Senin 12 Oct 2015 06:00 WIB

Nobel Perdamaian dan Kehebatan Partai Islam

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Penghargaan Nobel Perdamaian tahun ini tidak diberikan kepada perseorangan seperti sebelumnya. Penghargaan diberikan kepada lembaga. Bukan satu, tapi sekaligus empat lembaga secara paket alias kuartet. Empat lembaga itu adalah Serikat Buruh Umum Tunisia, Konfederasi Industri Tunisia, Liga Hak Asasi Manusia, dan Asosiasi Pengacara Tunisia. Empat lembaga dari kelompok sipil ini sering disebut sebagai Kuartet Dialog Nasional Tunisia.

Dalam penilaian Komite Nobel Norwegia yang disampaikan di Oslo pada Jumat (09/10) lalu, Kuartet ini dianggap telah berjasa menyelamatkan demokrasi di Tunisia dan menghindarkan negara dari perang saudara.Penghargaan ini juga diharapkan bisa menjadi inspirasi bagi negara-negara di Timur Tengah bahwa kekerasan tidak menyelesaikan masalah. Kekerasan justru akan memunculkan kekerasan serupa.

Dalam hal ini Tunisia telah memberikan pelajaran berharga bahwa untuk memecahkan persoalan politik dan kekuasaan yang pelik justru dengan dialog nasional. Dialog terbuka. Dialog yang menempatkan masing-masing pihak yang bertikai setara. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Dan, dialog itu telah diprakarsai oleh Kuartet Dialog Nasional Tunisia.

Dua tahun setelah tergulingnya rezim diktator-otoriter Zainal Abidin bin Ali, Tunisia diambang kehancuran. Para elit politik saling bertikai memperebutkan kue kekuasaan pasca tumbangnya Presiden Zainal Abidin oleh revolusi rakyat. Revolusi itu dipicu oleh aksi bakar diri seorang sarjanayang menjual sayur dan buah di atas gerobak dorong.

Sarjana itu bernama Mohammad Bouazizi. Pada 17 Desember 2010, ia –saat itu berusia 26 tahun -- sengaja membakar diri di depan kantor pemerintah kota kelahirannya, Sidi Bousaid, karena frustasi. Polisi baru saja menggaruk gerobaknya karena dianggap mengganggu ketertiban umum.

Sontak seluruh Tunisia pun bergolak. Aksi unjuk rasa solidaritas terhadap nasib malang Bouazizi digelar di berbagai kota. Nasib naas Bouazizi seolah mewakili aspirasi sebagian besar rakyat Tunisia yang hidup sumpek: kenaikan harga pangan dan bahan bakar, pengangguran dalam jumlah besar, korupsi merajalela, dan hak politik yang dipasung. Ini kontras dengan para pejabat dan aparat rezim Presiden Zainal Abidin yang hidup berkemakmuran dari korupsi.

Aksi unjuk rasa yang terlanjur besar susah diredam. Kemarahan rakyat kemudian memaksa sang presiden dan istrinya melarikan diri ke Arab Saudi pada 14 Januari 2011. Tunisia pun membuka lembaran baru kehidupan demokrasi.

Revolusi rakyat yang dipicu aksi bakar diri Bouazizi ini lalu menginspirasi rakyat di sejumlah negara Arab. Di Mesir, Yaman, Libia, dan Suriah rakyat pun bergolak. Mereka menggelar aksi unjuk rasa melawan rezim yang telah berkuasa puluhan tahun secara otoriter dan diktator. Inilah yang oleh Barat disebut the Arab Spring alias Musim Semi Arab.

Namun, seperti terjadi di Yaman, Libia, Mesir, Irak, dan Suriah, musim semi yang menjadi simbol harapan masa depan yang lebih baik itu ternyata tak membawa perbaikan pada kehidupan rakyat di Tunisia. Dua tahun setelah tergulingnya rezim Zainal Abidin, yang terjadi justeru konflik berkepanjangan di antara para politisi. Kondisi ini diperkeruh oleh terbunuhnya dua tokoh oposisi, Cokri Belaid dan Mohammad al Brahimi.  Pembunuhan yang kemudian menyulut aksi-aksi unjuk rasa, pemogokan, dan kerusuhan di kota-kota besar Tunisia.

Konflik politik yang terjadi sepanjang 2013 itu diwakili dua kelompok arus utama. Yaitu kelompok penguasa yang dipimpin Partai Islam an Nahdla sebagai pemenang Pemilu 2011, yang berkoalisi dengan Partai Kongres untuk Republik dan Partai Forum Demokratik untuk Buruh dan Kebebasan. Di pihak lain adakelompok oposisi yang diwakili oleh partai-partai sayap kiri dan liberal, antara lain Aliansi Front Rakyat yang dipimpin oleh Hamma Hammami dan Harakah Nida Tunis yang didirikan oleh Beji Caid Essebsi.

Menyusul perselisihan tajam antara kedua belah pihak, ketegangan di masyarkat Tunisia pun meningkat. Apalagi setelah ribuan masyarakat dari kedua kubu turun ke jalan. Mereka juga sudah menduduki Gedung Majelis Konstituante/gedung parlemen. Untuk menghindari bentrok berdarah di antara rakyat Tunisia, kedua belah pihak lalu sepakat untuk menerima ‘Peta Jalan bagi Masa Depan Tunisia’ yang ditawarkan Kuartet Dialog Nasional Tunisia.

‘Peta Jalan’ itu memuat secara rinci tentang periodesasi serta langkah-langkah yang harus ditempuh demi tercapainya rekonsiliasi. Antara lain pengunduran pemerintahan pimpinan pimpinan PM Ali Larayedh, seorang pimpinan Partai an Nahdlah, dan menggantikannya dengan pemerintahan teknokrat.Berikutnya adalah pemilihan anggota Komisi Tinggi Independen untuk meratifikasi undang-undang pemilu.

Pada Januari 2014 undang-undang pemilu baru disetujui oleh 200 dari 216 anggota parlemen. Berikutnya, pemerintahan teknokrat  yang dipimpin Mahdi Jumah pun terbentuk. Selain memimpin pemerintahan sementara, pemerintahan baru ini juga bertugas untuk menjalankan pemilu presiden dan anggota parlemen yang diselenggarakan pada akhir 2014.

Pada pemilu presiden kali ini, Partai Islam an Nahdlah pimpinan Sheikh Rasyid al Ghanousyi yang memenangkan Pemilu 2011 sengaja abstain. Menurutal Ghanousyi, bila partainya mengajukan calon sendiri atau mendukung calon tertentu, maka politik Tunisia ke depan akan terus diwarnai oleh aksi kudeta, teror, dan pembunuhan. Intinya, kelompok oposisi yang dipimpin orang-orang orde lama tidak rela Tunisia diperintah oleh partai Islam. Padahal, katanya, bila mengikuti pemilu ia optimis partainya akan menang.

Baginya, kehidupan politik yang demokratis dan masa depan Tunisia lebih bernilai dari an-Nahdlah.Ia juga tidak mempermasalahkan partainya berpindah dari penguasa menjadi oposisi. Yang ia tidak kehendaki adalah dari penguasa menjadi pihak yang dipenjarakan atau diasingkan seperti terjadi di Mesir dan Aljazair.

Pemilu presiden pada akhir 2014 itu akhirnya dimenangkan tokoh dari rezim Zainul Abdin,Beji Caid Essebsi. Partai yang dibentuk dan dipimpin Essebsi juga memenangkan pemilu anggota parlemen.

Menurut Sheikh al Ghanousyi, ada dua agenda utama setelah partainya tidak berkuasa. Pertama, menyukseskan demokratisasi di Tunisia. Kedua, menjadikan Partai an-Nahdla sebagai kekuatan politik yang disegani.

Sikap al Ghanousyi yang lebih mementingkan rekonsiliasi dan demokratisasi di Tunisia daripada kepentingan pribadi dan partainya ini pun menuai banyak pujian. Media The Wall Street Journaledisi Desember 2014 misalnya, menyebut sikap al Ghanousyi itu sebagai kehebatan partai Islam. Hal serupa ditulis media Aljazeera.net beberapa hari lalu. Menurut Aljazeera, an-Nahdlah sebagai partai pemenang pemilu bisa saja tetap berkuasa dan menolak usulan Kuartet Dialog Nasional. Namun, al Ghanousyi tidak melakukan hal itu karena ia lebih mementingkan kedamaian rakyatnya dan keberlangsungan demokratisasi di Tunisia.

Berkat sikap legowoal Ghanousyi inilah kini Tunisia menjadi negara yang relatif stabil -- baik politik, ekonomi, sosial maupun keamanan -- dibandingkan dengan negara-negara Arab lain yang telah dilanda puting beliung The Arab Spring. Bahkan Tunisia sekarang ini merupakan negara yang paling demokratis dibandingkan dengan negara-negara di Timur Tengah lainnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...

Apa yang paling menarik bagi Anda tentang Singapura?

1 of 7
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement