REPUBLIKA.CO.ID, Di awal malam pada 23 Mei 2017, Dubes RI di Moskow, Bung Wahid Supriadi, mengontak saya via telepon. Sambil mengenalkan diri, Dubes juga mengundang saya untuk berkunjung ke negara mantan Tirai Besi itu. Di malam itu ada dua tamu penting Indonesia yang sedang berada di Moskow: Menko Polhukam Wiranto dan Kepala BNPT Komjen Suhardi Alius. Tetapi ada yang lebih menarik dalam pembicaraan telepon itu. Dubes bertanya: “Mengapa isu PKI masih ramai di Indonesia, sementara di Rusia pendukung komunisme tinggal lagi 13 persen?” Jawaban saya, ya itulah politik kita dalam upaya merebut simpati publik agar dukungan terhadap pemerintah Jkw-JK bisa dilemahkan melalui isu PKI ini. Sebagaimana kita maklum sasaran utama yang ditembak dengan mengelindingkan isu pandir ini adalah Presiden Jkw yang dituduh sebagai titisan PKI. Bahkan ada yang melontarkan pendapat agar gen Jkw diteliti untuk menelusuri keterkaitannya dengan PKI.
Situasi semakin heboh dengan munculnya buku sensasi karangan Bambang Tri Mulyono berjudul: Jokowi Undercover, Malacak Jejak Sang Pemalsu Jatidiri (2016) yang diperbanyak dengan fotokopi. Penulis ini berasal dari sebuah dusun di Blora yang sehari-hari ditengarai sebagai peternak ayam dan kambing. Kelompok anti-Jkw banyak juga yang percaya dengan isi buku ini yang kabarnya mulai digarap sejak 2014, tahun terpilihnya Jkw sebagai presiden. Dari sosok yang semula tidak dikenal Bambang Tri dengan karyanya itu mendadak sontak jadi perhatian publik. Maka jadilah Jkw sebagai keturunan orang PKI diperbincangkan orang sampai ke pelosok Nusantara, sebuah fitnah politik murahan di lingkungan suasana demokrasi Indonesia yang penuh gesekan.
Menarik juga untuk dikomentari, seorang peternak ayam dan kambing saja jika mampu menyentuh dan mengusik kepekaan publik, namanya mudah mencuat jadi perbincangan orang, dan kelompok yang anti Jkw dengan enak saja menelan mentah-mentah Jokowi Undercover ini, sekalipun isinya palsu. Bagi mereka yang penting bukan kebenaran isinya, tetapi buku itu dapat dipakai untuk memukul lawan politik. Yang ironis adalah bahwa yang menggunakan kicauan Bambang Tri ini ada beberapa orang yang terdidik dan terlatih di ranah politik dan militer.
Kita lanjutkan. Sesungguhnya yang merasa geli dengan isu PKI ini tidak hanya Dubes di atas, tetapi juga semua mereka yang masih punya nalar sehat, sekalipun mungkin tidak suka kepada Jkw. Bagi saya sendiri, upaya sementara orang untuk mengangkat isu PKI ini sama saja dengan menggali kuburan sejarah yang menghabiskan energi dan pasti sia-sia. Akan lebih bagus jika seseorang yang tidak menyukai pimpinan negara sekarang, bangunlah pendapat secara cerdas dan jujur dengan argumen yang kuat sehingga dalam pilpres 2019 tidak terpilih lagi. Tetapi untuk menjatuhkannya sebelum masa jabatan rampung lima tahun dengan isu-isu yang sarat kebencian jelas akan semakin merusak sistem demokrasi Indonesia yang lagi merana itu. Inilah salah satu akibat dari berjibunnya jumlah politisi yang tidak mau naik kelas menjadi negarawan, sebagaimana yang pernah muncul lebih dari dari sekali di kolom ini.
Bahwa PKI pernah dijuluki sebagai partai komunis terkuat nomor tiga sesudah Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok, dunia mengakuinya. Mohon dicatat bahwa hancurnya komunisme bukan karena keunggulan dan kebaikan sistem kapitalisme yang anti keadilan itu, tetapi cara brutal dan anti kemanusiaan yang ditempuh kaum komunis untuk merebut kekuasaan telah membawa ideologi ini ke tiang gantungan sejarah. Amat disesalkan PKI menjadi besar karena mendapat payung perlindungan dari penguasa ketika itu. Drama ini meraih titik baliknya dengan tragedi 30S/PKI 1965 yang nyaris meluluhlantakkan fabrik sosial-politik bangsa ini. Pasca tragedi ini ketegangan sosial-politik tidak dengan sendirinya reda, bahkan sampai sekarang masih saja dibicarakan orang tentang siapa sejatinya aktor intelektual di balik bentrokan berdarah sesama anak bangsa ini. Pihak luar pun turut berkicau menyoal latar belakang benturan berdarah ini.
Tetapi tuan dan puan jangan salah tafsir, ketika Resonansi ini berbicara tentang kekejaman penganut komunisme di berbagai negara, termasuk tindakan brutal rezim Pol Pot di Kamboja yang membunuh rakyatnya sendiri dalam jumlah sekitar 2 juta. Berapa puluh juta rakyat yang binasa di bawah rezim Joseph Stalin dan Mao Tse Tung di bekas Uni Soviet dan di Cina Daratan. Rezim komunis tidak pernah ramah kepada kemanusiaan. Saya termasuk yang mengutuk semuanya itu, di samping juga mengutuk tindakan kejam rezim Orba terhadap pengikut atau yang dikategorikan sebagai pengikut PKI yang jumlahnya juga ribuan tanpa melalui proses pengadilan. Tidak sedikit juga di antara mereka itu yang menjadi diaspora di negara-negara lain, tidak bisa pulang ke Indonesia karena jiwa mereka terancam. Kekejaman model ini jangan berlaku lagi di Negara Pancasila ini pada masa-masa yang akan datang. Dan teman-teman simpatisan PKI mesti mau belajar tentang tentang watak komunisme yang anti-demokrasi dan antikemanusiaan.