REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
Istilah ‘pesantren Salafi’ agaknya baru populer di Indonesia dalam waktu dua atau tiga dasawarsa terakhir. Bangkitnya popularitas itu lazimnya terkait dengan fenomena pesantren Salafi yang dianggap kalangan masyarakat Indonesia dan internasional sebagai mengajarkan doktrin dan praksis Islam yang puritan dan keras—jika tidak ekstrem atau radikal.
Lebih jauh, popularitas itu, baik di lingkungan nasional maupun internasional, terkait dengan tuduhan kalangan Barat (Amerika Serikat dan Eropa) pasca-9/11 (2001). Mereka menganggap ‘madrasah’ di Afganistan sebagai ‘pusat Talibanisme alias radikalisme bahkan terorisme. Persepsi ini kemudian secara gebyah uyah diterapkan pada madrasah lain di berbagai negara di dunia Muslim.
Selanjutnya, persepsi itu mencakup lembaga pendidikan ‘tradisional’ Islam lain, khususnya pesantren. Karena lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren kini hanya terdapat di Indonesia—tidak di negara-negara Muslim lain — akibatnya sering pesantren juga terkena persepsi semacam itu.
Kaum Muslim Indonesia pada tempatnya menolak anggapan keliru tersebut. Alasannya sederhana, pesantren tradisional adalah lembaga pendidikan sangat tua, yang berkembang sejak masa awal Islamisasi masif pada paruh kedua abad ke-13. Konsolidasi lembaga pendidikan ini sehingga menghasilkan pesantren tradisional seperti diwarisi Indonesia modern bermula sejak perempatan pertama abad ke-19.
Karena itu, radikalisme yang dikaitkan dengan pesantren umumnya jelas jauh panggang dari api. Pesantren tradisional tumbuh dan berkembang justru sebagai pusat penanaman dan penguatan Islam wasathiyah dengan warna dan nuansa distingtif.
Sebab itulah istilah pesantren Salafi tidak selalu dipahami masyarakat Muslim Indonesia, baik awam maupun terpelajar. Gejala ini terlihat dari kerancuan istilah atau nomenklatur terkait, misalnya ‘pesantren Salafiyah’ dengan ‘pesantren Salafi’. Kerancuan itu juga mencakup substansi pendidikan di berbagai pesantren yang berbeda.
Istilah ‘pesantren Salafiyah’ mengacu pada pesantren ‘tradisional’ yang telah berusia berabad-abad. Biasanya, istilah ‘pesantren Salafiyah’ dikontraskan dengan ‘pesantren Khalafiyah’— pesantren ‘modern’. Secara ideologis keagamaan, baik ‘pesantren Salafiyah’ maupun ‘pesantren Khalafiyah’ berpusat pada doktrin dan praksis Ahlus Sunnah wal-Jama’ah dengan sedikit perbedaan penekanan di sana sini.
Sebaliknya, ‘pesantren Salafi’ mengacu pada paham Salaf atau Salafisme (ideologi Salafiyah) yang kembali kepada kaum Salaf, yaitu generasi sahabat (juga thabi’in senior) Nabi Muhammad SAW. Acuan ini berdasarkan pandangan pemikir dan aktivis Salafi klasik dan kontemporer, Islam yang dipahami dan diamalkan kaum Salaf atau para sahabat adalah Islam sempurna, yang murni dari tambahan (bid’ah) atas praktik Rasulullah. Bagi mereka, Islam Salafi tegasnya adalah Islam murni yang tidak tercampur dengan tradisi keagamaan dan budaya lokal.
Pandangan Salafi seperti itu adalah idealisasi dan romantisasi terhadap para sahabat dan thabi’in. Generasi awal Islam itu tentu memiliki peran besar dalam penyiaran Islam juga memiliki harkat dan martabat mulia. Tetapi, kaum Salaf dan thabi’in bukanlah Nabi yang ma’shum, bebas dari kealpaan, dan kesalahan.
Pada masa pasca-Nabi ada kalangan sahabat (atau kelompok sahabat) yang terlibat kontestasi kekuasaan. Ini bermula dengan pertikaian antara kaum Muhajirun (Muslim yang hijrah dari Makkah ke Madinah) dengan kaum Anshar (Muslim asli Madinah yang menolong Muhajirun) mengenai siapa pengganti Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat—bukan sebagai nabi. Pertikaian di antara kedua belah pihak ini tercatat sebagai Peristiwa Saqifah Bani Sa’idah (12 Rabiul Awal 11H/8 Juni 632M).
Konflik yang berujung pada kekerasan dan perang juga terjadi di antara Aisyah (janda Nabi), dengan Ali bin Abi Talib (menantu Nabi) pada Jumadil Akhir 36H/Desember 657M. Perang antara kedua belah pihak beserta pendukung masing-masing terkenal sebagai Perang Jamal (Perang Berunta) karena Aisyah memimpin perang di atas unta.
Konflik dan perang yang lebih dahsyat terjadi antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Inilah Perang Siffin (1-3 Safar 37H/26-28 Juli 657M) yang disebut ‘al-fitnat al-kubra’—perang saudara besar. Konflik politik yang berujung perang ini memunculkan paham dan kelompok yang eksistensinya berlanjut sampai sekarang: Khawarij, Mu’tazilah (dalam batas tertentu diadopsi Syi’ah), dan Asy’ariyah serta Maturidiyah (kemudian menjadi Ahlus Sunnah wal Jama’ah/Sunni).
Meski ada fakta historis menyedihkan ini, idealisasi dan romantisasi kaum Salaf terus berlanjut. Para pendukung paham dan gerakannya terus berusaha mengembangkan pengikutnya—salah satu media paling strategis adalah melalui pendidikan, wa bilkhusus pesantren yang kemudian dikenal sebagai pesantren Salafi.