IHRAM.CO.ID, Oleh: Thobib Al-Asyhar *)
Perkembangan teknologi digital belakangan ini merambah di hampir seluruh lini kehidupan. Tak terkecuali di bidang ekonomi yang terus tumbuh mengikuti pola-pola modern sesuai dengan tuntutan zamannya.
Berdasarkan studi yang dirilis oleh Ilmu One Data (konsultan analisis data dan digital) mengenai posisi dan pertumbuhan e-commerce, barang konsumsi di Indonesia pada tahun 2017 terus mengalami pertumbuhan pesat. Pertumbuhan itu mengikuti bertambahnya jumlah pengguna internet di Indonesia. Beberapa contoh e-commerce yang terus tumbuh, seperti Lazada, Tokopedia, Zalora, Matahari Mall, Bibli, Buka Lapak, Elevania, dan lain-lain yang menjadi pilihan masyarakat digital saat ini. Di bidang transportasi online kita kenal dengan Gojek, Grab, Uber, dan lainnya.
Konsekuensi dari model bisnis e-comerce adalah sistem transaksi yang dilakukan dengan cepat dan mudah melalui pembayaran non tunai yang difasilitasi dunia perbankan. Fenomena itu kemudian mendorong pemerintahan Jokowi-JK menerapkan sistem transaksi non tunai untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional.
Tidak kurang Presiden Jokowi sendiri dalam beberapa kesempatan meminta kepada jajarannya agar menerapkan transaksi pembayaran non tunai, khususnya penggunaan jasa transportasi publik seperti jasa jalan tol, kereta api, pesawat, angkutan laut, dan lain-lain. Bahkan dalam beberapa hari ini, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati pada Rakornas Pelaksanaan Anggaran 2018 di Jakarta menyampaikan kebijakan baru tentang belanja pemerintah yang akan menggunakan kartu kredit.
Menurutnya, seluruh satker (satuan kerja) K/L diharapkan memegang kartu kredit korporat sehingga cashless dan akutanbel. Dengan cara itu akan mudah diketahui kapan waktu digesek, dipakai untuk apa, di mana, yang tidak memerlukan kuitansi.
Dalam konteks ini, Kementerian Agama sebenarnya lebih awal mendorong penerapan transaksi non tunai melalui terbitnya Surat Edaran (SE) Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2017 tentang Transaksi Pembayaran Non Tunai pada Kementerian Agama tertanggal 27 Oktober 2017. SE ini dimaksudkan sebagai salah satu instrumen dan bukti komitmen Kementerian Agama dalam pengelolaan keuangan negara yang transparan dan akuntabel. Melalui sistem pembayaran baru ini, diyakini pengelolaan administrasi keuangan akan menjadi lebih transparan, efektif, dan efisien.
Dalam SE itu juga disebutkan dengan sangat jelas, bahwa tujuannya adalah untuk meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) pada Kementerian Agama, terutama pada aspek pengelolaan keuangan negara, dan mempertahankan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang belakangan ini telah diraih dengan susah payah.
Dalam sambutannya pada Rapat Evaluasi Penyerapan Anggaran Triwulan III Kementerian Agama Tahun 2017 sekaligus Peluncuran Transaksi Pembayaran Non Tunai pada Kementerian Agama di Jakarta 2017, Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin (LHS), menyampaikan bahwa Per tanggal 1 Januari 2018, transaksi pembayaran di seluruh Satuan Kerja di lingkungan Kementerian Agama harus dilakukan secara non tunai.
Menurut LHS, kebijakan transaksi non tunai merupakan tonggak dalam sejarah Kementerian Agama. Kebijakan ini diawali penerapannya pada Sekretariat Jenderal di tahun 2017, lalu diterapkan secara nasional pada tahun 2018.
LHS memandang, bahwa transaksi non tunai memiliki manfaat yang sangat besar. Tidak hanya efisien, mempercepat, dan mempermudah, tetapi ada satu hal yang tidak kalah penting dari pola transaksi ini, yaitu: dapat membentengi pegawai untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak semestinya karena semua terekam secara digital yang mudah dicek dan dibuktikan.
Pendidikan jiwa
Meskipun pelaksanaan transaksi non tunai dalam tahap awal menemui beberapa kendala teknis, namun ke depan justru akan menjadi jalan yang bagus dalam pengelolaan anggaran secara lebih transparan. Bahkan dalam konteks yang lebih luas, kebijakan ini "memaksa" suatu kondisi dalam bentuk pendidikan jiwa aparatur yang lebih positif, serta mendisiplinkan sistem pengelolaan keuangan secara institusional.
Apa relevansi kebijakan transaksi non tunai dengan pendidikan jiwa? Bukankah ini hanya soal pola pembayaran? Berikut ini uraiannya:
Pertama, pembentukan jiwa yang jujur. Pembayaran non tunai yang dilakukan melalui alur digital, memaksa orang untuk berbuat jujur karena semua transaksi tercatat secara elektronik yang bisa dibuktikan secara mudah. Meskipun hal ini masih mungkin membuka peluang penyimpangan dengan modus-modus tertentu, namun secara umum akan membentuk atmosfir jiwa yang relatif lebih terbuka.
Sikap jujur juga akan merembet pada wilayah "person to person", di mana seluruh penerimaan gaji, tunjangan, honor, dan pembayaran kepada pihak ketiga seluruhnya tercatat secara rapi karena terekam dalam aplikasi atau sistem yang sudah teruji. Hal ini tentu saja memiliki spirit yang sama sebagaimana doktrin agama bahwa seluruh pelaksanaan muamalah (transaksi) antar pihak harus dicatat dengan baik agar tidak timbul masalah di kemudian hari.
Kedua, membangun jiwa yang saling percaya antara satu dengan yang lain. Jika selama ini pembayaran tunai menimbulkan masalah "ketidakpercayaan" mengingat banyak laporan yang tidak semestinya, maka sistem non tunai akan membangun kesadaran bersama untuk berperilaku apa adanya dalam pengelolaan keuangan. Dengan pembayaran non tunai yang memiliki pola secara jelas akan membangun jiwa untuk saling percaya antar semua pihak.
Secara psikologis, kepercayaan (trust) berarti keyakinan terhadap integritas, kemampuan, atau karakter seseorang atau sesuatu. Kepercayaan, seperti dikemukakan oleh Jack Welch, sang legenda General Electric (GE), adalah sebuah kekuatan yang sangat dahsyat. Saling percaya akan membuat sesama pegawai menjadi lebih percaya diri, terbuka, jujur, bersedia mengambil risiko, dan merasa lebih nyaman dalam menjalin hubungan dengan orang lain yang pada gilirannya akan meningkatkan produktifitas kerja.
Dalam lingkup organisasi, manfaat saling percaya di antaranya adalah terciptanya iklim saling berbagi informasi dan kerja sama yang bagus. Pemimpin yang mempercayai bawahannya tidak akan segan-segan untuk mendelegasikan tugas-tugas dan wewenangnya kepada mereka. Demikian pula pegawai yang mempercayai pemimpinnya akan merasa lebih nyaman dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepada mereka.
Ketiga, pembiasaan jiwa disiplin yang menghargai terhadap kerangka waktu secara teratur. Transaksi non tunai yang telah diterapkan semestinya bisa memberikan kepastian terhadap pembayaran hak sesuai waktu yang ditetapkan karena semua by system. Jika seluruh sistemnya telah berjalan dengan baik, maka pola ini akan membuat ketepatan pembayaran secara pasti dan otomatis. Karenanya, tidak seharusnya pola ini justru membuat ruwet dalam pembayaran dengan sistem karena pola yang dikembangkan belum siap.
Keempat, mendorong pada pembentukan kondisi jiwa yang lebih tenang karena seluruhnya "dipaksa" sesuai dengan aturan. Jiwa yang tenang tercipta oleh dorongan internal, di mana keinginan-keinginan melanggar aturan sudah diminalisasi, dan faktor lingkungan yang tidak mendukungnya untuk berbuat salah atau dosa.
Jiwa yang tenang adalah level kondisi psikologis yang sangat tinggi nilainya dan bisa menstimulasi terhadap sikap dan tindakan positif dalam kehidupan sehari-hari. Tentu pencapaian jiwa yang tenang dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi setidaknya jika didukung oleh perilaku positif dalam pengelolaan keuangan, penerimaan rejeki yang jelas-jelas halal, akan sangat mempengaruhi pembentukan jiwa pegawai yang "muthmainnah" (tenang) hingga usia pensiun tiba.
Namun semua hal yang diuraikan di atas akan menjadi nyata jika semua kita memiliki tekad bersama bahwa ini adalah momentum perubahan yang lebih baik. Transaksi pembayaran non tunai hanya salah satu media untuk menjadikan Kementerian Agam menjadi lebih transparan dan akuntabel. Masalahnya, apakah kita mau atau tidak! Wallahu a'lam.
*) Kabag Ortala, Kepegawaian, dan Hukum Ditjen Bimas Islam, Kemenag