REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
Kemerosotan keadaban publik (public civility) dalam masyarakat Indonesia masa pasca-Orde Baru merupakan salah satu masalah pokok yang dihadapi bangsa ini. Di mana-mana orang bisa menyaksikan pelanggaran keadaban publik, mulai dari pengendara yang tidak peduli dengan ketentuan lalu lintas, membuang sampah di jalan tol, buang air kecil di pinggir jalan, tidak mau tertib antrean sampai kepada pencurian aset publik yang lebih dikenal sebagai korupsi.
Tindakan-tindakan semacam itu membuat para pelakunya seperti orang uncivilized --tidak beradab atau tidak memiliki keadaban. Padahal, katanya, orang Indonesia dari berbagai suku selalu mengklaim sebagai religius, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, dan seterusnya.
Memandang fenomena kemerosotan keadaban publik, penulis Resonansi ini merasa beruntung ketika memahami bahwa keadaban menjadi salah satu tema pokok yang digagas dan dipraktikkan seorang tokoh pembaharu Islam Indonesia asal Minangkabau, Abdullah Ahmad (1878-1933). Pembahasan tentang subjek ini menjadi wacana penting dalam Seminar Nasional Peringatan 100 Tahun Perguruan Adabiah (1915-2015) --lembaga pendidikan yang didirikan Abdullah Ahmad.
Tokoh ini adalah salah satu dari generasi pembaharu Islam yang dikenal sebagai ‘Kaum Muda’ --lokomotif modernisme dan reformisme Islam di Asia Tenggara yang berawal dari Sumatra Barat. Mereka mencakup, antara lain, Haji Abdul Karim Amrullah (1979-1945 atau Haji Rasul, ayahanda Buya Hamka), Muhammad Tahir Jalaluddin al-Minangkabawi al-Azhari (1869-1956), dan Muhammad Jamil Jambek (1862-1947).
Meski Abdullah Ahmad merupakan tokoh terkemuka karena atribut yang melekat pada dirinya sendiri (on his own right) --tidak mesti harus selalu dalam konteks Kaum Muda-- tidak atau belum banyak kajian lengkap dan mendalam tentang sosok ini. Selama ini ia hanya mendapat pembahasan selintas dalam kajian tentang reformisme atau modernisme Islam Kaum Muda oleh sejarawan seperti Deliar Noer atau Taufik Abdullah.
Termasuk ke dalam core jaringan ulama pada akhir abad 19 dan awal abad 20 yang berpusat di Makkah dalam figur guru utama, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860-1916), Abdullah Ahmad memilih untuk mengadopsi gagasan dan praksis modernisme atau reformisme Islam. Memang di antara murid-murid Ahmad Khatib ada yang menempuh jalan reformisme Islam, seperti Abdullah Ahmad dan Ahmad Dahlan (1868-1923, pendiri Muhammadiyah 1912). Pada lain pihak ada pula yang menganut tradisionalisme Islam, seperti Hasyim Asy’ari (1871-1947, pendiri NU 1926), dan Sulaiman al-Rasuli (1871-1970, pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah/Perti 1928).
Terkait dengan jaringan ulama yang berpusat di Makkah, Abdullah Ahmad memiliki pengetahuan agama mendalam. Berada di Makkah (1895-1899) dasawarsa terakhir abad 19, gagasan modernisme atau reformisme Islam yang diperkenalkan Jamaluddin al-Afghani (1838-1896), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935), sangat menarik bagi Abdulah Ahmad.
Karena itu, pandangan dunia dan praksis keislaman Abdullah Ahmad jelas tipikal modernisme-reformisme. Ia berorientasi kuat pada Islam puritan, tidak menerima kompromi Islam dengan budaya lokal dan sekaligus menolak bid’ah dan taklid. Paham keagamaan ini termasuk ke dalam aliran Salafi. Tetapi berbeda dengan aliran dan kelompok Salafi tertentu yang agresif dan mudah melakukan kekerasan demi ‘puritanisme Islam’, Abdullah Ahmad menempuh pendekatan dan cara damai. Dalam berbagai tulisannya, ia menekankan pentingnya perdamaian dan persaudaraan antarbangsa dan umat manusia secara keseluruhan.
Dalam konteks itu, Abdullah Ahmad memandang pembangunan keadaban sebagai cara terbaik dan paling strategis. Untuk itu, ia pada 1906 mendirikan ‘Jami’ah Adabiyah’. Dalam pemahaman penulis Resonansi ini, ‘Jami’ah Adabiyah’ bisa disebut sebagai ‘Komunitas Keadaban'.
Istilah ‘Adabiah’ mengacu tidak hanya kepada ‘Community of Civility’, tetapi juga peradaban (civilization) dan ‘adab’ (virtuous moral conduct). Ketiga hal ini --keadaban, peradaban, dan adab-- menghasilkan genre literatur tersendiri dalam khazanah pemikiran Islam.
Berdasarkan pemahaman itu, adopsi istilah Adabiah oleh Abdullah Ahmad melampaui zamannya. Ketiga istilah yang mengandung konsep dan praksis sangat penting tetap relevan di masa kini dan mendatang.
Tidak ragu lagi pendidikan merupakan wahana dan lokus paling strategis untuk membangun keadaban, peradaban, dan adab. Bisa mudah dipahami kalau kemudian pada 1909, Abdullah Ahmad mendirikan [Yayasan] Perguruan Adabiah. Selanjutnya pada 1915 ia mendirikan ‘Madrasah Adabiyah’ yang meski memakai istilah ‘madrasah’ yang berbasiskan sistem persekolahan Belanda.
Dalam perkembangannya, lembaga pendidikan ini berkembang menjadi sekolah dengan kurikulum Belanda. Tetapi Abdullah Ahmad memperkenalkan inovasi ‘met de Qur’an’ --sekolah ala Belanda, tetapi dilengkapi ‘pelajaran agama’. Inilah preseden bagi sekolah Islam yang terus menemukan momentum sampai sekarang.
Abdullah Ahmad dengan gagasan dan praksis ‘komunitas keadaban’, peradaban’, dan adab yang tetap relevan hari ini dan ke depan perlu revitalisasi. Tantangan kemerosotan keadaban publik mengharuskan kita menggali pemikiran dan praksis yang lahir dari pemikir --cum-- aktivis Abdullah Ahmad dan pemikir Indonesia lain.