REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
Sepanjang sejarah pasca-Nabi Muhammad, Islam diwarnai keragamanan mazhab dan aliran pemikiran dan praktik keagamaan. Keragaman tidak terelakkan karena para fuqaha, mutakallimun, dan pemikir Muslim memiliki perbedaan dalam kemampuan intelektual, kecenderungan keagamaan, dan lingkungan sosialisasi dan kehidupan. Semua ini mempengaruhi penafsiran mereka masing-masing ketika berusaha memperjelas dan merinci ayat Alquran dan hadits tertentu.
Perbedaan dan keragaman sering lebih banyak terkait dengan hal ranting (furu’iyyah), bukan pada soal-soal pokok fundamental (ushul) yang hampir tidak ada perbedaan. Salah satu contoh, sesuai amar ayat Alquran, semua ulama sepakat shalat lima waktu wajib dikerjakan setiap Muslim; tetapi mereka berbeda pendapat apakah qunut perlu atau tidak perlu dilakukan pada waktu shalat Subuh.
Sejarah perbedaan dan keragaman di antara mazhab-mazhab fiqh melampaui masa yang panjang—lebih 14 abad. Meski para imam mazhab, khususnya Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Sunni) sejak dari Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Hanbali menekankan toleransi bermazhab, tidak jarang kalangan umat Islam sangat fanatik dengan mazhabnya masing-masing. Akibatnya, perbedaan-perbedaan furu’iyah (trivial) sering menjadi sumber pertikaian dan konflik.
Walhasil, perbedaan furu’iyyah berkembang menjadi sektarianisme agama yang dalam skala tertentu bisa sangat bernyala-nyala, apalagi ketika sektarianisme tersebut berkelindan dengan kabilahisme dan etnisitas serta kekuatan politik. Sekali sektarianisme agama berbaur dengan pengelompokan sosiologis masyarakat keagamaan dan sekaligus didukung kekuasaan politik, ketika itu keadaan menjadi memburuk, membuat sangat sulit mengatasinya.
Sejauh perbedaan mazhab dan sektarianisme Muslim Indonesia jauh lebih beruntung dibanding umat Muslim kawasan lain. Hal ini terkait banyak dengan kenyataan, bahwa sejak masa awal penyebaran Islam secara massif pada abad 12, mazhab fiqh dominan adalah Mazhab Syafi’i.
Hegemoni Mazhab Syafi’i kian sempurna sejak abad 17 ketika ‘ulama Indonesia yang belajar di Haramayn—karena itu menjadi bagian integral Jaringan Ulama kosmopolitan—kembali ke tanahair untuk mengajarkan dan menuliskan karya fiqh Syafi’i. Mazhab-mazhab fiqh Sunni lain praktis sulit ditemukan sejak dulu sampai sekarang di antara Muslim Indonesia.
Meski mazhab Syafi’i dominan, hal ini bukan karena dukungan politik. Sejak masa kesultanan, proses hegemoni mazhab Syafi’i umumnya berlangsung secara alamiah. Apalagi sejak masa kekuasaan Belanda, kebanyakan umat Muslim Indonesia menjauhkan diri dari koptasi kolonialisme. Karena itu sejak masa kolonial Belanda sampai sekarang umat Islam Indonesia independen vis-a-vis kekuasaan politik seperti terlihat dalam posisi ormas-ormas Islam negeri ini.
Lebih jauh, mazhab fiqh tidak terkait dengan suku bangsa atau kelompok etnis; apalagi dengan ‘kabilah’ yang tidak eksis di Indonesia. Jauh daripada berbaur dan terkait khusus dengan suku bangsa yang begitu beragam, sebaliknya mazhab fiqh yang sama justru mempersatukan mereka. Karena itu misalnya suku Aceh atau Minang bisa merasa dekat dengan suku Jawa atau Bugis karena ibadah yang mereka kerjakan hampir sepenuhnya berlandaskan mazhab fiqh yang sama.
Karena itu sektarisme mazhab tidak pernah bernyala-nyala dalam masa pra-moderen (abad 20) Islam Indonesia. Pertikaian mulai muncul ketika wacana dan praksis modernisme atau reformisme Islam muncul dan berkembang di Indonesia terutama sejak dasawarsa kedua abad 20.
Pertikaian mazhabi itu misalnya terjadi antara ‘Kaum Muda’ dengan ‘Kaum Tua’ di Sumatera Barat, atau belakangan antara Muhammadiyah dengan NU. Pihak pertama dengan semangat reformisme dan pemurnian berhadapan dengan pihak kedua yang membela paham dan praktek keagamaan yang telah mentradisi selama berabad-abad.
Meski kedua pihak terlibat dalam suasana yang kadang-kadang kurang harmonis, mereka tidak pernah terlibat dalam konflik dan kekerasan secara signifikan yang berlangsung lama. Perbedaan dan pertikaian lebih banyak tersalur dalam wacana, polemik dan perbedaan.
Dalam keadaan seperti itu, berbagai perubahan politik, sosial dan keagamaan juga berlangsung cepat, khususnya sejak masa pasca-proklamasi kemerdekaan. Perubahan-perubahan politik dan ekonomi yang cepat dan berdampak panjang sejak pembangunan ekonomi Indonesia juga menimbulkan perubahan sosiologis-keagamaan umat Muslimin Indonesia yang menciptakan iklim kondusif bagi konvergensi mazhab Islam Indonesia.
Peningkatan pendidikan dan ekonomi serta interaksi lebih intens antar-orang dan masyarakat membuat kaum Muslim Indonesia kian lebih bersikap terbuka, inklusif, akomodatif dan toleran—termasuk dalam furu’iyah. Karena itu pertikaian furu’iyah hampir tidak lagi menjadi isyu.
Salah satu (jika tidak satu-satunya) masalah tersisa adalah terkait penentuan awal dan akhir Ramadhan; perbedaan antara mazhab hisab dan mazhab ru’yat. Perbedaan di antara kedua belah pihak ini sangat mungkin dapat terjembatani sehingga menciptakan konvergensi. Di sinilah pemerintah perlu terus berupaya membangun parameter dan kesepakatan di antara ormas-ormas Islam agar di masa depan yang panjang tidak ada lagi perbedaan dalam mengawali puasa dan merayakan Lebaran.