REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Asma Nadia
“Bunda, Adam mau ikut demo Palestina,” ujar si bungsu setelah menyaksikan film 212 the Power of Love yang sedang tayang di bioskop.
Saya memang tidak berencana mengajaknya ikut demo karena ia masih dalam keadaan jetlag sepulang dari Spanyol, setelah kurang lebih setahun mendalami sepak bola. Bermain si kulit bundar di kancah internasional adalah salah satu impian masa depannya.
Mendengar keinginan tiba-tiba soal demo saya justru tertarik untuk mencerna.
"Kenapa Adam tertarik ikut demo?”
Sejak di Eropa, nyaris remaja yang baru menginjak usia 17 tahun, tidak banyak berbicara politik, atau hal-hal yang bersifat nonolahraga. Namun, mengapa mendadak? Ia tertarik dengan demo solidaritas Palestina.
Awalnya, saya mengira ada hubungan dengan salah satu kejadian di sekolah klub olahraga yang pernah diikutinya di Eropa. Di klub tersebut, pemiliknya adalah bangsa Eropa keturunan Yahudi.
Karena latar tersebut, sang pemilik klub mempunyai banyak jaringan di Israel yang mengirim peserta dari sana. Makin lama makin banyak anak muda Israel ikut pendidikan bola di klub tersebut.
Masalahnya, sebagian besar dari mereka tidak terampil, tapi selalu diprioritaskan dan itu membuat Adam memutuskan untuk pindah ke klub lain. Namun, ternyata jawaban Adam berbeda dengan dugaan saya.
“Adam tadi lihat Aksi 212 di bioskop kelihatan keren. Adam nyesel nggak ikut Aksi 212,” jawabnya.
Memang ketika Aksi 212 berlangsung Adam sedang di Eropa, ia sempat mendengar, juga tertarik, tapi tentu saja tidak memungkina untuk datang. Film 212 yang disaksikan membuat memori tersebut kembali dan menyemangatinya.
Kebetulan, sehari setelah menyaksikan film 212, ada aksi solidaritas untuk Palestina, sehingga ia tertarik untuk ikut serta. Selain itu, tentu saja memori terkait ketidakadilan terhadap bangsa Palestina yang kami tanamkan sejak kecil, juga memengaruhi semangatnya untuk ikut serta.
Kejadian ini sebenarnya begitu sederhana, tetapi saya jadi teringat dengan salah satu tujuan film 212 the Power of Love. Yakni, untuk mengabadikan aksi fenomenal, sehingga tidak dilupakan sebalikmya bisa diwariskan dari generasi ke generasi.
Berawal dari dialog kecil ini, akhirnya membuat saya kian percaya bahwa film dokudrama ini berhasil membangkitkan kembali kenangan Aksi 212 yang superdamai. Bahkan dalam demo solidaritas Palestina yang berlangsung 11 Mei 2018, suasana 212 seolah muncul kembali. Aksi berjalan damai, peserta membersihkan sampah, rumput-rumput tidak diinjak, dan ditutup shalat Jumat berjamaah di Monas.
Hal ini menunjukkan sebagian Muslim Indonesia sudah mengerti bagaimana menyampaikan pendapat dengan keras, tapi tetap menjaga keamanan dan ketertiban. Demo tertib seperti ini pernah terjadi di Thailand. Hanya saja, dari segi jumlah peserta, aksi demo di Indonesia jauh lebih besar, lebih massif namun tetap aman dan terjaga.
Aksi solidaritas yang mengungkap protes keras umat Islam atas pengakuan Yerussalem sebagai ibu kota Israel tentu saja mempunyai makna sangat penting. Karena bagi umat Islam, Yerussalem, baitul Maqdis adalah kota suci dan tugas umat Islam menjaganya.
Mungkin demo tidak mengubah apa-apa, tidak sekarang. Namun, setidaknya sebuah aksi mampu mengubah sedikitnya untuk diri para peserta demo dalam menjadi pribadi yang peduli, yang tetap meyakini Yerussalem adalah hak tak hanya bangsa Palestina, melainkan umat Islam dunia. Karena itul, menjadi tugas semua yang memiliki iman Islam di dada, untuk menjaganya.
Baca Juga: Pemutaran Perdana Film 212, Penonton Padati Bioskop