REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asma Nadia
Masih jelas dalam ingatan saat saya pertama menyaksikan video Lindswell Kwok yang tampil anggun dengan jilbab menyelimuti wajah cantiknya.
Sang kekasih yang kemudian menjadi suami, tidak hanya mengajak gadis Medan ini menjadi seorang Muslimah, tetapi juga membangun komitmen untuk menjalankan syariatnya, termasuk berjilbab.
Ratu Wushu Indonesia kita, tidak hanya memenangkan berbagai medali di arena lomba, tetapi juga menggapai prestasi tertinggi dalam cinta. Cinta yang membawanya menuju keselamatan dunia dan akhirat.
Berkebalikan dengan apa yang terjadi pada akhir tahun lalu tersebut, awal tahun ini justru saya menemukan kisah yang berbeda.
Seorang gadis cantik, dengan ibu yang mengenakan jilbab, kabarnya memilih meninggalkan Allah demi menikahi seorang pria yang jauh lebih tua darinya.
Ah, apa yang kamu cari, adinda?
Gadis ini seharusnya mampu mendapatkan pria mana pun, tanpa harus menempuh jalan cinta yang menjauhkannya dari Allah. Beberapa paras cantik dari aktris yang menanggalkan kemuslimahannya demi menikahi pria yang dicintai, muncul di benak.
Benarkah tidak ada pilihan lain? Sungguhkah tidak datang peluang dan kesempatan terkait cinta yang tanpa mengorbankan akidah dan merampas iman? Tanpa kemestian mengabaikan cinta yang hakiki? Semoga suatu hari hidayah membawa mereka kembali.
Benar, kata orang, cinta itu buta, tapi tidakkah pernyataan ini berlaku terhadap mereka yang terbutakan oleh keinginan, hasrat, atau apa pun namanya yang kesemua merupakan istilah lain bagi hawa nafsu?
Mereka yang sedemikian terjerat hingga bahkan nama Allah tidak kuasa mereka pertahankan, baik di bibir maupun hati karena tersingkir oleh nama sang kekasih?
Terus terang, saya dan banyak masyarakat Muslim sulit memahami, bagaimana seseorang rela meninggalkan cinta-Nya yang maha tinggi dari Sang Khalik, demi mendekap cinta manusia? Membuang cinta yang menyelamatkan demi cinta yang menyesatkan?
Pun, saya tidak mengerti, bagaimana seorang gadis dengan santai meninggalkan cinta orang tua dan keluarga demi seseorang yang dalam banyak kasus bahkan baru dikenalnya sebentar saja.
Seandainya seseorang mengabaikan keluarga untuk pilihan yang lebih tepat, lebih baik, dan lebih menyelamatkan, mungkin masih masuk akal. Akan tetapi, tak jarang, mereka memutuskan sebuah pilihan untuk sesuatu yang lebih buruk, dan menjauhkan diri dari keselamatan dunia akhirat.
Kegemasan dan ketidakmengertian akan jumlah kasus senada yang kian meningkat, menjadi salah satu motivasi saya pribadi untuk menulis novel Antara Cinta dan Ridha Ummi, dan yang sebentar lagi terbit buku Love Notes.
Cinta sering muncul sendiri tanpa kita rencanakan. Kadang hadir perlahan. Tumbuh dari benih kecil yang lambat laun terus berkembang. Kali lain, cinta muncul teramat mendadak di luar perkiraan.
Dan memang tidak ada yang mampu menebak ataupun mengatur, bagaimana sebentuk cinta itu kelak akan hadir. Namun dalam hidup kita, setiap insan kalau mau bisa mempersiapkan diri, membuat batasan, hingga sejak awal tidak menjalin hubungan atau sudah menjaga jarak ketika ada lawan jenis yang berbeda agama membuat pendekatan khusus.
Sebagai seorang ibu dari dua anak yang menjelang dewasa, kekhawatiran ini berkali-kali mendekap saya sejak mereka remaja. Bagaimanapun saya kira persoalan ini harus masuk dalam hitung-hitungan di benak ayah ataupun Ibu. Kekhawatiran yang akan menggerakkan setiap orang tua untuk tak hanya menguatkan doa kepada Allah untuk ananda, tapi juga menggerakkan kita untuk mengokohkan relasi antaranggota keluarga.
Minim sekali, jikapun dengung nama-Nya belum bergema kuat di hati buah hati kita, semoga kesadaran untuk tidak membuat orang tua berduka mampu mendorong ananda membuat pilihan tepat bagi masa depannya, terkait cinta. Kekhawatiran akan soal yang satu ini pun menjelma topik dalam berbagai kesempatan obrolan santai keluarga.
“Tapi rasa suka dan cinta bisa muncul dari siapa saja tanpa membedakan iman dan keyakinan, Bunda.” cetus putri saya, ketika memasuki bangku kuliah. Awalan curhat yang membuat jantung saya berdetak cemas.
“Lalu?”
Cuma satu kata itu yang bisa keluar sebagai respons.
Tanpa berpaling dari layar laptop, sulung saya meneruskan.
“Karenanya setiap kali ada rasa terhadap yang berbeda agama, aku langsung memilih untuk tidak membiarkannya berkembang.”
“Caranya?” Lagi, singkat komentar saya.
“Menjauh, mengurangi ritme pertemuan atau apa pun yang tidak membuat terjerat.”
Tapi mengapa?
Putri saya menarik napas, sepasang matanya memandang saya sungguh-sungguh.
"Untuk apa menjalin hubungan yang kita tahu pada akhirnya akan menjadi masalah?”
Semoga hanya cinta yang membawa ke surga yang menghampiri ananda kita. Bukan karena sebagai orang tua kita sengaja menghalangi mereka mengecap bahagia, melainkan sebab kita ingin, kebahagiaan mereka tak hanya di dunia.