REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sunarsip
Sama halnya minyak dan gas bumi (migas), batu bara memiliki kedudukan yang sama menurut konstitusi kita (Pasal 33 UUD 1945), yaitu sebagai kekayaan alam yang dikuasai negara.
Itu artinya sekalipun pengusahaannya dilakukan korporasi, baik BUMN maupun swasta, penguasaan batu bara tetap di tangan negara. Dengan kata lain, seandainya negara (dalam hal ini pemerintah) menghendaki hasil pengusahaan batu bara diserahkan kepada negara, seyogianya korporasi tidak menolaknya.
Namun, karena konstitusi kita juga menganut asas keadilan bagi privat (korporasi), pemerintah pun memberikan kompensasi berupa pengembalian biaya sekaligus keuntungan yang wajar atas pengusahaan tersebut.
Itulah mengapa dalam pengusahaan migas muncul konsep cost recovery plus bagi hasil (kini diganti dengan konsep gross split). Sementara itu, di sektor pengusahaan tambang batu bara dikenal dengan pajak dan royalti. Kemudian, muncul juga konsep domestic market obligation (DMO) yang bertujuan memastikan pasokan batu bara di dalam negeri.
Belakangan ini kita menyaksikan harga batu bara pasar internasional naik tajam. Berdasarkan data dari World Bank, bila selama 2015 rata-rata harga batu bara Australia mencapai 57,5 dolar AS per ton, pada 2016 naik menjadi 65,9 dolar AS per ton dan melonjak menjadi 88,4 dolar AS per ton.
Seiring kenaikan harga batu bara di pasar internasional, harga batu bara di dalam negeri (termasuk batu bara untuk kelistrikan) juga naik tajam. Saat ini harga batu bara untuk pembangkit listrik mengacu pada harga batu bara acuan (HBA) yang ditetapkan pemerintah.
HBA batu bara ini berfluktuasi dipengaruhi berbagai kondisi, termasuk perkembangan harga batu bara di pasar internasional. Keberadaan HBA ini penting terutama untuk memastikan harga acuan yang dipakai dalam menentukan besarnya pajak dan royalti.
Karena harga batu bara pasar di internasional naik, HBA juga mengalami kenaikan. Berdasarkan data Kementerian ESDM, bila pada awal 2016 HBA batu bara kalori 6.322 sekitar 50 dolar AS per ton, pada Desember 2017 HBA-nya sudah berada di atas 90 dolar AS per ton.
Di satu sisi, kenaikan harga batu bara memberikan dampak positif bagi penerimaan negara. Akibat kenaikan harga batu bara selama 2017, negara (APBN) diperkirakan memperoleh tambahan penerimaan sekitar Rp 1,4 triliun.
Di sisi lain, kenaikan harga batu bara juga merugikan industri, termasuk kelistrikan. Tingginya HBA menyebabkan harga patokan batu bara (HPB) yang ditanggung industri kelistrikan (dalam hal ini PT Perusahaan Listrik Negara/PLN) naik signifikan.
Konsekuensinya, biaya pokok produksi (BPP) listrik naik tajam. Berdasarkan data PLN, akibat kenaikan harga batu bara tersebut, BPP listrik naik sebesar Rp 16,18 triliun selama 2017.
Listrik merupakan energi yang vital bagi masyarakat, karena itu pemerintah mengatur besaran tarif listrik yang dibayar konsumen. Logikanya, kenaikan BPP listrik akibat kenaikan harga batu bara tersebut dibebankan dalam harga jual listrik yang dibayar konsumen melalui kenaikan tarif.
Namun, pemerintah sepertinya tidak memilih membebankan kenaikan BPP listrik tersebut ke dalam harga jual listrik konsumen. Pilihan pemerintah ini tepat.
Berdasarkan perhitungan Sunarsip dan kawan-kawan (2017), bila kenaikan harga batu bara ini dibebankan ke masyarakat melalui kenaikan tarif listrik, efeknya terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi paling besar dibandingkan skenario lain.
Sebab, listrik mempunyai multiplier effect yang besar dalam perekonomian. Berdasarkan rilis BPS awal bulan ini, ekonomi Indonesia tumbuh 5,07 persen selama 2017, relatif stagnan dibandingkan 2016 yang tumbuh 5,03 persen.
Tidak terlalu kuatnya pertumbuhan ekonomi selama 2017 terutama dipengaruhi melemahnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga (RT). Selama 2017, konsumsi RT tumbuh 4,95 persen, terendah sejak 2011. Dalam situasi ini, kebijakan pemerintah dengan menjaga tarif listrik tetap terjangkau menjadi vital untuk mendorong pertumbuhan konsumsi RT sekaligus pertumbuhan ekonomi.
Karena kenaikan BPP listrik tidak dibebankan ke dalam kenaikan tarif listrik, yang perlu dipikirkan selanjutnya adalah efeknya terhadap PLN. Ini mengingat kondisi tersebut dapat menekan kinerja keuangan PLN, sedangkan mayoritas pembangkit listrik kita menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya. Kondisi ini, bila tidak segera diatasi, berpotensi mengancam kelangsungan pembangunan sektor kelistrikan kita.
Kenaikan BPP listrik akibat harga batu bara berpotensi menghambat PLN dalam memenuhi target kelistrikan 35 ribu megawatt sekaligus penyediaan listrik bagi masyarakat. Karena itu, perlu ada solusi yang dapat menjaga kepentingan berbagai pihak, baik pihak pemerintah, PLN, maupun korporasi batu bara.
Dalam perspektif ini, saya mengusulkan beberapa solusi. Pertama, perlu dibuat kebijakan harga khusus batu bara yang diperuntukkan bagi kelistrikan. Misalnya, harga batu bara DMO semestinya tidak mengacu harga pasar. DMO tidak hanya sebatas kewajiban secara kuantitas untuk menyuplai batu bara, tetapi harganya juga ditetapkan secara khusus mengacu pada kepentingan masyarakat.
Dalam jangka pendek, korporasi batu bara memang harus rela sedikit “berkorban” dengan kebijakan harga khusus ini. Ini mengingat korporasi berpotensi kehilangan keuntungan akibat kenaikan harga batu bara saat ini.
Namun, korporasi juga perlu menyadari, keuntungan yang didapatkan dari ekspor batu bara sudah tinggi. Oleh karena itu, keuntungan yang sudah didapatkan tersebut dianggap sebagai kompensasi atas harga khusus bagi DMO batubara mereka.
Konsep inilah yang diberlakukan di Afrika Selatan (Afsel). Korporasi batu bara di Afsel menikmati windfall profit dari ekspor batu bara, akibat kenaikan harga batu bara di pasar internasional.
Namun, di pasar domestik, korporasi batu bara di Afsel rela menjual batu baranya untuk kelistrikan lebih rendah dibandingkan harga pasar internasional. Kedua, harga batu bara untuk kelistrikan semestinya dibuat dalam kontrak jangka panjang.
Konsep ini sebenarnya telah diterapkan di banyak negara yang memiliki batu bara sekaligus pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Selain Afsel, Amerika Serikat (AS) juga menerapkan kebijakan harga batu bara dalam kontrak jangka panjang.
Secara historis, lebih dari 80 persen batu bara yang digunakan oleh pembangkit listrik di AS dibeli berdasarkan perjanjian jangka panjang. Kontrak jangka panjang ini menguntungkan semua pihak.
Bagi PLN, kontrak jangka panjang memberikan kepastian bagi perhitungan BPP listrik. Bagi pemerintah, kepastian BPP listrik memberikan kepastian dalam kebijakan penetapan tarif listrik. Sedangkan, bagi korporasi batu bara, kontrak harga jangka panjang memberikan jaminan pendapatan.
Perlu dicatat, harga batu bara tidak selamanya berada di level tinggi. Harga batu bara sering kali jatuh ke level rendah. Dengan kontrak harga jangka panjang, jaminan kepastian pendapatan akan didapatkan sehingga nilai saham korporasi batu bara terjaga positif dan stabil. Kira-kira pada level berapa kontrak harga batu bara jangka panjang dapat disepakati?
Berdasarkan perhitungan saya dengan mengacu pada tiga jenis harga batu bara yang dikeluarkan Bank Dunia, yaitu batu bara Australia, Kolombia, dan Afsel memperlihatkan rata-rata harga batu bara selama 2001-2017 berada di level 67,49 dolar AS per ton.
Dengan kata lain, bila pemerintah, PLN, dan korporasi batu bara dapat sepakat berkontrak jangka panjang di kisaran harga 60-70 dolar AS per ton, hal itu akan menjadi kontrak menguntungkan semua pihak.