REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Nasihin Masha, Pemimpin Redaksi Republika
“Sebagai wartawan, tanggung jawab kita adalah kepada para pembaca kita. Segala yang kita ketahui, atau yang kita pikirkan, pertama-tama adalah milik para pembaca. Bukan milik seorang politikus yang kebetulan seorang teman.” (David S Broder, wartawan)
“Teori tentang suatu pers yang bebas ialah bahwa kebenaran akan muncul dari reportase bebas, bukan bahwa kebenaran itu akan disajikan dengan sempurna dan seketika demi kepentingan seseorang.” (Walter Lippmann, wartawan).
Tahun 2014 adalah tahun politik. Semua sudah tahu. Ada pemilihan anggota DPR dan DPRD. Ada pemilihan anggota DPD, juga ada pemilihan presiden. Yang terakhir ini yang paling panas.
Bahkan, ada surat kabar yang secara resmi memberikan dukungan (endorsement) pada salah satu capres dalam editorialnya. Ini pertama kali terjadi dalam sejarah pers Indonesia. Selama ini sebagian pers Indonesia pernah atau sering memberikan dukungan secara tersamar maupun terang-terangan tapi tak pernah verbal. Pada pilpres lalu, tak sedikit pers Indonesia memberikan dukungan secara tersamar maupun secara terang-terangan dalam pemberitaannya. Namun, tak sedikit pula yang tetap tak berpihak dan netral.
Di media cetak suasana panas itu tak terasa benar, tetapi di media online cukup terasa. Sedangkan di masyarakat, apalagi di media sosial dan selebaran, suasana panas itu terekspresikan dengan gamblang. Saling serang, saling menjatuhkan.
Dalam pemilu ada gesekan itu biasa, yang membedakan adalah isunya. Pada pilpres kali ini ada isu agama, ras, golongan ekonomi, karakter personal, dan latar belakang keluarga. Indonesia seolah terbelah. Ada penumpukan isu dalam satu keranjang, dan penumpukan isu lainnya di keranjang lainnya. Pembelahan ini bahkan mirip di masa gonjang-ganjing masa Demokrasi Terpimpin, walau ada perbedaan di sana-sini.
Dalam situasi itu tak gampang bagi media untuk menempatkan diri secara proporsional. Semua, kecuali yang memberikan endorsement terbuka, biasanya akan mengatakan bersikap independen, netral, dan tak memihak. Dalam situasi ini, pers membutuhkan cermin: riset ilmiah dari para peneliti dan akademisi. Dengan begitu, publik bisa menilai secara lebih objektif.
Namun, hingga kini kita belum mendapat informasi publikasi riset tentang sikap media dalam pilpres yang lalu. Salah satu kelemahan negeri ini adalah langkanya riset tapi mudah menemukan komentator.
Saat Jokowi berkunjung ke Republika di masa kampanye pilpres—Prabowo tak berkunjung, Prabowo juga tak pernah memenuhi permintaan wawancara khusus Republika—saya selaku pemimpin redaksi menyampaikan sikap resmi Republika dalam masalah pilpres ini secara terbuka. Republika memberikan dukungan kepada dua kandidat pasangan capres-cawapres.
Republika melarang pemberitaan kampanye hitam (black campaign). Biasanya menyangkut isu-isu yang tak bisa diverifikasi kebenarannya dan fitnah. Artinya, Republika menolak pemberitaan yang tak faktual. Keberadaan narasumber dari para pihak tak memberi legitimasi apa pun terhadap informasi semacam itu.
Untuk menghadirkan objektivitas, walau situasi cukup panas, Republika tetap meyajikan berita negatif (negative campaign). Hal ini juga untuk menumbuhkan kritisisme publik terhadap para kandidat dalam sejumlah isu.
Sikap dasar pers adalah kritikal. Jika pers tak bisa kritis maka habislah nisbah pers terhadap media seperti itu. Ia telah berubah menjadi corong, buletin, humas, alat propaganda, dan semacamnya. Pada titik inilah endorsement oleh media dipertanyakan keabsahannya dalam dunia jurnalistik—karena itu endorsement bukan fenomena arus utama di dunia walaupun dipraktikkan oleh sejumlah media penting, apalagi jika pemiliknya terafiliasi ke dalam salah satu kandidat.
Itulah yang tadi diingatkan Lippmann: reportase sebaik apa pun tak akan menghasilkan kebenaran yang dituju jika kita sudah terikat alias tak bebas. Kritisisme adalah watak pers. Pers bukanlah wahana pertunjukan seperti bagi entertainer, karena menyenangkan orang bukanlah jurnalisme.
Dalam edisi perdananya, harian Indonesia Raya menulis “[Kami] berdiri di luar segala partai-partai politik atau aliran-aliran politik .... Kami akan menghindarkan diri dari politik pemberitaan yang berat sebelah, yang menguntungkan satu golongan dan merugikan golongan lain.” Koran yang antara lain didirikan Mochtar Lubis itu menegaskan sikapnya. Ia memilih dipenjara atau medianya ditutup daripada terjebak pada politik pemberitaan yang mengembik. Indonesia Raya telah menjadi legenda pers yang netral, objektif, dan tak memihak terhadap kekuasaan.
Jokowi dan Jusuf Kalla—yang berpasangan menjadi capres dan cawapres pada pemilu lalu—adalah penerima anugerah Tokoh Perubahan Republika 2010. Hatta Rajasa—yang menjadi cawapres untuk capres Prabowo Subianto—juga menerima anugerah yang sama pada tahun berikutnya. Karena itu, Republika sudah lama mencatat mereka sebagai figur-figur yang sudah diakui prestasi dan kinerjanya. Bahkan, anugerah untuk Jokowi diberikan saat masih menjadi wali kota Solo dan sebelum namanya menasional lewat isu mobil Esemka maupun isu penolakan pembangunan mal di lokasi pabrik es tua Sari Petojo—yang saat itu ia berseberangan dengan gubernur Jawa Tengah kala itu, Bibit Waluyo.
Netralitas, keberjarakan, dan independensi pers dalam masalah politik kekuasaan memerlukan perlakuan yang berbeda dibandingkan dengan masalah-masalah lainnya. Politik itu penuh jebakan, mudah berubah, dan rawan emosi serta kepentingan. Apalagi bagi wartawan politik. Mary McGrory, wartawan the Washington Post peraih Pulitzer, pernah mengingatkan kelakukan wartawan politik yang begitu lekat dengan dunianya: “Jika Anda mendudukkan semua wartawan politik di dalam sebuah ruangan, kemudian mempersilakan berdiri hanya mereka yang belum pernah memberikan nasihat kepada seorang politikus, hampir tidak seorang pun berani berdiri.”
Secara kebetulan, pemilu lalu memang “istimewa” dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Tarikan dan emosinya begitu kuat dan kental. Hal itu saya rasakan benar. Selama 21 tahun sebagai wartawan dan melalui enam pemilu, maka pemilu lalu adalah yang paling rumit bagi pers. Karena itu, saya perlu memberikan briefing khusus untuk memberi garis umum kebijakan kepada para wartawan Republika. Hal itulah yang selalu saya sampaikan ke banyak pihak, termasuk ke Jokowi saat bertandang ke Republika.
Kita bisa menyebutnya sebagai anomali dalam sejarah pers Indonesia. Arah dan kecenderungan pers untuk berpihak demikian terasa. Apalagi, sejumlah media memang dimiliki oleh ketua umum partai. Sebagian pemilik media juga berasosiasi dalam pertarungan politik.
Publik menjadi demikian skeptis terhadap pers. Hadirnya media sosial juga menawarkan pola baru dalam pertarungan pilpres yang lalu. Para pihak mengerahkan pasukan medsos untuk merebut pemilih muda (rata-rata usia penduduk Indonesia adalah sekira 27 tahun) dan untuk membentuk opini.
Mereka menjadi pasukan tersamar. Berita media bisa ditafsir dan didorong sesuai kepentingan mereka lewat Facebook, Twitter, blog, grup BBM, maupun Whatsapp, bahkan komentar di bawah berita media online. Putih dan bening bisa menjadi hitam dan kotor, demikian sebaliknya. Pers memasuki pusaran yang diciptakannya sendiri.
Tak mudah bagi Republika untuk berenang di laut semacam itu. Pengalaman di masa lalu bisa menjadi handicap tersendiri. Sebagai koran komunitas Muslim dan salah satu kandidat diasosiasikan didukung suara Muslim juga menjadi variabel tersendiri.
Namun, dengan konsistensi sikap, ketat pada prosedur dan kaidah jurnalistik, serta garis kebijakan yang terang, maka semua itu, alhamdulillah, bisa dilalui dengan baik. Memang kadang tersandung, namun secara umum bisa dilewati dengan baik. Residu akan selalu ada, dan itu yang akan menjadi batu uji berikutnya.
Pada Ahad, 4 Januari 2015, kemarin, Republika tepat berusia 22 tahun. Perjalanan yang sudah cukup panjang bagi media ini. Marilah kita renungkan kata-kata Ernest Hemingway ini, seorang sastrawan dan dramawan: “Yang baik adalah yang saya rasakan baik sesudahnya, dan yang buruk adalah yang saya rasakan buruk sesudahnya.” Saatnya bagi Republika untuk merenung, juga bagi bangsa ini untuk masa depan Indonesia yang perkasa.