REPUBLIKA.CO.ID, Kebebasan berdakwah, khususnya melalui ceramah agama adalah salah satu tradisi dan sekaligus warisan (legacy) Islam Indonesia. Para da’i, termasuk khatib, ustaz atau mubaligh tidak memerlukan ‘Surat Izin Khutbah’ (SIK) dari pemerintah semacam Kementerian Agama; juga tidak dari Ormas Islam.
Karena itu seandainya ‘SIK’ itu akhirnya diwajibkan di suatu waktu kelak, itu jelas tidak sesuai dengan tradisi yang telah terbentuk selama berabad-abad. Bahkan dia dapat merusak legacy Islam Indonesia; dakwah yang mandiri dan bebas menjadi prasyarat dan faktor di balik pembentukan Islam wasathiyah beserta kelembagaan Islam yang begitu kaya.
Tetapi harus diakui, kebebasan berdakwah tidak selalu digunakan secara bertanggung jawab oleh sebagian khatib atau dai. Terdapat khatib yang melalui mimbar Jumat-an menyampaikan khutbah yang secara substansi, penguasaan materi, cara penyampaian dan bahasa tidak sesuai prinsip dakwah yang digariskan Alquran (misalnya an-Nahl 16:125; Ali Imran 3: 104, paradigma Islam Indonesia wasathiyah dan juga keislaman-keindonesiaan.
Sudah banyak penelitian ilmiah yang dilakukan kampus semacam UIN atau lembaga penelitian lain yang menemukan khutbah atau ceramah agama seperti itu kian meluas. Gejala ini terjadi tidak hanya di masjid atau majelis taklim komunitas Muslim sendiri atau perusahaan swasta, tetapi juga dalam Jumat-an dan pengajian di masjid kantor pemerintah dan perusahaan milik negara (BUMN).
Cukup sering ditemukan, khatib yang menyampaikan substansi dan materi ‘keras’ atas dasar pemahaman literal dan sepotong-sepotong; tidak dalam perspektif Islam komprehensif dan utuh. Tak jarang pula substansinya mempertentangkan antara keislaman dengan keindonesiaan; menyatakan pemerintah misalnya adalah thagut (fir’aunik), dan umat Islam Indonesia yang mengikuti mereka juga menjadi pengikut thagut.
Khutbah bisa semakin ‘panas’ dengan gaya penyampaian berapi-api dan provokatif. Dalam keadaan seperti ini, penulis Resonansi ini pernah menyaksikan ada jamaah yang kelihatannya tidak tahan dan meninggalkan masjid. Toh, khatib tidak bisa diinterupsi dan dihentikan berkhutbah.
Gejala kedua yang juga menonjol adalah khatib atau dai lain yang dakwahnya juga disampaikan media elektronik. Banyak di antara mereka terlihat memahami Islam dan prinsip dakwah dengan baik. Tapi juga ada di antara mereka yang terlihat tidak memahami Islam secara baik. Merela muncul mendadak yang kemudian mendapatkan popularitas hampir secara instan.
Gejala ini bisa disaksikan khususnya di radio saluran TV yang terbuka dan bisa diakses secara luas dan mudah atau yang harus diakses melalui ‘TV kabel’ atau berlangganan atau lewat parabola. Media elektronik (radio, TV, dan juga video semacam YouTube) lebih bebas lagi. Muslimin Indonesia bisa mengakses tidak hanya saluran dalam negeri, tetapi juga mancanegara. Pendengar dan pemirsa dapat mengikuti dakwah lewat media ini 24 jam penuh tanpa pembatasan.
Bisa dipastikan, ceramah dan dialog agama virtual secara substantif dan metodologis juga tidak selalu sesuai dengan prinsip dakwah yang sudah digariskan al-Qur’an dan dirinci para ulama otoritatif. Pemirsa atau pendengar yang tidak kritis dengan mudah dapat terpengaruh substansi dan pendekatan yang disampaikan da’i tertentu.
Dalam semua konteks itulah dapat terlihat alasan kuat tentang perlunya ‘standardisasi’ khatib, ustadz, dan muballigh lain. Apa yang disebut sebagai ‘standardisasi’ itu semestinya merupakan peningkatan kualifikasi dan kompetensi para khatib dan pemberi ceramah agama lain.
Peningkatan kualifikasi dan kompetensi itu, pertama-tama menyangkut pemahaman tentang berbagai aspek ajaran Islam secara komprehensif. Ajaran Islam komprehensif selain bersumber dari Alquran dan Hadis, juga telah dirinci para ulama otoritatif.
Pemahaman Islam komprehensif yang bersifat teologis-doktrinal itu perlu diperkaya dengan pengetahuan tentang realitas historis yang mengitari kaum Muslimin. Bagaimanapun, pemahaman dan pengamalan Islam sedikit banyak terkait pula dengan realitas dan dinamika masyarakat Muslim itu sendiri.
Selain itu, perlu peningkatan kompetensi para khatib dan penceramah agama lain dalam kemampuan menjelaskan substansi yang mereka sampaikan dengan retorika dan bahasa yang baik dan pantas. Dengan begitu, substansi khutbah dapat lebih mudah dicerna jamaah.
Sebenarnya, usaha peningkatan kualifikasi dan kompetensi para khatib dan juru dakwah lainnya telah dilakukan berbagai ormas dan lembaga Islam sejak waktu lama. Program itu biasa disebut beragam sejak dari ‘kaderisasi da’i’, ‘kursus muballigh’ dan semacamnya.
Program ini bisa diperluas dengan kerja sama pemerintah (misalnya Ditjen Bimas Islam Kemenag), sehingga menjadi lebih sistematis dan berkelanjutan. Melalui kerja sama ini dapat muncul khatib dan juru dakwah yang alim, handal dan wasathiyah yang menampilkan Islam rahmatan lil-‘alamin.