REPUBLIKA.CO.ID, Sejarah Islam Indonesia kontemporer yang komprehensif masih cukup langka ditemukan. Memang ada beberapa kajian tentang subjek ini, tapi lazimnya terbatas pada aspek tertentu Islam Indonesia kontemporer. Hasilnya, orang sulit mendapat gambaran lengkap, utuh, dan komprehensif tentang dinamika Islam Indonesia secara keseluruhan.
Hal ini juga benar dalam konteks buku karya Carool Kersten, Islam in Indonesia: The Contest for Society, Ideas and Values. Karya cukup substantif (xx+373 halaman) yang terbit pada akhir 2015 (London: Hurst & Company) membahas sejarah Islam Indonesia kontemporer dalam bidang pemikiran Islam. Dalam pengantarnya, Kersten menyebutnya sebagai "an intellectual history of contemporary Indonesian Islam".
Karena itu, sejarah Islam Indonesia kontemporer karya Kersten tidak mencakup dinamika dan perkembangan pranata dan lembaga Islam Indonesia yang juga sangat signifikan dalam masa setidaknya tiga dasawarsa terakhir. Peminat sejarah Islam Indonesia kontemporer dalam bidang terakhir ini harus mencari dalam karya-karya lain. Sayang, belum ada pula karya dalam bahasa internasional yang secara ekstensif dan komprehensif mengkaji pertumbuhan pranata dan lembaga Islam Indonesia pada masa kontemporer.
Kersten, dosen senior Kajian Islam dan Dunia Muslim di King’s College London dan sekaligus peneliti pada Pusat Kajian Asia Tenggara, School of Oriental and African Studies (SOAS), memusatkan banyak perhatian pada sejarah intelektual Islam Indonesia. Ia sendiri menyebut karya terakhirnya sebagai sekuel dari bukunya yang terbit sebelumnya, Cosmopolitanism and Heretics: New Muslim Intellectuals and the Study of Islam (2011).
Dalam Cosmopolitan and Heretics, Kersten membahas panjang lebar sejarah intelektual Islam Indonesia, seperti diwakili Nurcholish Madjid (17/3/1939-29/8/2005). Di antara hal menarik dalam kajian terdahulu ini, intelektualisme Nurcholish Madjid dibahas Kersten dalam perspektif perbandingan dengan Muhammad Arkoun (1/2/1938-14/9/2010), pemikir asal Aljazair yang bermukim di Prancis dan Hassan Hanafi (lahir di Kairo 13/2/1935), pemikir Mesir yang merupakan guru besar filsafat Universitas Kairo. Dengan pembahasan mencakup ketiga intelektual—Nurcholish Madjid, Arkoun, dan Hanafi—Kersten menempatkan sejarah intelektual Islam Indonesia ke dalam konteks global Dunia Muslim.
Kontekstualisasi pemikiran Islam Indonesia ke Dunia Muslim global merupakan gejala dan fenomena baru dalam Kajian Islam Indonesia dan Kajian Islam global secara keseluruhan. Sampai akhir 1980-an, Kajian Islam Indonesia di kalangan Orientalis yang kemudian lebih senang disebut Islamisis tidak tercakup dalam Kajian Islam global. Islam Indonesia mereka anggap 'periferal’ vis-à-vis Islam Timur Tengah atau persisnya Islam Dunia Arab yang mereka pandang sebagai ‘pusat’ (center) Islam. Hasilnya, Islam mereka buat identik dengan Arab—tidak dengan Muslim di wilayah-wilayah lain, seperti Indonesia.
Namun, gejala dan fenomena itu mulai memudar dengan kritik Edward Said dalam karyanya, Orientalism (1978), yang antara lain, mencakup identifikasi Islam dengan Arab. Dalam karya monumentalnya yang sudah klasik dalam bidangnya, Said mengkritik keras penggambaran stereotipikal Orientalisme tentang Islam dengan Arab yang eksotis, terbelakang, tidak berbudaya, dan berbahaya.
Hasilnya, sejak akhir 1980-an, teori dan argumen tentang ‘center’ dan ‘periferi’ juga mulai ditinggalkan. Kajian Islam Indonesia kian menjadi bagian integral Kajian Islam global. Islam Indonesia boleh saja dianggap ‘feriferi’ secara geografis karena jauh dari Dunia Arab, tetapi tidak dalam pemahaman dan praksis keislaman; dan tidak juga dalam dinamika intelektual dan kelembagaan.
Namun, pada saat yang hampir berbarengan, paradigma Orientalisme yang dikritik Said masih bertahan dan bahkan terus meningkat kembali berikutan peristiwa semacam ‘Nine-Eleven’/9 September 2001 di New York, Washington DC dan Philadelphia, yang kemudian diikuti pengeboman di Bali (12/10/2002 dan 1/10/2005), Madrid (11/3/2004), London (7/7/2005), dan terakhir di Paris (13/10/2015). Pandangan stereotipikal Islam dengan Arab dan kekerasan kian meningkat—membangkitkan kembali gelombang Islamofobia, baik dalam hal agama, budaya, maupun politik di kalangan masyarakat Eropa, Amerika, dan Australia.
Peristiwa kekerasan tersebut lebih tercakup dalam sejarah politik Islam kontemporer—tentang kelompok kecil Muslim yang ingin mewujudkan agenda politik tertentu atas nama Islam secara kekerasan. Aspek sejarah intelektual dalam gerakan kelompok kekerasan ini lebih menyangkut wacana dan konsep tentang jihad yang dirumuskan secara ad hoc dan parsial vis a-vis ajaran dan konsep Islam komprehensif.
Sejarah intelektual Islam Indonesia kontemporer dalam pembahasan Kersten sejak dasawarsa awal abad ke-20 juga memiliki kaitan dan ramifikasi global. Akan tetapi, dengan posisi geografis strategis, sebagai negara Muslim terbesar di dunia, negara berpenduduk keempat terbesar, dan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia dapat memberi jalan ketiga alternatif bagi Dunia Muslim lain.