai kemampuan adaptasi yang luar biasa.
Untuk menyikapi kenaikan BBM, yang pasti berdampak pada kenaikan harga-harga produk dan jasa , secara umum kita hanya punya dua pilihan yaitu menambah penghasilan atau menghemat pengeluaran.
Bertahan hidup adalah insting manusia . Jadi tidak peduli miskin atau kaya, tua atau muda, terdidik atau tidak, semua akan mencari cara bertahan, dan dalam keadaaan normal, pasti akan menemukannya.
Dengan asumsi tersebut sebenarnya pemerintah tidak perlu membagikan dana tunai kepada rakyat miskin, namun harus mencari cara agar alokasi subsidi dialihkan pada pembangunan infrastruktur yang bisa meningkatkan penghasilan rakyat secara umum dan membuat rakyat membayar biaya lebih rendah, karena efisiensi yang dikembangkan pemerintah.
Seandainya saja dana puluhan triliun tersebut 100% dimanfaatkan untuk menambah infrastruktur –-terkait dengan bidang yang menyedot sejumlah besar BBM –-maka akan berdampak berkurangnya konsumsi BBM hingga pada akhirnya sekalipun harga naik, biaya operasional tidak meningkat.
Ilustrasi sederhananya seperti ini.
Katakanlah Ahmad, seorang pekerja yang kesehariannya menggunakan sepeda motor untuk moda transportasi. K etika harga bensin Rp 6.500 per liter, motornya menghabiskan 2 liter perhari. Ini berarti ia harus menyiapkan uang Rp 13.000 setiap hari untuk BBM . Seharusnya jika infrastruktur baik, 1 liter sehari saja sudah cukup. Pemborosan BBM yang terjadi diakibatkan jalanan macet, sehingga waktu yang ditempuh lebih lama, dan berakibat meningkatnya konsumsi BBM.
Jika kemudian pemerintah menaikkan harga BBM sebesar Rp 2.000 dan menggunakan dana subsidi untuk dibagikan tunai ke rakyat , tidak akan ada perubahan signifikan yang terjadi. Jalanan tetap rusak dan macet . Ada sedikit sisa subsidi untuk perbaikan jalan tapi tidak terlalu terasa. Kini , beban Ahmad per harinya menjadi Rp 17 ribu untuk transportasi. Rakyat yang mendapat dana tunai mungkin masih bisa menikmati uang selama 3-4 bulan sebelum kemudian bersahabat dengan kesulitan lagi.
Gambaran di atas akan berbeda jika seluruh dana subsidi yang dihemat, dialihkan untuk pembangunan infrastruktur yang secara signifikan mengurangi pemborosan BBM.
Katakanlah dana puluhan triliun tersebut diarahkan untuk pembebasan tanah, pembangunan jalan baru , dan pelebaran jalan, serta perbaikan transportasi publik.
Dengan pembangunan tersebut kemacetan berkurang dan waktu tempuh lebih cepat. Bapak bernama Ahmad yang sebelumnya menghabiskan 2 liter sehari untuk transportasi, kini cukup mengkonsumsi 1,5 liter sehari untuk jarak tempuh sama karena ada penghematan waktu. Sekalipun harga BBM Rp 8.500 per liter, ia hanya perlu mengeluarkan uang sebesar Rp 13 ribu sehari, atau kurang lebih sama.
Bahkan jika infrastuktur membaik, bukan hanya kesulitan si A yang teratasi, tapi juga masalah ekonomi secara umum.
Kapal-kapal laut tidak terlalu lama menunggu untuk bongkar muat. Berbagai buah-buahan tidak harus membusuk di jalan karena terlalu lama pengiriman. Ongkos operasional jadi lebih murah, transportasi umum berangsur lebih nyaman, dan berbagai keunggulan bisa dicapai. Pendeknya , dalam jangka panjang, kebijakan tersebut akan jauh lebih bermanfaat daripada membagikan uang tunai ke masyarakat.
Jika subsisidi seluruhnya dialihkan untuk perbaikan infrastruktur, maka rakyat bisa melihat jelas bahwa memang dana dikembalikan ke rakyat, ada bentuk, wujud hasilnya, dan tidak menguap entah ke mana.