Jumat 15 May 2015 06:00 WIB

PAN dengan Nyawa Baru

Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

Pada Kamis (7/5) malam, Partai Amanat Nasional (PAN) menggelar pelantikan kepengurusan yang baru, periode 2015-2020. Acaranya digelar di Balai Sudirman. Tempat ini relatif mewah dan biasa digunakan untuk acara pernikahan kelas atas. Memang tempat ini tak semewah Jakarta Convention Center.

Salah satu keistimewaan acara ini adalah karena dihadiri hampir oleh semua pimpinan partai. Ini untuk kali pertama terjadi sejak terbelah ke dalam Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

Kemampuan PAN ini tak terlepas dari sosok Zulkifli Hasan, ketua umumnya yang baru. Padahal, PAN ada di KMP, apalagi Hatta Rajasa, ketua umum sebelumnya, adalah calon wakil presiden dari KMP. Selain itu, M Amien Rais, pendiri PAN, adalah die hard KMP. Memang Amien tak hadir, walaupun ia pendiri partai ini dan besan Zulkifli. Hatta juga tak hadir, tapi ini bukan faktor keterbelahan dalam koalisi tersebut. Hatta tak hadir karena faktor lain.

Di kubu KIH juga tak ada Surya Paloh, ketua umum Partai Nasdem. Namun, Patrice Rio Capella, sekjen Nasdem, duduk di barisan paling depan. Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, besan Hatta, juga tak hadir. Namun, Demokrat mengutus ketua hariannya, Syarief Hasan, untuk hadir.

Saat pilpres lalu, Demokrat ada di KMP. Sedangkan dua partai yang memiliki pengurus kembar pascapemilu, hanya dihadiri ketua-ketua umum yang tetap di KMP. Tampak Aburizal Bakrie (Golkar) dan Djan Faridz (PPP) duduk di barisan paling depan. Sedangkan, Agung Laksono (Golkar) dan Romahurmuziy (PPP), yang memilih bergabung ke KIH, tak diundang --tentu saja.

Megawati Soekarnoputri, Wiranto, Sutiyoso, dan Muhaimin Iskandar --para ketua umum partai dari KIH-- duduk di barisan paling depan. Hadir pula Prabowo Subianto dan M Anis Matta dari KMP. Sejumlah menteri ikut hadir, juga Presiden Joko Widodo. Hadir juga ketua DPR dan ketua DPD. Karena itu, forum pembukaan rakernas PAN ini menjadi ajang mencairkan suasana politik yang beku sejak pilpres usai. Sebelumnya, acara-acara partai hanya dihadiri ketua-ketua umum dari satu kubu saja.

Warna lain dari acara itu adalah semangat regenerasi. Pengurus harian PAN yang baru didominasi usia muda. Hanya ketua umum dan sejumlah wakil ketua umum yang terbilang senior. Sedangkan sekjen, para ketua, para wakil sekjen, bendahara umum, dan para bendahara masih terbilang muda.

Zulkifli juga mencoba merengkuh semua faksi yang ada, termasuk pendukung Hatta yang bersaing dengan Zulkifli saat kongres. Karena itu, kepengurusannya sangat gemuk. Namun, hal itu justru disambut gembira. Ada aura dan semangat yang berbinar. Selain meriah, acara itu tampak bernyawa. Pekikan “kader” segera disambut “siap”. Lalu pekikan “PAN” disambut “menang” dengan gemuruh. Gedung Balai Sudirman menjadi terlalu kecil untuk menampung semangat mereka.

Di awal reformasi, ketika kekuatan-kekuatan sosial merancang untuk mendirikan partai-partai politik, para pendiri PAN ingin keluar dari basis primordial. Semangat reformasi menghentak para inisiator PAN untuk berdiri di basis nasional. Para tokoh Islam modern berembuk untuk mendirikan partai Islam yang menyatukan mereka.

Namun, Amien, motor utama gerakan reformasi, menolak tawaran itu. Ia menyebutnya baju partai Islam menjadi kekecilan buat tubuhnya. Akhirnya, Amien memilih menyatukan orang-orang berlatar Muhammadiyah dengan tokoh-tokoh sekuler mendirikan PAN. Akhirnya partai Islam bersatu itu batal berdiri. Yang muncul adalah PK (yang kemudian menjadi PKS) dan PBB. Berdiri pula partai-partai lainnya yang kini sudah punah. Sedangkan, PPP dari awal tetap berdiri sendiri dan dari basis NU berdiri PKB dan sejumlah partai kecil lainnya yang kini sudah punah.

Dalam perkembangannya, PAN hanya mampu menghimpun pemilih dari basis Muhammadiyah. Walaupun hubungan PAN dengan Muhammadiyah tak banyak mulusnya. Ketika PAN dipimpin Amien, ketua umum PP Muhammadiyah saat itu, A Syafii Maarif, tak begitu bahagia. Demikian pula dengan Din Syamsuddin, ketua umum Muhammadiyah saat ini, yang tak dekat dengan Hatta.

Zulkifli berusaha merangkai lagi kedekatannya dengan Muhammadiyah. Langkah pertamanya ketika mencalonkan diri jadi ketua umum PAN maupun setelah terpilih adalah bersilaturahim ke PP Muhammadiyah. Saat pelantikan, hadir pula Syafii, yang disebut secara khusus oleh Zulkifli bahwa kehadirannya adalah karena “saya ingin PAN menjadi partai besar”. Syafii adalah tokoh paling senior dan paling disegani di Muhammadiyah saat ini.

Zulkifli ingin merangkai lagi benang Muhammadiyah di dalam PAN. Kembali ke basis awal --toh kelahiran PAN diawali dengan keputusan resmi di Muhammadiyah. PKB sudah merasakan dampak kerekatannya dengan NU, induknya, pada pemilu lalu. Bandingkan dengan perolehan kursi PKB saat tak dekat dengan NU seperti pada Pemilu 2009, apalagi 2004.

Pesan politik yang hendak disampaikan Zulkifli dan PAN adalah politik yang ramah dan merangkul semua pihak. Pidato politiknya sangat solid dengan ide-ide politik yang sejuk, kebangsaan, dan kerakyatan. Ia menolak kegaduhan politik yang tak ada hubungannya dengan kehidupan rakyat. Ia ingin mengembalikan politik pada posisi yang luhur.

Saat ini, partai dan politisi di Indonesia sedang terpuruk di mata publik. Hal ini mengingatkan kelahiran partai di Eropa pada abad ke-17. Saat itu partai dimaknai secara negatif dan dicurigai. Ia tak lebih dari pemapanan “faksi” --sebuah istilah yang sudah hadir sejak masa Romawi, bahkan Yunani-- yang hanya mengejar kepentingan pribadi dan kelompok serta memecah belah.

Secara sinikal, partai hanya tertarik pada apa yang menurut politisi baik. “Partai adalah kejahatan politik, dan faksi adalah yang terburuk dari semua faksi," demikian seorang cendekiawan pada abad ke-18. David Hume, yang simpati pada partai pun, menyebut partai sebagai “gulma”, yang berbahaya tapi sulit punah.

Seiring pembelaan cerdik pandai, partai menjadi mapan dan diterima pada abad ke-19. Karena itu, partai menjadi temuan abad tersebut. “Partai politik menciptakan demokrasi dan demokrasi modern tak terpikirkan tanpa partai”.

Apa itu partai? Sebagian mendefinisikannya hanya sebatas alat untuk merebut kekuasaan atau jabatan. Sebagian lagi, seperti kata Edmund Burke, adalah untuk memperjuangkan kepentingan nasional. Ronald Reagan menyebut soal keyakinan tertentu tentang seperti apa seharusnya pemerintah.

Namun, kadang kita menemukan kenyataan demokrasi disimplifikasi dengan kehadiran partai belaka, yang kemudian disimplifikasi lagi dengan adanya pemilu atau pilkada saja. Hanya ada pada dataran formal dan prosedural. Padahal, seperti kata Burke dan Reagan, ada sesuatu yang sangat dalam, ia menyangkut ideologi dan kepentingan bangsa.

Definisi partai yang cenderung pejoratif banyak dikemukakan oleh intelektual dan akademisi. Definisi yang positif dikemukakan pelaku politik. Burke adalah pemikir sekaligus politisi Inggris. Reagan adalah salah satu presiden yang sangat dikenang bangsa Amerika. Zulkifli harus membawa nyawa PAN ke dalam visi Burke dan Reagan: kepentingan nasional dan keyakinan pada visi, gagasan, dan ideologi. Bukan pada prosedur belaka.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement