REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa kali saya telah menulis mengenai tragedi kemanusiaan di Suriah. Intinya, akibat dari konflik berkepanjangan dan munculnya kelompok-kelompok teroris telah menyebabkan negara itu berantakan. Separuh penduduknya — sekitar 23 juta jiwa sebelum konflik — terpaksa meninggalkan rumah. Ada yang takut terkena peluru atau bom dari kelompok-kelompok yang bertikai, namun lebih banyak karena rumah mereka sudah hancur rata dengan tanah. Lebih dari 270 ribu warga telah tewas. Sekitar 13 ribu di antaranya adalah anak-anak.
Tragedi kemanusiaan serupa ternyata juga berlangsung di Irak. Tepatnya di Mosul, kota terbesar kedua di Irak setelah Baghdad. Usai dibebaskan dari cengkeraman milisi yang menamakan diri sebagai Islamic State of Iraq and Syria alias ISIS, Mosul kini bagai kota hantu. Menakutkan.
Menurut laporan berbagai media internasional, kini banyak gedung, apartemen, rumah, sekolah, rumah sakit, sekolahan yang hancur. Hampir semua infrastruktur yang terkait dengan kebutuhan hidup sehari-hari seperti saluran air bersih, sanitasi, dan listrik tak berfungsi.
Untuk melihat kehancuran dan sekaligus kekejaman para milisi ISIS barangkali kita cukup melihat puing-puing Masjid Agung al Nuri kini. Masjid ini dibangun oleh Sultan Nuruddin Mahmud Zangi pada abad 12.
Dari masjid ini pemimpin ISIS, Abu Bakar al Baghdadi, tiga tahun lalu mendeklarasikan berdirinya sebuah negara kekhilafahan bernama ad Daulah al Islamiyah fi al Iraq wa Suriah alias ISIS. Namun, beberapa hari sebelumnya al Baghdadi telah terlebih dulu memerintahkan anak buahnya untuk membunuh seluruh takmir Masjid Agung al Nuri. Termasuk para imam dan khatibnya. Alasannya, karena mereka menolak berbaiat kepada ‘Sang Khalifah’ Abu Bakar al Baghdadi.
Tiga tahun setelah berkuasa di Mosul, al Baghdadi pula yang memerintahkan untuk mengebom Masjid Agung al Nuri. Perintah itu ia keluarkan setelah para milisi ISIS terdesak oleh militer Irak yang didukung pasukan sekutu/AS. Dengan hancurnya Masjid al Nuri berakhir pula simbol kejayaan Kota Mosul.
Seperti Masjid Agung al Nuri itulah kondisi para penduduk Mosul selama tiga tahun di bawah kendali ISIS. Pembunuhan, penculikan, perampasan, pemerkosaan, dan intimidasi adalah pemandangan sehari-hari. Juga gedung-gedung yang dihancurkan dan peluru yang beterbangan di atas kepala.
Pengalaman buruk selama tiga tahun diperintah ISIS itulah yang kini menjadi trauma berkepanjangan penduduk Mosul. Bagi orang dewasa, mungkin mereka akan segera bangkit. Bisa cepat beradaptasi. Pengalaman tiga tahun dalam cengkeraman ISIS barangkali bisa dianggap hanya mimpi buruk. Namun, bagaimana dengan anak-anak?
Kita dan masyarakat internasional terlalu bebal bila menyatakan anak-anak Mosul akan terbiasa dengan kehidupan mereka. Pemandangan anak-anak yang selamat keluar dari reruntuhan dalam keadaan ketakutan, kelaparan, dan terpisah dari keluarganya jelas menggambarkan tragedi kemanusiaan yang sangat perih.
Mengutip data Unicef (United Nations Children's Fund), kini terdapat 4,9 juta anak di Irak yang menderita kelaparan akibat konflik dan kekejaman kelompok-kelompok radikalis-teroris. Sekitar 1,49 juta dari mereka di bawah usia lima tahun. Menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi, lebih dari 900.000 orang — dari 2 juta jumlah penduduk Mosul — mengungsi selama tiga tahun kekuasaan ISIS di Mosul, sekitar 55 persen di antaranya adalah anak-anak. Sebagaian besar mereka tidak bersekolah.
Yang menyedihkan, menurut laporan PBB dengan judul ‘Dana Pendidikan di Irak’, Pemerintah Irak mengalokasikan dana yang sangat rendah untuk sektor pendidikan. Antara tahun 2015-2016 lalu misalnya, anggaran pendidikan hanya 5,7 persen dari seluruh belanja negara.
Setali tiga uang adalah sikap dunia internasional. Untuk memberantas kelompok-kelompok radikalis-teroris seperti ISIS, 62 negara berkoalisi. Miliaran dolar mereka gelontorkan untuk menumpas ISIS. Namun, untuk membangun kembali Mosul yang hancur, termasuk infrastruktur pendidikan dan penyembuhan traumatik anak-anak, hingga kini belum ada koalisi yang serius di bidang pembiayaan.
Padahal, anak-anak itulah yang semustinya justeru menjadi senjata ampuh masa depan untuk memerangi paham radikalis-teroris. Mereka adalah masa depan Mosul. Masa depan Irak. Bila mereka tidak mendapatkan penghidupan dan pendidikan yang baik dikhawatirkan mereka justeru akan menjadi bibit-bibit teroris.
Lantas siapakah yang bisa disalahkan bila Mosul yang dulu subur makmur kini hancur berantakan?
Mosul merupakan ibukota Provinsi Ninawa, terletak di bagian utara Irak. Jumlah penduduknya sekitar 2 juta jiwa. Arab Sunni merupakan mayoritas. Berikutnya adalah Kristen. Di Mosul terdapat juga suku Kurdi, Turkmen, Armenia, Shabak, Yazidi, dan lain-lain.
Selama ratusan tahun mereka hidup damai, penuh toleransi, dan pada umumnya taat beragama. Pergantian penguasa atau dinasti Islam yang silih berganti tidak mempengaruhi kerukunan umat beragama di Mosul. Keberadaan Masjid Agung al Nuri dan ratusan masjid lainnya serta puluhan gereja dan biara kuno yang masih terpelihara adalah sebagai bukti.
Ekonomi Mosul pun sangat maju. Penduduknya sejahtera dan makmur. Produksi dan ekspor minyak merupakan andalan. Juga perdagangan. Dari tanahnya yang subur, Mosul sejak lama dikenal sebagai penghasil biji-bijian, kacang-kacangan, dan sayuran. Apalagi setelah dibangun proyek-proyek irigasi modern dan Dam Mosul.
Hingga suatu hari datanglah bencana itu. Tepatnya 10 Maret 2003, ketika pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat (AS) menyerang Irak dan sekaligus menghabisi kekuasaan rezim Presiden Saddam Husein. Alasannya, untuk melucuti senjata pemusnah massal rezim Saddam yang hingga kini tak pernah terbukti.
Akibat invasi sangatlah dahsyat. Mengutip media al Sharq al Awsat, demokratisasi Irak pasca-invasi yang dimenangkan kelompok Syiah sebagai mayoritas telah menyebabkan penderitaan berkepanjangan bagi warga Sunni. Termasuk di Mosul di mana kelompok Sunni merupakan mayoritas.
Dengan alasan mengejar loyalis rezim Saddam Husein, berbagai milisi yang tak dikenal tiba-tiba memasuki Mosul dan wilayah-wilayah lain di Irak. Para milisi itu mengintimidasi, menyiksa, menculik, dan bahkan membunuh warga yang melawan. Harta benda warga pun dijarah. Kebebasan dibungkam. Anehnya, semua itu berlangsung di depan mata militer koalisi pimpinan AS.
Kondisi itu ternyata telah memunculkan instabilitas Irak. Berbagai kelompok Sunni pun melakukan berbagai perlawanan. Ketidakstabilan politik dan keamanan inilah yang kemudian dimanfaatkan kelompok-kelompok radikal hingga muncul sebuah kekuatan yang menamakan diri ISIS. Namun, sekali lagi, AS dan koalisinya telah melakukan pembiaran. Dan, tiga tahun lalu para milisi ISIS ini pun berhasil menguasai Mosul.
Kendati ISIS juga beraliran Sunni, namun ternyata mereka lebih bengis. Siapa pun yang menolak berbaiat kepada ‘Khalifah al Baghdadi’ hukumannya adalah siksaan, pembunuhan, dan penculikan, sebagaimana mereka lakukan terhadap para marbot Masjid Agung al Nuri.
Pembebasan Mosul dari cengkeraman ISIS pun ternyata juga memakan korban. Apalagi ISIS telah menjadikan warga sipil sebagai tameng hidup. Serangan darat militer Irak yang didukung pemboman dari udara pasukan AS telah ikut menghancurkan berbagai gedung dan bangunan warga.
Maka, kini, kendati telah terbebas dari ISIS, Mosul bagai kota hantu. Para warga bangkit dari reruntuhan untuk menyongsong masa depan yang tidak menentu.