Selasa 20 Aug 2019 11:43 WIB

Pak Haji, Bu Hajah, dan Baju Baru Ka’bah

Kiswah, misalnya, dianggap bisa mendatangkan berkah.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto: Republika/Daan
Ikhwanul Kiram Mashuri

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri 

Ada hal baru yang tidak disadari ja maah haji ketika kembali ke Makkah seusai wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, dan melempar jumrah di Mina. Yaitu: Ka'bah telah berganti baju baru! Antara baju lama dan baru memang tidak banyak berubah, baik ukuran, warna, maupun pernak-pernik lainnya. Semuanya sama kecuali, tentu saja, yang baru lebih bersih dan jernih.

Baju Ka'bah ini biasa disebut dengan kiswah. Kiswah Ka'bah. Kiswah bermakna selubung kain yang biasa dikenakan pada peti. Kiswah Ka'bah adalah kain yang menutupi dan melindungi Ka'bah.

Ka'bah berganti kiswah setahun sekali. Yaitu setiap 9 Dzulhijah, hari ketika jamaah haji sedang menuju Padang Arafah untuk wukuf. Pada tahun ini, pergantian kiswah dilakukan pada Sabtu (10/08) pekan lalu, dimulai sejak pagi setelah subuh hingga siang hari.

Bukan hanya berganti baju, Ka'bah juga dimandikan alias dicuci, tapi waktunya tidak bersamaan. Pencucian rumah Allah SWT itu dilakukan secara rutin setiap tahun dua kali, menjelang pelaksanaan ibadah haji dan menyongsong datangnya bulan suci Ramadhan.

Untuk pembuatan kiswah baru ini, menurut wakil ketua Lembaga Urusan al Haramain (Masjidil Haram dan Masjid Naba wi), Ahmad bin Muham mad al Manshury, Pemerintah Saudi telah meng gelontorkan dana sekitar 20 juta riyal atau kira-kira Rp 80 miliar. Biaya sebesar itu antara lain untuk menggaji 160 orang, pembelian 670 kilogram kain sutera kualitas terbaik, 120 kilogram benang emas, 100 kilogram benang perak, dan lainnya.

Kiswah terdiri dari empat bagian yang menutupi dinding Ka'bah, plus sebuah gorden pintu rumah Allah itu. Di bagian bawah, kain kiswah direkatkan ke lantai dengan menggunakan cincin tembaga. Ka'bah sendiri berukuran: panjang 13,6 meter, lebar 11,53 meter, dan tinggi 12,03 meter.

Warna dasar kiswah adalah hitam, ditulis di atasnya ayat-ayat Alquran dengan benang warna emas dan perak. Namun, warna ini sebelumnya pernah berbeda. Bahkan, Ka'bah sendiri beberapa tahun sebelum Nabi Muhammad SAW lahir tidak menggunakan pelindung. Kiswah baru digunakan pada masa Jahiliyah, menjelang kelahiran Rasulullah SAW. Adalah Dibaj Natilah binti Hibban, ibu dari Abbas bin Abdul Muthalib, yang mula-mula memakaikan kiswah untuk melindungi Ka'bah. Tidak disebutkan warna kiswah pada saat itu.

Ketika Nabi Muhammad mendirikan negara di Madinah, beliau memerintahkan untuk membungkus Ka'bah dengan kain warna putih dari Yaman. Berikutnya, merah, hijau, dan putih pernah digunakan para khalifah yang berbeda. Baru pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, kiswah didominasi warna hitam hingga kini.

Sementara, penggantian kiswah sudah dimulai sejak Rasulullah SAW, yang kemudian menjadi tradisi para penguasa Islam silih berganti. Ketika Umar bin Khattab jadi khalifah, ia memotong-motong kiswah yang lama dan membagi-bagikannya kepada para jamaah sebagai pelindung dari panas. Kini potongan kiswah lama dihadiahkan kepada para tamu negara.

Selama berabad-abad kiswah dibuat di Mesir dan baru pada 1962 dibuat di Saudi. Pabrik kiswah yang ada sekarang dibangun pada 1977 di sebuah kawasan pinggiran Kota Makkah.

Sebelum dikenakan pada Ka'bah, kis wah baru diserahterimakan dulu dari kepala pembuatan kiswah kepada ketua lemba ga urusan al-Haramain dalam sebuah resepsi. Beberapa tahun lalu, saya pernah diundang menghadiri resepsi ini di pelataran gedung pembuatan kiswah. Resepsi dimulai setelah isya, digelar di atas karpet yang menuputi pelataran. Para petinggi Makkah hadir. Dari gubernur, pejabat pemerintah dan militer, hingga para imam Masjid al-Haram dan tokoh masyarakat.

Selain kiswah, pada resepsi itu juga diserahterimakan kantong kunci Ka'bah yang baru kepada perwakilan Bani Shaiba. Yang terakhir ini secara turun-menurun merupakan pemegang kunci pintu Ka'bah sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW. Kantong kunci ini terbuat dari beludru warna hijau.

Dalam resepsi itu, saya duduk bersebelahan dengan Sheikh Maher al Mu'aiqly, salah satu imam Masjid al-Haram. Kepada sang sheikh, saya bertanya, mengapa pergantian kiswah diadakan pada setiap 9 Dzulhijah, ketika jamaah haji sudah di Arafah? Bukankah menyaksikan pergantian kiswah akan menjadi pengalaman paling menarik yang akan terus dikenang para jamaah haji?

Ada beberapa hal yang disampaikan al Mu'aiqly. Pertama, pergantian kiswah setiap 9 Dzulhijah sudah menjadi tradisi. Namun, ia tidak menjelaskan kapan tradisi itu dimulai. Kedua, untuk alasan keamanan. Bisa dibayangkan bila prosesi pergantian kiswah dilangsungkan ketika Masjid al- Haram penuh jamaah. Maka mereka akan berebut dan berdesak-desakkan untuk bisa menyaksikan dari dekat. Hal ini tentu juga akan mengganggu kekhusyukan ibadah para jamaah. Ketiga, untuk menghindarkan laku syirik dari para jamaah.

Saya setuju dengan pandangan al Mu'aiqly, terutama alasan ketiga: untuk menghindarkan laku syirik!

Kecenderungan laku syirik ini memang gampang kita jumpai selama jamaah haji berada di Tanah Suci. Kiswah, misalnya, dianggap bisa mendatangkan berkah. Potongan atau robekan bekas baju rumah Allah SWT itu pun kini menjadi barang buruan para jamaah. Tak sedikit dari mereka yang berani membayar mahal untuk sepotong robekan kiswah. Bahkan, beberapa tahun lalu ada jamah haji kita yang berusaha menggunting kiswah. Jamaah ini lalu ditangkap dan menjadi urusan polisi.

Alasan berburu potongan kiswah adalah mengharap berkah. Lalu apa hubungan kiswah dengan berkah? Padahal, kain sutera untuk membuat kiswah itu konon didatangkan dari Cina?

Saya memang menyimpan potongan kain kiswah. Saya bingkai sebagai penghias dinding rumah. Potongan kiswah itu merupakan hadiah dari Ketua Lembaga Urusan al Haramain ketika saya menjadi tamunya. Namun, barang itu hanyalah sebagai kenangan. Tidak lebih. Bukan jimat, apalagi mengharapkan berkah hanya dari sepotong kain kiswah.

Begitu pula ketika berlangsung prosesi pencucian Ka'bah. Selain prosesinya sendiri, yang menarik perhatian saya ketika menyaksikan pencucian Ka'bah beberapa tahun lalu justru tingkah jamaah. Saya melihat banyak jamaah yang berusaha mengejar apa pun yang telah digunakan untuk membersihkan rumah Allah itu.

Ada yang mengejar tangga berjalan yang baru digunakan untuk mencuci Ka'bah dan kemudian ramai-ramai menciuminya. Ada yang berusaha mendapatkan air bekas mencuci Ka'bah dan lantas menyiramkannya ke sekujur tubuh. Bahkan, ada yang mengejar petugas pencuci Ka'bah dan menciumi tangannya. Saking berebutannya, pernah beberapa kali kejadian ada jamaah yang terinjak-injak hanya untuk dapat menyentuh tangga atau mendapatkan air bekas mencuci Ka'bah.

Itulah mungkin salah satu contoh yang disebut Sheikh al Mu'aiqly sebagai laku syririk. Contoh-contoh lain masih banyak lagi. Laku syirik tentu akan mengganggu, bahkan menjauhkan dari kemabruran ibadah haji. Kemabruran haji lebih ditentukan oleh niat, tingkat keimanan, ke khusyuk an, rezeki atau ongkos haji yang halal, serta menjalankan semua syarat dan rukun haji. Apalagi, ditambah dengan berbagai amalan sunah lainnya.

Kemabruran jamaah haji akan tampak jelas ketika telah pulang ke kampung halamannya masing-masing. Yakni apakah ibadah dan perilaku sehari-hari mereka yang sudah bergelar pak haji dan ibu hajah itu lebih baik atau sebaliknya. Apakah pak haji dan ibu hajah memberikan dampak positif pada lingkungan keluarga dan ma sy arakatnya. Kalau sebaliknya, jangan-jangan haji yang yang bersangkutan adalah haji mabur (terbang) dan bukan haji mabrur karena laku syirik tadi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement