REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha
Fasli Jalal bukanlah nama asing. Dia seorang dokter, namun justru namanya moncer sebagai pegawai Bappenas. Dari sana ia menjadi dirjen di Kemendikbud – mulai dari dirjen pendidikan luar sekolah, dirjen peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan, dan dirjen pendidikan tinggi -- hingga kemudian menjadi wakil menteri pendidikan dan kebudayaan. Karena faktor persaingan, ia berhenti menjadi wakil menteri. Pemerintah kemudian menunjuknya sebagai kepala BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional). Seorang politisi menyebutnya sebagai kunci Inggris. Ia cocok untuk segala jabatannya.
Saat ini ia sedang risau. Angka bonus demografi yang sering dibanggakan pemerintah bisa memudar. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, Indonesia mengalami bonus demografi sejak 2010 hingga 2045. Yaitu ketika 100 penduduk usia kerja menanggung kurang dari 50 penduduk usia 0-14 tahun dan di atas 65 tahun. Bandingkan, pada 1971, 100 orang menanggung 86 orang. Pada 2010 sudah berubah, yaitu 100 orang menanggung 51 orang. Kini, 100 orang menanggung 49 orang. Berdasarkan sensus itu, puncak bonus demografi akan terjadi pada 2020 hingga 2030. Saat itu 100 orang 'hanya' menanggung 44 orang.
Namun berdasarkan sensus penduduk 2010, terjadi perkembangan yang mengkhawatirkan. Bonus demografi terbaik akan terjadi pada 2028 hingga 2031, yaitu ketika 100 orang menanggung 47 orang. Terjadi pergeseran. Puncak bonus demografi hanya terjadi tiga tahun (bukan lagi 10 tahun), dan penduduk yang ditanggung bukan lagi 44 orang tapi 47 orang. Artinya, beban angkatan kerja makin berat. Jika situasi ini tak dicermati, maka bonus demografi itu akan benar-benar lenyap. Saat ini saja, pertambahan penduduk lansia (usia 65 tahun lebih) berkembang dengan cepat. Pada sisi lain, angka pertumbuhan penduduk naik terus.
Gempita bonus demografi bukanlah sesuatu yang turun dari langit secara begitu saja. Itu hasil kerja keras, sistematis, dan jangka panjang. Singkatnya, itu hasil kerja rezim Orde Baru. Saat itu, program keluarga berencana dikampanyekan dan dikerjakan dengan luar biasa. Slogan “dua anak cukup” menancap kuat. Menikah usia dini itu malu. Masih melahirkan di usia lebih dari 40 tahun itu tak baik. Upaya pengendalian jumlah penduduk demikian sukses. Namun reformasi telah membuat persoalan demografi bukan soal strategis lagi. Pertama, otonomi daerah telah menjadikan pemerintah pusat tak memiliki gigi di daerah untuk urusan keluarga berencana. Kedua, pilkada langsung telah menjadikan kepala daerah yang sudah otonom itu fokus pada “keterpilihan”. Mereka memilih program-program yang instan dan sebaliknya malas pada program strategis berjangka panjang. Mereka memilih pembangunan infrastruktur, bantuan sosial, dan seterusnya yang langsung dirasakan masyarakat. Ketiga, struktur organisasi pemerintah daerah dan penganggaran tak lagi berpihak pada masalah demografi. Di pusat pun BKKBN tak begitu diperhatikan.
Apa yang terjadi kemudian? Jumlah penyuluh lapangan program keluarga berencana berkurang drastis. Saat ini hanya ada 15 ribu orang. Di puncak prestasinya, di masa Orba, ada 50 ribu penyuluh lapangan. Mereka pensiun atau minta beralih ke dinas lain. Pengabaian terhadap program keluarga berencana membuat petugas di lapangan tak lagi memiliki kebanggaan dan prospek karier tak lagi menjanjikan.
Slogan “dua anak cukup” juga berganti menjadi “dua anak lebih baik”. Terkesan longgar sekali. Bahkan ada yang mlesetin. Mestinya dibaca “dua anak” dalam satu tekanan, lalu diikuti “lebih baik”; menjadi “dua anak lebih” dan diikuti “baik”. Juga muncul persaingan politik maupun persiangan jumlah pemeluk agama. Jika kita membuka data pertumbuhan penduduk berdasarkan agama maka akan terlihat perbedaan yang signifikan. Tiadanya perhatian yang kuat terhadap persoalan demografi ini bisa menjadi bibit masalah, bahkan bibit perpecahan, di masa datang.
Mencermati geliat demografi ini ibarat mendeteksi getaran gunung berapi. Kita bisa siaga dan menghindarkan diri dari bencana letusan gunung jika kita bisa cermat terhadap perubahan getaran gunung di perut bumi. Munculnya Arab Springs salah satunya bisa dilihat dari sisi demografi ini. Sekitar 25 persen penduduk usia muda terdidik (19-24 tahun) adalah pengangguran. Angka 25 persen adalah garis merah bagi lahirnya revolusi dan chaos. Saat ini, penduduk usia muda terdidik Indonesia yang menganggur sekitar 18 persen. Sudah masuk lampu kuning. Angkanya cenderung naik. Jika pemerintah tak mencermati ini, maka bonus demografi (jumlah usia muda lbih banyak, dan sesuai sensus penduduk Indonesia 2010 rata-rata usia penduduk Indonesia sekira 27 tahun) bisa berubah menjadi bencana demografi (demographic disaster).
Kerisauan Fasli mestinya menjadi kerisauan kita semua.