REPUBLIKA.CO.ID, Pada Hari Pers Nasional (HPN) lalu, ada sesuatu yang berbeda. Biasanya gubernur yang menjadi tuan rumah, dalam sambutannya, akan lebih banyak menyampaikan laporan kemajuan pembangunan di daerahnya dan penyampaian harapan bantuan dari pemerintah pusat untuk sejumlah program strategis di daerah.
Forum HPN memang banyak diharapkan oleh para kepala daerah agar daerahnya menjadi tuan rumah. Karena saat itu akan menjadi momen penting bagi wilayah itu. Ada ratusan wartawan yang akan hadir dari seluruh Indonesia. Ini akan menjadi ajang unjuk gigi bagi suatu daerah, baik prestasi maupun keunggulan serta potensinya. Pers menjadi lebih terbuka matanya karena bisa melihat secara langsung.
Pada sisi lain, ajang HPN hampir selalu dihadiri presiden dan sejumlah menteri ataupun pengusaha. Momen HPN tak hanya membicarakan dunia pers, tapi juga membahas investasi di daerah itu.
Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Haji Zainul Majdi tak menyia-nyiakan momentum itu. Saat memberi sambutan, ia pamer tentang pertumbuhan ekonomi NTB yang tertinggi di Indonesia: 21 persen. Luar biasa sekali.
Namun, bukan itu saja yang membuat dirinya bangga. Angka ketimpangan sosialnya pun rendah, sekitar 0,28. Jauh di bawah angka nasional yang mencapai 0,43. Tingkat ketimpangan nasional ini sudah masuk lampu kuning.
Jika pertumbuhan ekonomi NTB karena ada faktor pertambangan, tingkat pemerataan karena faktor keberhasilan bidang pertanian. Nah, pada titik inilah yang membuat saya terkejut saat Tuan Guru Bajang, sapaan akrabnya, memberikan sambutan.
Ia menceritakan kisah suksesnya tentang pertanian padi dan jagung di wilayahnya. Mereka surplus di dua komoditas itu. Namun, gangguan itu muncul, yakni soal beras. Sedangkan, soal jagung, ia justru merasa ada ketidakadilan.
Kisah surplus beras ini menjadi kisah ironi. Pemerintah pusat memutuskan untuk melakukan impor beras. Beras impor itu hendak dimasukkan ke NTB. Tentu saja selaku gubernur dia menolak.
Tak berhenti di situ. Mereka mendekati Polda NTB untuk mengamankan masuknya beras impor itu sejak di pelabuhan hingga ke gudang. Polisi tersinggung dan tentu saja ditolak. Kapal itu kembali berlayar menuju Jawa.
Namun, upaya tak berhenti. Kali ini minta izin untuk dikirim di pelabuhan di luar Lombok, tapi masih di NTB dengan alasan untuk dikirim ke Nusa Tenggara Timur. Sebagai gubernur ia paham: ini cuma akal-akalan. Ia tetap menolak. Saat berpidato, ia tak menyampaikan sedetail ini. Namun, intinya Bulog justru hendak memasok beras di wilayah yang justru kelebihan.
Kisah jagung juga serupa. Jagung petani dihargai Bulog Rp 2.000 hingga Rp 2.500 per kg. Namun, ternyata Bulog justru impor jagung dengan harga Rp 3.000 per kg. Tentu saja ia kecewa.
Jika harga jagung petani dihargai sama dengan jagung impor, tentu kesejahteraan petani akan lebih meningkat. Saat ini tingkat kesejahteraan petani secara relatif terus menurun. Nilai tukar produk pertanian terus menurun dibanding nilai tukar produk industri.
Sehari kemudian, saya bertamu ke Tuan Guru. Lalu saya sampaikan, //kok// kritik terhadap pusat, dalam hal ini Bulog, disampaikan secara gamblang di depan Presiden. Mengapa ia tak menyampaikan hal itu secara langsung ke Presiden?
Dengan enteng ia menjawab bahwa ia sudah berkali-kali menyampaikan hal itu ke Bulog. Karena itu, ia secara sengaja menyampaikan soal itu secara terbuka dalam suatu acara resmi.
Ia bercerita, seusai acara, Presiden justru senang karena mendapat masukan seperti itu. Bahkan, Presiden memberikan informasi ke Tuan Guru tentang kondisi Bulog yang sedang terus ia tata.
Tuan Guru Bajang adalah salah satu gubernur yang sukses dan termuda. Ia dikenal cerdas, rendah hati, dan enak tutur katanya. Ia juga dikenal irit bicara. Ia merupakan cucu pendiri Nahdlatul Wathan, organisasi keagamaan yang mengakar di NTB dan mirip dengan NU. Kakeknya orang yang “disucikan” dan kuburannya banyak diziarahi orang, termasuk dari Jawa.
Kali ini merupakan periode keduanya sebagai gubernur NTB. Salah satu tonggak kisah sukses yang terbaru adalah ketika Lombok memenangkan penghargaan sebagai daerah tujuan wisata halal di dunia. Selama ini penghargaan itu menjadi monopoli Malaysia.
Pemerintahan Jokowi pun sudah menetapkan kawasan Mandalika-yang kemarin menjadi aera peringatan HPN-sebagai kawasan ekonomi khusus. Akan terjadi pembangunan besar-besaran di wilayah ini.
Sikap tegas, jelas, dan konsisten Tuan Guru Bajang dalam memperjuangkan aspirasi dan kesejahteraan warganya merupakan barang langka dalam dunia kepemimpinan politik di Indonesia. Namun, pada era reformasi ini, seiring makin kukuhnya iklim demokrasi, mulai bermekaran kepemimpinan lokal.
Seperti di Amerika Serikat, negeri demokrasi yang paling mapan, kepemimpinan nasional lahir dari dua cabang: gubernur dan senator. Namun, sayang sistem senat di Indonesia berbeda dengan sistem senat di AS.
Di Indonesia, anggota DPD tak memiliki banyak kewenangan sehingga tak bisa banyak diharapkan sebagai persemaian kepemimpinan politik. Karena itu, jalur gubernur kini menjadi salah satu jalur seleksi kepemimpinan nasional. Jokowi adalah kisah sukses pertama dari jalur ini.
Kepemimpinan lokal merupakan persemaian yang bagus. Mereka diuji secara langsung di hadapan rakyatnya. Jika bagus, ia akan mekar dengan baik. Jika buruk, ia pun akan sangat buruk. Ini karena kewenangan yang besar sehingga bisa membangun kerajaan korupsi ataupun kerajaan dinasti keluarga yang subur.
Seperti pernah diucapkan Jokowi, membangun Jakarta akan lebih mudah jika dirinya menjadi presiden. Hal ini ada benarnya. Seperti yang bisa disimpulkan dari kisah Tuan Guru Bajang, musuh terbesarnya justru oknum-oknum di pusat. Bisa dibayangkan, jika tak mendapat dukungan dari kapolda, ia bisa diadu domba. Wilayahnya akan banjir beras impor yang akan membuat petani menderita dan kapok bertani.
Pemerintah pusat sering mengeluh tentang kepala daerah yang bebal. Kepala daerah juga sering mengeluhkan pemerintah pusat yang juga bebal. Kita butuh semuanya bersih dan berkinerja bagus.