Senin 29 Jan 2018 08:13 WIB

Ekonomi Pemilihan Umum

Investasi dan ekonomi menjadi lebih sensitif dan hati-hati saat pemilu digelar.

Pengamat Ekonomi Syariah sekaligus Presiden Direktur Karim Consulting Indonesia Adiwarman Karim menjadi pembicara dalam seminar Perbankan Syariah bertajuk Rembuk Republik, Jakarta, Kamis (5/10).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Pengamat Ekonomi Syariah sekaligus Presiden Direktur Karim Consulting Indonesia Adiwarman Karim menjadi pembicara dalam seminar Perbankan Syariah bertajuk Rembuk Republik, Jakarta, Kamis (5/10).

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Adiwarman Karim

Sara Moricz dan Fredrik Sjöholm, peneliti Lund University Swedia, dalam penelitian mereka, “The Effect of Elections on Economic Growth: Results from a Natural Experiment in Indonesia”, menemukan hal menarik tentang dampak pilkada terhadap pertumbuhan ekonomi.

Pertama, pilkada tidak memberikan dampak nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. Kedua, pilkada memberikan dampak walaupun kecil terhadap tata kelola pemerintahan. Ketiga, pemimpin terpilih melalui pilkada langsung belum tentu lebih berkualitas daripada melalui pemilihan tidak langsung.

Hal ini menarik karena kucuran dana untuk operasional pilkada ternyata hanya memberikan dampak sesaat berupa tambahan likuiditas tetapi tidak memberikan dampak nyata dalam pertumbuhan ekonomi. Keadaan ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga berlaku umum di negara-negara lain.

Brandice Canes-Wrone dan Christian Ponce de Leon, peneliti di Princeton University AS, melakukan uji di 16 negara OECD dan 56 negara non-OECD dalam kurun 1975-2012. Dalam penelitian mereka, “Elections, Uncertainty, and Economic Outcomes”, ditemukan fenomena menarik. Pertama, upaya pejawat melakukan ekspansi ekonomi sebelum masa pemilihan ternyata tidak memberikan dampak nyata terhadap pertumbuhan ekonomi.

Kedua, ketidakpastian kebijakan selama masa pemilihan mendorong pengusaha menahan investasi dalam bentuk capital expenditures, bahkan negara-negara OECD juga mengalami penurunan. Sedangkan, pengeluaran lainnya tidak terpengaruh, bahkan konsumsi masyarakat dalam barang pakai-habis (non-durable) meningkat tajam.

Brandon Julio dan Youngsuk Yook, masing-masing peneliti di London Business School dan Sungkyunkwan University, dalam penelitian mereka, “Political Uncertainty and Corporate Investment Cycles”, menemukan hal yang sama. Dengan menggunakan data 100 ribu perusahaan, mereka menemukan penurunan dalam belanja barang modal (capital expenditures) selama kurun waktu menjelang pemilihan.

Canes-Wrone dan Jee-Kwang Park dalam penelitian nereka, “Electoral Business Cycles in OECD Countries”, menyebut pola perilaku penurunan belanja barang modal itu sebagai reverse electoral business cycle.

Untuk mengamankan kelangsungan bisnisnya, para pengusaha tidak jarang mendukung lebih dari satu calon pemimpin karena ketidakpastian hasil pemilihan. Lain halnya bila pejawat gagal dalam memenuhi aspirasi masyarakat.

Timothy Hellwig, peneliti di Indiana University, menemukan dalam penelitiannya, “Elections and the Economy”, pemilih akan “menghukum” pejawat dengan tidak memilihnya lagi. Keadaan ekonomi yang buruk sering menjadi faktor kebersamaan yang dirasakan pemilih untuk tidak memilih pejawat lagi.

Perilaku menahan investasi sampai jelas hasil pemilihan berdampak pada meningkatnya likuiditas di perbankan.

Huseyin Gulen dan Mihai Ion, peneliti di Purdue University, dalam penelitian mereka, “Policy Uncertainty and Corporate Investment”, menemukan dampak langsung kurun waktu menjelang pemilihan. Pertama, meningkatnya likuiditas yang dipegang masyarakat. Kedua, menurunnya pinjaman berupa penerbitan obligasi atau kredit perbankan. Hal ini selanjutnya akan melambatkan ekonomi.

Memahami keadaan sektor swasta yang cenderung menahan investasinya, maka peran investasi pemerintah menjadi sangat penting. Ini untuk mengimbangi surutnya peran swasta dan memberikan pesan kuat ke pasar tentang kelanjutan dan kelangsungan pembangunan ekonomi. Walaupun penurunan investasi swasta itu bersifat sementara, perekonomian dapat kehilangan momentum dan memerlukan waktu panjang untuk mengembalikan momentum tersebut.

Art Durnev, peneliti University of Iowa, dalam penelitiannya, “The Real Effects of Political Uncertainty: Elections and Investment Sensitivity to Stock Prices”, menggunakan data 466 pemilihan di 79 negara dalam kurun 1980 sampai 2006 untuk melihat respons investasi swasta terhadap proses pemilihan.

Hasilnya menarik. Pertama, investasi swasta menjadi lebih sensitif sampai 40 persen dalam kurun waktu pemilihan. Hal ini cukup mengejutkan jika melihat angka 40 persen yang berarti hampir separuh dari seluruh investasi swasta.

Baca Juga: Ekonomi Memasuki Tahun Politik 2018

Kedua, penurunan sensitivitas investment to price dalam masa pemilihan disebabkan ketidakpastian politik yang diterjemahkan ke dalam ketidakpastian harga saham. Semakin besar ketidakpastian hasil pemilihan, akan semakin besar ketidakpastian harga saham.

Ketiga, di negara-negara yang tingkat korupsinya tinggi—peran BUMN yang besar dan lemahnya standar transparansi keterbukaan para politisi—maka ketidakpastian akan semakin besar dan diterjemahkan dalam ketidakpastian harga saham yang juga semakin besar.

Dimasukkannya faktor peran BUMN yang besar dengan asumsi pergantian pimpinan diikuti perubahan arah dan organisasi BUMN. Perbankan dan keuangan syariah harus dapat mengambil peran dalam kurun waktu ini.

Pertama, dari sisi pendanaan untuk mengoptimalkan peningkatan likuiditasnya, mengambil manfaat dari banyaknya likuiditas di pasar. Kedua, ikut serta membiayai proyek pemerintah yang banyak dilakukan saat ini, mengimbangi swasta yang masih menunggu hasil pemilihan. Proyek-proyek infrastruktur pemerintah semakin kuat amplitudonya dengan adanya persaingan ekonomi Cina dan Amerika Serikat untuk menjadi pemimpin ekonomi dunia.

One Belt One Road (OBOR) yang digagas Pemerintah Cina merupakan dampak kemajuan ekonomi Cina yang mengubah keseimbangan ekonomi dunia. Agar pertumbuhan ekonomi Cina tetap terjaga, negara-negara mitra di lintasan OBOR harus dibantu pembangunan infrastrukturnya agar dapat menurunkan biaya logistik dan transaksi antara Cina dan negara-negara di lintasan OBOR.

Untuk itu, Cina berinisiatif mendirikan Asian Infrastructure Investment Bank. Bagi negara-negara di lintasan OBOR, ini tantangan peluang sekaligus ancaman. Pada saat yang sama, Indonesia berpacu menurunkan biaya transaksi antarpulau dengan pembangunan infrastruktur.

Indonesia menjadi sangat penting karena di antara negara-negara di lintasan OBOR, Indonesia merupakan negara perekonomian terbesar dari dua sisi. Pertama, pasar yang sangat besar karena populasinya. Kedua, proyek infrastruktur terbesar karena luas wilayahnya.

Kerja sama dengan Cina harus menempatkan kepentingan nasional sebagai panglima dan menyadari pentingnya peran Indonesia dalam kesuksesan OBOR. Karena itu, negosiasi bisnis harus didasari kesadaran ini sehingga Indonesia diuntungkan dan memasukkan nilai syariah dalam kerja sama-kerja sama tersebut.

Masuknya Cina sebagai investor dengan skema syariah dapat meningkatkan citra Cina di dunia keuangan syariah, terutama di negara-negara di lintasan OBOR yang mayoritas penduduknya Muslim. Posisi strategis dan sejarah panjang hubungan Cina-Indonesia, dapat menjadikan Indonesia rujukan keuangan syariah di negara-negara lintasan OBOR. Bismillah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement