Sabtu 14 Jan 2017 06:00 WIB

“Kalau Jadi Islam, Jangan Jadi Orang Arab”

Asma Nadia
Foto: Daan Yahya/Republika
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, “Kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.”

Kata-kata Bung Karno yang dikutip Megawati Soekarnoputri dalam HUT PDI-P menjadi sorotan publik, dan menjadi viral terutama pada bagian "Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab."

Beragam reaksi muncul dari para netizen. Sebagai respons mereka  mulai mempertanyakan: 

"Apakah karena saya orang Indonesia, lantas tidak boleh mengucapkan assalamu'alaikum, melainkan harus selamat pagi, selamat siang dan selamat malam?"

"Apakah menjadi tidak Indonesia, ketika umat Islam memilih mengucapkan Alhamdulillah atau jazakumullah ketika bersyukur dan sebagai ungkapan terima kasih?"

Sebenarnya yang  perlu dikoreksi adalah jika pernyataan,  "Jadi Islam, jangan jadi orang Arab" ini diterjemahkan sebagaimana sudut pandang Kemal Pasha dulu di Turki. Pemahaman yang salah berimplikasi ke banyak hal. Azan diubah menjadi dalam bahasa Turki, Qur’an semua hanya berupa terjemahan, dan segala yang berbau bahasa Arab dilarang. 

Saya berprasangka baik Ibu Megawati dan seluruh pemimpin bangsa insya allah memahami kalimat tersebut dengan proporsional, tidak sesempit pemahaman Bapak Pendiri Turki tentang Islam. Setidaknya sang politisi memulai pidatonya dengan assalamu’alaikum, menandakan pemberi salam tersebut Muslim, dan tentu tidak lantas menjadikannya orang Arab.

Tantangan bagi umat Islam  saat ini adalah untuk  mampu  memilah dan memilih. 

Menutup aurat adalah ajaran Islam, bukan budaya Arab, jadi hukumnya wajib. Dan menjalankannya dilindungi undang-undang. Aturannya jelas dalam Alquran juga  hadist. 

Sekalipun segelintir orang mengatakan jilbab merupakan budaya Arab, akan tetapi pendapat ini tidak didukung bukti kuat. Sebelum datangnya Islam, perempuan Arab tidak memakai jilbab sebagaimana  sekarang, bahkan tidak sedikit yang berbusana terbuka ketika mengelilingi Kabah. 

Di tanah air, alhamdulillah saat ini polisi dan tentara muslimah mulai difasilitasi keinginannya untuk mengenakan jilbab. Kebijakan yang diambil untuk  melindungi hak anak bangsa menjalankan agama sebagaimana dijamin  undang-undang.

Mengucapkan alhamdulillah ketika bersyukur atau menerima kebaikan orang lain, memulai dengan  assalamualaikum saat menyapa, merupakan ajaran Islam. Di dalamnya ada doa, filosofi, dan harapan. Derajat ungkapan yang jauh lebih tinggi dari sekadar terima kasih atau selamat pagi, selamat siang atau selamat malam. 

Sekalipun bukan kewajiban, memilih mengucapkan salam sesuai ajaran Islam, tidak selayaknya diartikan mengurangi nilai  keindonesiaan seorang  Muslim di tanah air. 

Islam menghargai budaya,  sepanjang tidak menyalahi syariah.

Menjadi Islam adalah titik awal proses seseorang menuju takwa. Menjadi Islam berarti menjalankan Alquran dan sunnah Nabi-Nya. Bagi mereka yang beriman, di dalamnya termasuk ikhtiar untuk meluruskan budaya lokal atau adat yang tidak sesuai ajaran Islam. 

Tuanku Imam Bonjol dengan tegas menentang kebiasaan masyarakat di zamannya yang menghalalkan judi dan mabuk-mabukan. Mengusung semangat membangun peradaban Islam, Perang Padri terjadi  melawan penjajahan Belanda.  Kini masyarakat ranah Minang dikenal menjunjung tinggi Islam dan memiliki kebanggaan kuat sebagai Muslim.

Akan tetapi, budaya yang selaras, tidak bertentangan dengan ajaran Islam tentu saja tidak dilarang. Pria Muslim di Indonesia tidak harus memakai gamis, sepanjang sudah menutup aurat. Ini persoalan pilihan. Ingin menjadikan batik sebagai busana harian, juga tidak bertentangan, bahkan tidak mustahil batik  di kemudian hari menjadi  ciri khas budaya Islam di Indonesia. Cikal bakalnya ada, mengingat sebagian besar motif batik bercorak abstrak sebagaimana seni kaligrafi yang muncul untuk menghindari gambar hidup. 

Seorang wanita  berjilbab pun dibolehkan tetap mengenakan kebaya selama tidak transparan, tidak ketat dan menutup aurat.

Bagaimana dengan penggunaan kata  ana-antum sebagai pengganti saya-kamu?

Sebagai upaya pembiasaan karena keinginan menggunakan bahasa Arab, seharusnya hal ini  bukan masalah. Bukankah banyak anak bangsa yang membiasakan diri berbicara dalam bahasa Inggris, juga bahasa asing lain dengan berbagai alasan?

Terlebih  bahasa Qur’an berakar dari bahasa Arab pilihan, sehingga memahami dan menerapkan bahasa Arab akan memudahkan seorang Muslim memahami Alquran. 

Kembali pada dialog yang terpacu dari kutipan yang menjadi judul resonansi kali ini, siapa pun bisa menjadi Muslim taat tanpa harus meninggalkan adat dan budaya nusantara. Sebaliknya kita bisa menjadi orang Indonesia dengan iman tetap tegak di dada. Kuncinya, memilah dan memilih segala kebaikan yang ada. Sebab sesama kebaikan insya allah mampu berjalan berdampingan. 

Dengan begitu, sama sekali bukan sesuatu yang bersebrangan untuk  berdiri tegak dengan identitas sebagai Muslim, dan di saat yang sama bangga menjadi warga dunia dari Indonesia. 

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement