REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Asma Nadia
Sekelompok pria berpakaian long dress khas wanita dilengkapi sepatu hak tinggi mendaki gunung. Mereka tidak sedang mempromosikan LGBT atau mencari sensasi perilaku menyimpang. Tapi, sedang menunjukkan betapa beratnya perjuangan wanita.
Para pria tersebut berusaha membuka mata dunia bahwa menjadi wanita itu berat, bahkan lebih berat dari seorang pria. Ibaratnya, pria naik gunung dengan sepatu olahraga, wanita dengan sepatu runcing ke bawah.
Aksi pria ini dilakukan dalam rangka memperingati hari perempuan sedunia. Benarkah menjadi perempuan lebih sulit dibandingkan pria?
Mari kita bandingkan jam kerja antara seorang ayah dan ibu. Kepala keluarga bekerja dari pagi hingga sore dengan jam kerja rata-rata di mulai pada angka sembilan hingga lima sore. Bagaimana dengan perempuan? Seorang ibu yang mempunyai bayi bekerja 24 jam sehari.
Meski suami belum bangun, ia harus lebih dulu meninggalkan kenyamanan tempat tidur demi memastikan banyak hal. Sarapan juga pakaian anak-anak dan suami. Lalu ketika imam keluarga pergi ke kantor, sang ibu masih harus mengurus bayi, mengantar anak sekolah, dan lain-lain. Dalam keluarga umumnya, masih pula menunggu rutinitas mencuci, memasak, dan menyetrika.
Ketika suami pulang kerja seorang istri perlu memastikan agar pasangan nyaman, dan tidak kelelahan. Mungkin memijat lalu menghidangkan kopi dan teh serta makanan kecil. Padahal bisa jadi sang istri telah melalui hari yang lebih melelahkan selain lebih monoton dan membosankan.
Sah saja jika terdapat pria yang tidak setuju dengan pernyataan di atas. Saya pribadi pernah berbagi tugas dengan suami. Pada hari Sabtu dan Ahad, suami melakukan semua tugas rumah tangga sedangkan saya ‘berlibur’ meninggalkan rumah.
Hanya beberapa jam, tapi saat kembali dengan jujur ia mengatakan berada di rumah seharian cukup membosankan. Tidak banyak variasi aktivitas.
Lucunya, bagi sebagian besar istri hadirnya suami di rumah sepulang bekerja, merupakan momen menghibur yang dinanti. Benak dipenuhi bayangan akan memiliki teman berbincang.
Sayangnya, banyak suami yang tidak menyadari betapa berartinya hal kecil ini hingga sebagian memilih langsung tidur sepulang kerja. Mengandaskan harapan. Apalagi setelah suami tidur, istri saat beristirahat pun memejamkan mata dengan menegakkan telinga, berjaga kalau-kalau ananda terbangun.
Dari sisi berpakaian, lelaki mempunyai banyak kemudahan dan kebebasan. Tidak perlu waktu lama untuk berpakaian, cukup memakai baju dan celana panjang mereka siap berangkat. Sedangkan perempuan harus menambah perhatian ekstra. Bagi Muslimah, melengkapi dengan jilbab yang rapi serta berbagai pernik lain terkait kewajiban menutup aurat.
Tidak berhenti di sana, dengan segala kerepotan yang harus dilalui perempuan Muslim khususnya, juga menghadapi diskriminasi di berbagai lembaga. Cukup banyak Muslimah berjilbab diperintahkan atasan atau institusi untuk membuka jilbabnya karena dianggap melanggar peraturan.
Fenomena yang masih hangat menimpa Muslimah bercadar di Tanah Air. Bahkan, menentukan apa yang boleh dikenakan tubuh mereka dan tidak saja, masih terbentur aturan orang lain. Di dunia profesi, terkesan wanita walau membangun karier tetap dituntut bertanggung jawab penuh akan urusan keluarga.