REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Azyumardi Azra
Jelas sulit mencegah masuknya arus paham dan gerakan Islam transnasional ke Indonesia, khususnya pada masa kini yang ditandai transmisi informasi secara instan melalui dunia maya. Berkat kemajuan teknologi, penyebaran paham dan gerakan transnasional yang tidak selalu kompatibel dengan Islam wasatiyah Indonesia dan Islam rahmatan lil ‘alamin seolah tidak bisa dibendung.
Apalagi secara historis, sejak masa awal kedatangan dan penyebaran Islam, seperti terlihat dalam kajian penulis sendiri tentang ‘jaringan ulama’, benua maritim Indonesia selalu terkait dan terlibat dalam kosmopolitanisasi dan globalisasi Islam, mencakup pemahaman dan praksis keislaman transnasional.
Mengamati sejarah dan dinamika Islam Indonesia dalam konteks itu, muncul kritik dari sejumlah pengkaji Islam Indonesia, seperti AH Johns (1976, 1981) dan Mona Abaza (1994). Mereka berargumen, Islam Indonesia cenderung menjadi penerima (recipients) saja dari paham dan gerakan Islam transnasional. Bahkan, almarhum Nurcholish Madjid pernah menyatakan, Islam Indonesia masih merupakan ‘konsumen’ pemikiran dan gerakan Islam transnasional luar daripada menjadi ‘produsen’ yang mampu ‘mengekspor’ pemikiran dan gerakan Islam Indonesia ke mancanegara.
Pernyataan itu dalam segi tertentu bisa diperdebatkan. Tetapi, poin penting yang perlu dikemukakan di sini adalah Islam Indonesia dengan warisan Islam (Islamic legacy) yang begitu kaya --termasuk khususnya ormas-ormas wasatiyah-- sudah waktunya mengakselarasikan ‘arus balik’ pemikiran dan gerakan Islam Indonesia ke mancanegara. Arus balik ini bukan hanya untuk sekadar ekspansi Islam Indonesia, tetapi juga guna memberikan kontribusi penting pada peradaban dan kemanusiaan universal lebih aman, harmonis, dan toleran.
Perlunya akselarasi internasionalisasi dan transnasionalisasi muncul sejak awal milenium baru yang ditandai peristiwa di tingkat internasional semacam 11 September 2001 di Amerika Serikat, pengeboman di Madrid (11 Maret 2004), London (7 Juli 2005). Peristiwa-peristiwa yang melibatkan individu dan kelompok Muslim itu selain meningkatkan ketegangan antara apa yang biasa disebut sebagai ‘Islam versus the West’, juga memperkuat citra Islam dan Muslim sebagai ‘radikal’.
Meski generalisasi ini telah banyak dikoreksi, tetapi citra radikal terus bertahan dengan konflik dan kekerasan seputar Arab Spring sejak akhir 2011 sampai sekarang, kemunculan ISIS sejak 2014, dan konflik Yaman sekarang yang bisa terjerumus menjadi perang regional ketika Arab Saudi membentuk Koalisi Arab menyerang pemberontak Houthi yang menguasai berbagai wilayah Yaman.
Dalam konteks itu, masyarakat internasional --baik Muslim maupun non-Muslim-- merindukan Islam damai, ramah, akomodatif, inklusif, dan dapat hidup berdampingan intra-Muslim yang mengandung berbagai aliran dan non-Muslim antaragama. Itulah Islam wasatiyah Indonesia, yang dikembangkan, dipelihara, dan diperkuat mayoritas mutlak Muslim Indonesia, yang dalam jumlah besar juga terwakili ormas-ormas Islam.
Itulah Islam yang dapat menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi para pengikutnya; juga bagi umat manusia lain yang menganut agama berbeda; bagi lingkungan alam dengan makhluk Allah lain; dan bagi peradaban dan kemanusiaan universal.
Sekali lagi, ormas-ormas Islam Indonesia arus utama memiliki potensi besar dan pengalaman panjang untuk mengakselerasikan transnasionalisasinya. Dari sudut ortodoksi Islam Indonesia (kalam Asy’ariyah, fikih Syafi'i, dan tasawuf al-Ghazali), kaum Muslimin negeri ini membuktikan kebertahanan dan keberlanjutan paham keislaman yang menekankan moderasi dan toleransi sesama Muslim dan juga dengan non-Muslim. Dengan begitu, ormas-ormas Islam Indonesia dapat meningkatkan eksistensi dan kiprahnya di tengah gelombang perubahan, baik di tingkat negara Indonesia maupun di tengah kehidupan masyarakat internasional.
Selain itu, ormas-ormas Islam Indonesia sangat kaya dengan kelembagaan dalam berbagai bidang kehidupan sejak dari dakwah, pendidikan, kesehatan, kepenyantunan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Pada saat yang sama, ormas-ormas Islam kian kaya dengan SDM terdidik yang mengisi berbagai sektor kehidupan bangsa. Mereka ini sekaligus menjadi tulang punggung (backbone) kelas menengah Muslim.
Dengan semua potensi dan kekayaan warisan, ormas-ormas Islam Indonesia berada pada posisi kuat untuk mengakselarasikan transnasionalisasinya. Untuk itu, ormas-ormas Islam Indonesia arus utama mesti lebih asertif dan memperluas jaringan di mancanegara, baik dengan kelompok dan komunitas Islam, dan juga dengan lingkungan masyarakat dan pemerintahan lebih luas.
Transnasionalisasi ormas Islam tidak cukup hanya dengan memperbanyak cabang khusus, seperti Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) atau Pengurus Cabang Istimewa-NU (PCI-NU). Cabang Istimewa kedua ormas Islam ini ada, misalnya, di Kairo atau Jeddah atau Den Haag. Tetapi, para anggotanya terbatas pada WNI atau ‘orang sumando’ dari pasangan suami-istri yang kawin campur. Mestinya PCIM atau PCI-NU mengalami ‘pribumisasi’ atau ‘indigenisasi’, menjadi ormas lokal.
Jika strategi dan langkah seperti ini dapat dilakukan, insya Allah ormas-ormas Islam Indonesia dapat menjadi paham dan gerakan transnasional Islam --mewakili Islam wasatiyah Indonesia, yang selalu menekankan pentingnya mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin dalam semesta alam.