REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia
Gadis kecil,
Maafkan kami yang terlambat,
yang tidak berbuat lebih banyak,
dan membiarkanmu dalam kesendirian luka...
Saya tidak pernah mengerti apa yang ada di kepala manusia dewasa ketika menyundutkan rokok ke kulit seorang anak. Apakah tangisan mereka tidak menghentikannya?
Saya sulit memahami, apa yang membuat seorang manusia bisa memukul, menghantam, melukai, bahkan memperkosa seorang bocah. Apakah erangan dan kesakitan mereka tidak menyadarkan?
Yang lebih tidak saya pahami lagi adalah, bagaimana seorang manusia tega mengubur seorang anak delapan tahun dan tidak menghormati tubuhnya?
Saya tidak bisa mengerti, kenapa orang mampu berbuat apa yang dilakukan lelaki itu terhadap seorang gadis kecil.
Terlebih jika dilakukan oleh orang dekat, orang yang dikenalnya.
Apakah tidak ada rasa bersalah?
Atau mungkin boneka yang dikuburkan bersama sang gadis, adalah simbol penyesalan agar ia memiliki teman di alam kematian?
Hmm, sungguh saya tidak mengerti.
Sang gadis kecil, adalah korban. Korban dari nilai kemanusiaan yang mulai pupus. Korban dari nilai kemasyarakatan yang semakin renggang. Korban dari keegoisan untuk keselamatan sendiri. Korban dari dan kesibukan manusia dengan urusan masing-masing.
Sang gadis kecil hanyalah seorang anak yang ingin mengisi hidup dengan keceriaan, kehangatan, dan harapan untuk masa depan. Tidak satu orang pun berhak merenggut itu dari dirinya.
Tidak ada orang tua yang berhak merampas kebahagiaan dari anak-anak mereka, apalagi nyawa mereka, orang tua kandung sekalipun.
Saya teringat sebuah puisi yang ditulis Kahlil Gibran.
Anakmu bukanlah milikmu,
mereka adalah putra putri sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka lahir lewat engkau,
tetapi bukan dari engkau,
mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.
Sekalipun terlihat seperti puisi, tapi bagi saya bait-bait di atas merupakan filosofi kehidupan yang harus dipahami setiap orang.
Anak bukan milik orang tua, baik orang tua kandung maupun orang tua yang legal tercatat sebagai ayah ibu mereka. Orang tua tidak berhak menelantarkan, memukul, menyakiti, melukai, memperkosa, atau membunuh anak. Jika itu dipahami, maka ketika ada yang melakukan satu di antara hal di atas, maka orang dewasa lain entah itu tetangga, guru, aparat atau siapa pun, berhak mencampuri hal tersebut, demi keselamatan anak.
Apa yang terjadi pada sang gadis kecil bukan sesuatu yang muncul secara tiba-tiba. Ada gejala dan ciri ciri pemula, ada lebam yang pernah dilihat, ada indikasi penelantaran, ada banyak hal yang bisa terbaca. Hanya saja mungkin karena merasa tidak enak dengan keluarga, mungkin juga merasa tidak berhak menegur orang tua bersangkutan, tidak ada yang menegur atau mengkonfrontir orang tuanya.
Benar tidak ada kewajiban hukum, bagi tetangga, guru atau siapapun yang melihatnya, tapi ini persoalan kepedulian dan kepekaan. Benar yang bersalah mereka yang berbuat jahat dan bertindak kriminal, tapi bukankah mencegahnya juga merupakan kebaikan?
Saya teringat ketika saya dan suami menghentikan kendaraan khusus untuk menegur seorang ibu yang membiarkan anak kecilnya berlari di pingir jalan tanpa dipegang, dan hampir saja tertabrak.Ternyata suaminya tidak menerima, dan ingin berkilah ini anak mereka dan sepenuhnya urusan mereka bagaimana menjaga anak.
Kami justru mengatakan, meski anak sendiri tapi mereka tidak berhak membiarkan anak dalam bahaya. Lalu kami memberikan konsep home safety singkat pada kedua orang tersebut dan membuat mereka mengerti. Di kesempatan lain kami juga pernah menegur orang tua yang tidak kami kenal yang menghukum fisik anaknya di ruang publik, mengatakan hal kasar kepada anaknya, dan hal-hal lain.
Sekalipun kelihatannya seperti mencampuri urusan orang tua lain, tapi kami lakukan karena percaya, orang tua tidak berhak menyakiti atau membahayakan, sekalipun anak kandung mereka sendiri. Semoga kepedulian dan kepekaan kita terhadap anak lain, bisa menyelamatkan lebih banyak anak di dunia ini.