REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Azyumardi Azra
Pascapenyerangan Charlie Hebdo, bisa dipastikan Islam dan kaum Muslim di Eropa menghadapi terjadinya peningkatan kecurigaan dan sikap bermusuhan di kalangan masyarakat lokal. Hal ini terutama bersumber dari pandangan dan sikap hegemonik masyarakat Eropa bahwa pemuatan karikatur, penerbitan dan pernyataan yang melecehkan orang, kelompok orang, figur agama, pemimpin politik dan agama tertentu merupakan ekspresi kebebasan berpendapat yang tidak dapat dikompromikan.
Dengan sikap dasar seperti itu, pandangan di kalangan masyarakat Eropa lain yang menganggap pelecehan agama dan pribadi tertentu sebagai sikap semena-mena dan tidak bertanggungjawab nyaris seperti ‘batu jatuh ke lubuk’. Kalangan masyarakat Eropa dan bagian dunia lain yang berpendapat seperti ini juga mengecam keras aksi teror dalam bentuk apapun—termasuk ke kantor Charlie Hebdo dan pasar swalayan di Paris. Namun pada saat yang sama bagi mereka kebebasan berekspresi semestinya disertai dengan sensivitas dan tanggung jawab.
Pembicaraan tentang isu ini sedikit banyak turut mewarnai Konperensi Tahun Emas 50 Tahun (Golden Jubilee) Pontificio Instituto di Studi Arabi e d’Islamistica (atau dalam bahasa Inggris, Pontifical Institute for the Study of Arab and Islam—Institut Kepausan untuk Kajian Arab dan Islam) di Roma pada 22-24/1/2015. Menjadi pembicara dalam Konperensi PISAI 50 Tahun, penulis Resonansi ini untuk ketiga kalinya kembali ke PISAI sejak pertama kali datang pada Juli 2006 ketika menyampaikan kuliah umum bertajuk ‘Indonesian Muslims: Movements and Organizations’.
Menyimak kiprah PISAI sejak pertengahan dasawarsa awal 2000-an, PISAI merupakan lembaga pendidikan tinggi terpenting untuk kajian Islam dan masyarakat Muslim di lingkungan umat Kristiani Eropa—tidak hanya Katolik tapi juga Kristen (Protestan). Hampir tidak ragu lagi, PISAI memainkan peran penting dalam menghasilkan sejumlah pastur, fungsionaris berbagai lembaga Katolik maupun sarjana independen—termasuk Muslim—yang memiliki pemahaman lebih baik dan lebih akurat terhadap Islam dan kaum Muslim.
Sejarah PISAI lebih tua daripada sekedar Jubile 50 tahun. Kini berpusat di lingkungan kota Vatikan sejak 1964, cikal bakal institusi PISAI didirikan Masyarakat Misionaris [Katolik] yang sering juga disebut ‘White Fathers’ di Afrika di Manouba, Tunisia pada 1926. Dipersiapkan sebagai pusat pelatihan misionaris yang bakal bertugas di sejumlah wilayah Muslim, sejak 1931 lembaga ini semula bernama Institut de Belles Lettres de Arabes (IBLA). Seperti terlihat dari namanya ini, pengajaran lebih ditekankan pada kemampuan bahasa Arab untuk membaca teks Islam dan berkomunikasi dengan kalangan Muslim Arab guna kepentingan misionaris Katolik.
Pergeseran Institut ini menjadi lebih akademis terjadi pada 1949 ketika pengajaran dipisahkan dari kegiatan misionaris; dan sejak 1960 status kelembangaan ditingkatkan menjadi Pontifical Institute for Oriental Studies. Selanjutnya 1964 ketika dipindahkan ke Roma, nama PISAI diadopsi. Menjadi lembaga pendidikan tinggi, PISAI memberi gelar license (S2) sejak 1966 dan gelar Doktor (S3) sejak 1980.
Dalam pengalaman dan interaksi langsung dengan para pimpinan, dosen dan mahasiswa PISAI, saya melihat lembaga ini memainkan peran penting dalam menghasilkan sarjana dengan empati yang kuat pada agama dan umat beragama, tegasnya dalam hal ini Islam dan kaum Muslimin. PISAI sendiri dalam penerbitan resminya menekankan, berbagai matakuliah tentang Islam berusaha menghadirkan Islam dan para penganutnya baik di masa lalu maupun sekarang secara saintifik yang tidak bias.
Dengan demikian, dalam perkembangannya, PISAI dirancang Vatikan untuk memberikan pengetahuan tentang berbagai aspek Islam dan masyarakat Muslim. Vatikan memandang penting hal ini sebagai prasyarat bagi dialog kemanusiaan dan teologis baik dalam konteks dialog antar-agama (inter-religious) maupun dialog antar-budaya (inter-cultural).
Di tengah meningkatnya gejolak politik dan sekuriti yang terkait dengan segelintir pemeluk Islam sejak Peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat, pemboman di Madrid 11 Maret 2004 dan di London 7 September 2005, berbagai pihak dan lembaga Eropa—termasuk PISAI—meningkatkan dialog dengan para pemimpin, ‘ulama’ dan sarjana Muslim tidak hanya yang tinggal di Eropa, tetapi juga dari wilayah Muslim lain seperti Indonesia.
Kehadiran para sarjana Muslim dalam berbagai kegiatan PISAI jelas merupakan kesempatan sangat berharga untuk memberikan perpektif lebih akurat tentang Islam dan kaum Muslim. Bagi PISAI dan audiens Italia non-Muslim, kehadiran para pembicara Muslim juga sangat penting untuk mendapatkan informasi dan pandangan dari tangan pertama, seperti ditegaskan Paus Francis dalam sambutannya menerima audiensi para peserta konperensi 50 Tahun PISAI.
Konperensi Jubile Emas PISAI merupakan bagian penting dari dialog tersebut. Kenyataan ini misalnya terlihat dari tema yang diangkat: ‘Studying and Understanding the Religion of the Other: Towards Mutual Recognition between Religions and Cultures in Today’s World’. Dengan tema ini, konperensi menjadi tempat berbagi pandangan dan pengalaman tentang bagaimana memahami Islam dan minoritas Muslim yang hidup di lingkungan masyarakat mayoritas Kristen. Sebaliknya juga bagaimana memahami pengalaman umat minoritas Kristiani di lingkungan mayoritas Muslim.