REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ilham Bintang, Jurnalis Senior
Margiono bisa dicatat sebagai salah satu wartawan yang ikut menggelindingkan reformasi untuk menggantikan pemerintahan Orde Baru lewat medianya. Salah satu karya jurnalistiknya pernah menggegerkan Tanah Air di ujung pemerintahan rezim Orde Baru. Majalah D&R miliknya menyajikan cover story tentang Pak Harto. Covernya: gambar Presiden Soeharto berpakain raja dalam kartu King.
Tindakan itu luar biasa berani di tengah kekuasan rezim Orde Baru. Departemen Penerangan kemudian membatalkan SIUPP majalah tersebut, dan tamatlah riwayat D&R.
Saya berkenalan pertama kali dengan Margiono saat bertemu di PWI Jaya untuk mendiskusikan kasus itu. Semakin akrab setelah kami bergabung dalam kepengurusan Tarman Azzam priode kedua, 2003-2008. Margiono Ketua Bidang Daerah PWI Pusat.
Bersedia dikoreksi
Ketika Margiono terpilih pertama kali sebagai Ketua Umum dalam Kongres PWI di Aceh 2008, saya duduk sebagai Sekretaris Dewan Kehormatan mendampingi Tarman Azzam sebagai ketuanya. Berlanjut pada Kongres PWI di Banjarmasin, September 2013.
Menjelang rapat pemilihan pengurus priode baru, mantan pria rendah hati ini memberi tahu katanya ia dititipi dari mayoritas pengurus PWI Cabang yang menginginkan saya maju jadi Ketua Dewan Kehormatan PWI. Ketua Umum dan Ketua Dewan Kehormatan memang dipilih kongres yang pesertanya seluruh pengurus cabang PWI.
Permintaannya tidak langsung saya penuhi. Sempat saya tanya banyak hal dan kami diskusikan bersama. Juga soal sensitif ini: dapatkah yang bersangkutan menerima koreksi jika melakukan kekeliruan. Saya ingat pesan leluhur dari tanah Bugis: "Jangan bermitra dengan orang yang tidak berani kau lawan berkelahi."
Berkelahi di sini bukan konteksnya fisikal. Mungkin terjemahannya di 'zaman now', harus berani mengingatkan kawan seiring supaya tidak melenceng saat mengemban amanah. Hanya dengan cara itulah manfaat kolaborasi atau bekerja sama bisa dicapai. Margiono setuju.
Cium tangan
Margiono teman yang menyenangkan memang. Tidak usil, tidak cerewet dan tidak suka kasak-kusuk. Rendah hati pula. Sangat hormat pada senior. Tak sungkan dia mencium tangan orang yang dihormatinya.
Ketika fotonya beredar mencium tangan Presiden SBY netizen di sosial media geger, juga kawan-kawan internal PWI sempat menggunjingkan dia. Padahal, itu lazim saja bagi orang yang dididik di lingkungan pesantren. Cium tangan tanda penghormatan, bukan simbol menghamba.
Dalam rapat pun ia irit bicara, tidak njelimet. Dia percaya saja laporan teman-teman pengurus lain tanpa banyak cincong. Meski, sesekali juga ia dapati fakta di lapangan berbeda dengan yang dilaporkan.
Sebaliknya Margiono malah rikuh hadapi beberapa gelintir oknum yang menghamba kepada dia. Sebab motifnya beda, bukan penghormatan. Dalam melaksanakan prinsip kerja pers secara profesional, dia keras. Dia tahu fungsi pers sebagai alat kontrol kekuasaan.
Koran Rakyat Merdeka miliknya identik betul dengan sikap dan gaya Margiono. Judul headlinenya khas, tajam tapi lucu. Saya masih ingat headline RM: "Mulut Megawati Bau Solar". Headline itu disiarkan di masa pemerintahan Presiden Megawati, untuk menyindir kenaikan BBM.
Di tahun-tahun awal Rakyat Merdeka terbit Margiono cukup repot melayani sumber berita yang memperkarakannya. Alhasil, Koran Rakyat Merdeka satu-satunya media di dunia ini yang pernah punya sebelas pemimpin redaksi.
"Setiap hari bisa sampai 11 perkara yang harus dihadapi di Pengadilan atau panggilan pemeriksaan polisi. Makanya angkat saja sebelas pemimpin redaksi," katanya suatu hari. Tapi, dia tidak mengeluh.
Salah satu acara menarik tiap kali perayaan HPN adalah mendengarkan pidatonya. Tak berlebihan jika ada audiens yang jumlahnya cukup besar hadir di HPN khusus untuk mendengar pidatonya semata.
Tanpa terasa tahun ini sudah dua priode atau sepuluh tahun Margiono menjabat Ketua Umum PWI. Pria kelahiran Tulung Agung 58 tahun lalu itu akan mengakhiri masa baktinya sebagai Ketua Umum PWI pada bulan September mendatang.
Tetapi karena ia akan maju sebagai calon Bupati di daerah kelahirannya dalam kontestasi Pilkada, maka terhitung 12 Februari 2018 ia nonaktif. Pelaksana Tugas Ketua Umum PWI telah diputuskan dalam rapat pleno PWI. Yaitu: Sasongko Tedjo, Ketua Bidang Organisasi.
Penunjukan ini seduai preseden yang pernah terjadi di masa Ketua Umum PWI Harmoko. Tahun 1983 Harmoko diangkat sebagai Menteri Penerangan, Ketua Bidang Organisasi (Atang Ruswita) yang menggantikannya. Sasongko adalah mantan Pemred Harian Suara Merdeka, Semarang.
Pidato terakhir
Pidato di HPN 2018 Padang 9 Februari lalu sekaligus pidato terakhir Margiono sebagai Ketua Umum PWI dan Penanggung Jawab HPN. Gaya pidato ketika tampil di HPN Padang memang tidak berubah, kata-katanya tetap tertata rapi disampaikan dengan gaya bertutur. Dia bisa mengatur naik turun emosi pendengarnya. Ia memang dalang. Dalang wayang sesungguhnya yang biasa mengatur konstruksi dramatik cerita wayang.
Namun, entah dapat wangsit dari mana, hari itu isi pidato Margiono sarat muatan politis praktis. Bersebaran pujian kepada Presiden Jokowi. Berbanding terbalik dengan pidato-pidato sebelumnya yang sarat muatan kritik kepada penguasa dan kekuasaan.
Saya menduga dia kebablasan hari itu. Tak menyadari materi pidatonya menyimpang seakan dia tim sukses mengkampanyekan Jokowi menjadi presiden RI untuk dua priode. Ia mengajak pula seluruh masyarakat Sumatra Barat untuk memilih Jokowi. Ini jelas mubazir.
Membentur kultur orang Minang yang sensitif dalam soal memilih pemimpin. Masyarakat Padang dikenal sebagai paling demokratis di Tanah Air. Tak mempan dibujuk, diperdaya apalagi didikte. Mereka punya ungkapan nyelekit menyindir "Alun takile' alah takalam" artinya belum kelihatan sudah terbaca.
Soal memilih pemimpin mereka cukup minum kopi sambil maota sudah ketahuan apa pilihannya. Kurang apa tim sukses pasangan Jokowi-JK pada Pilpres 2014, di Sumbar itulah justru mengalami kekalahan telak.
Sebagai wartawan Margiono juga tahu persis: haram bagi wartawan jadi partisan. Amanah pasal 1 KEJ: wartawan bersikap obyektif, independen dan selalu menjunjung tinggi kode etik profesi. Apalagi sepekan sebelum HPN 2018 di Padang, Dewan Kehormatan PWI mengeluarkan maklumat agara di tahun politik wartawan harus obyektif, bersikap independen dan menjungjung tinggi kode etik jurnalistik.
Tak sak lagi, menit itu juga pidato Margiono yang mengkampanyekan Jokowi langsung disantap dan dikunyah-dikunyah oleh nitizen di media sosial. Sampai hari ini, soal itu masih menjadi sorotan di media sosial.
Bukan hanya Margiono yang dibuli dengan kata-kata kasar, tetapi juga institusi PWI. Kritik terhadap organisasi wartawan terbesar ini lebih parah. Sampai ada yang memplesetkan PWI dengan kasar, seperti "Partai Wongjilat Indonesia".
Rasanya belum pernah PWI mengalami gelombang reaksi sebesar ini gara-gara pidato ketua umum. PWI pernah hadapi kritik keras pada masa reformasi. Sampai dituntut mau dibubarkan karena digolongkan seperti Golkar: dianggap bertanggung jawab atas kerusakan tatanan berbangsa.
Itu akibat kedekatan elite pengurus PWI dengan pemerintah seluruh wartawan kena getahnya. Beruntung waktu itu belum ada media sosial seperti sekarang yang membuat hujatan di media sosial bisa mengejar di mana pun kita berada.
Margiono mustahil lupa pada sejarah kelam yang pernah dilalui PWI karena ulah sebagian elite yang berselingkuh dengan kekuasaan. Dia sendiri pernah merasakan pahitnya akibat perselingkuhan itu. Dulu medianya dibredel dan puluhan media lainnya. Itu yang menjelaskan sejak reformasi PWI sudah talaktiga dengan kekuasaan. Rakyat Merdeka nama surat kabarnya, jelas sekali maknanya apa.
Ribuan mention di akun Twitter dan FB saya mempertanyakan pidato Ketua Umum PWI di Padang. Sebagian juga dengan kata-kata kasar.
Untuk sementara saya cuma menjawab begini. Dalam Kode Etik Jurnalistik wartawan dituntut bersikap independen. Jika tidak independen berarti bukan wartawan. Saya berharap dengan jawaban itu semua orang bisa mengerti, bisa paham yang mereka soal itu hanya pandangan pribadi Margiono. Bukan pandangan komunitas pers.
Komunitas pers di Indonesia ini banyak. PWI cuma salah satu. Secara institusi PWI tentu tidak membenarkan wartawan bersikap partisan karena itu pelanggara berat kode etik jurnalistik.
Secara universal etika memang mahkota wartawan. Kode etik adalah konsep operasional wartawan. Kedudukannya di atas aturan lain bahkan aturan hukum. Apalagi sekedar Peraturan Dasar/ Peraturan Rumah Tangga organisasi.
Senin, 12 Februari Margiono resmi nonaktif sebagai Ketua Umum PW. Mokasih Margiono. Bagaimanapun mantan pemred Jawa Pos ini telah berjasa menakhodai PWI selama 10 tahun dan terutama memelihara semangat di masa-masa yang cukup sulit.