REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
Agaknya cukup jelas, "pesantren Salafi" memiliki akar-akarnya dalam paham dan praksis Salafisme—idealisasi tentang Islam murni pada masa kaum Salaf, utamanya sahabat Nabi. Seperti dipegangi kaum Muslim lain, kaum Salafi juga percaya lembaga pendidikan merupakan lokus strategis untuk penanaman paham dan praksis keislaman mereka.
Secara historis, pesantren berpaham Salafi tidak memiliki presedennya di masa silam kaum Muslimin Indonesia. Sejak masa awal penyebaran Islam di Indonesia pada separuh abad ke-13 dan masa seterusnya sampai sekarang, pesantren yang tumbuh dan berkembang di Nusantara lazimnya adalah pesantren Salafiyah.
Sekali lagi, pesantren Salafiyah ("tradisional") yang dalam dinamika perkembangannya juga memunculkan pesantren Khalafiyah ("modern") berdasar pada paham dan praksis Ahlussunah waljamaah. Pesantren Salafiyah dan Khalafiyah memegangi ortodoksi Islam Indonesia yang terkonsolidasi sejak abad 17, mencakup tiga aspek: kalam Asy’ariyah/Jabariyah, fikih Mazhab Syafi’i, dan tasawuf al-Ghazali.
Pesantren Salafiyah jelas memiliki peran penting dalam konsolidasi lebih lanjut ortodoksi Islam Indonesia. Hal ini tak lain karena pesantren Salafiyah memainkan tiga peran pokok: transmisi dan transfer ilmu beserta kecakapan praksis Islam, pemeliharaan tradisi Islam Indonesia, dan reproduksi kader dan calon ulama.
Zaman boleh berubah, tetapi pesantren Salafiyah dan pesantren Khalafiyah yang muncul belakangan bukan hanya bertahan, melainkan juga berhasil membuat momentum baru. Pembangunan atau modernisasi Indonesia sejak awal 1970-an pada gilirannya memberikan elan baru bagi pesantren indigenous Indonesia.
Namun, modernisasi juga mendorong munculnya perkembangan lain, misalnya, tumbuhnya semangat baru tentang Islam. Persepsi tentang "kebangkitan Islam" pada 1980 memberi lahan bagi paham dan praksis gerakan Islam transnasional, seperti Tarbiyah. Tetapi, karena pemerintah Presiden Soeharto sangat kuat dan represif, paham dan praksis gerakan transnasional yang menekankan aktivisme Islam murni tidak muncul ke permukaan.
Meski sudah ada mulai penyebaran bibit Salafisme sejak pertengahan 1990-an, adalah masa liberalisasi dan demokratisasi pasca-Soeharto yang memberi banyak ruang bagi paham dan gerakan transnasional ini mengekspresikan diri. Konflik komunal antara umat Muslim dan Kristen di Ambon 1999-2001 yang mengorbitkan Lasykar Jihad di bawah pimpinan Ja’far Umar Thalib sekaligus menciptakan momentum bagi Salafisme.
Tidak diketahui pasti berapa jumlah pesantren salafi pada awal dasawarsa awal 2000. International Crisis Group (ICG) dalam laporan 2004 melaporkan adanya 29 pesantren Salafi. Kajian-kajian akademis selanjutnya, seperti Nurhaedi Hasan (2005), Din Wahid (2014), Jajang Jahroni (2015), dan Sunarwoto (2015) tidak memberi jumlah pesantren Salafi.
Berbagai literatur di dunia maya menyebut tentang pesantren Salafi-Wahabi yang harus diwaspadai kaum Muslim dan orang tua santri. Jumlahnya bervariasi antara 30-an sampai 50-an yang kebanyakan berlokasi, terutama di Pulau Jawa. Penggunaan istilah "pesantren Salafi-Wahabi" dalam literatur semacam ini secara eksplisit menunjukkan pembedaan dengan ‘pesantren Salafiyah’ (‘tradisional’).
Sementara itu, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama juga tidak memiliki data pasti jumlah pesantren Salafi. Bahkan, dalam literatur yang beredar di sekitar direktorat ini, masih terjadi kerancuan dan campur aduk antara ‘pesantren Salafi’ dan ‘pesantren Salafiyah’. Tidak klasifikasi yang jelas dan tegas tentang kedua corak pesantren ini.
Di sini, penelitian yang diselenggarakan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2017) untuk menyusun pangkalan data pesantren Salafi menjadi sangat penting. Temuan data penelitian PPIM ini amat membantu dalam memahami tidak hanya jumlahnya, tetapi juga berbagai aspek lain pesantren Salafi.
Penelitian di 25 kota/kabupaten dalam 13 provinsi (Aceh, Riau, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, NTB, Sulawesi Selatan, Maluku) menemukan 11 lembaga pendidikan Salafi. Mereka terdiri atas 95 pesantren, 11 SD, tiga perguruan tinggi, dan dua lembaga kursus. Wilayah Bogor memiliki lembaga pendidikan Salafi terbanyak (empat pesantren dan tiga sekolah).
Pesantren Salafi berorientasi transnasional. Seperti ditemukan penelitian PPIM, 35 (41 persen) pesantren Salafi berafiliasi ke Yaman; dan 56 (59 persen) lainnya berafiliasi ke Arab Saudi.