REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Shamsi Ali *)
Saya telah diberikan kesempatan bertemu dengan banyak gubernur. Dari gubernur negara bagian New York yang lalu, George Pataki, Gubernur New York saat ini, Andrew Cuomo, hingga ke banyak gubernur di Indonesia.
Semua tentunya memiliki kelebihan-kelebihannya masing-masing. Baik itu terekspos mau tidak. Ada terekspos dari memang pencitraan, dan itu juga kelebihan bagi sebagian gubernur yang ahli pencitraan. Tapi ada juga yang memang terekspos dengan sendirinya oleh media.
Kehebatan gubernur-gubernur yang akan saya sebutkan ini sangat eksepsional (luar biasa). Semakin mengenal mereka akan semakin terasa keistimewaan itu. Allah Yang Maha Penyayang memberikan “tafdhiil” (kelebihan) kepada hamba-hamba-Nya yang dipilih.
1. Gubernur yang ustadz. Ustaz yang gubernur.
Saya sudah pertama kali menginjakkan kaki di Bandung disaat masih duduk di bangku kelas 2 SMU (kelas 5 pondok pesantren). Ketika itu saya mewakili Sul-Sel pada kejuaraan silat nasional di Unisba tahun 1986. Saya sempat merebut juara dua kejuaraan nasional Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) ketika itu.
Memori masa itu terulang ketika tiga empat tahun lalu saya mendapat kesempatan berkunjung kembali ke kota bunga itu. Sebuah kunjungan yang istimewa karena salah satunya dberikan penghargaan menyampaikan sharing pengalaman dakwah di Amerika di masjid gubernuran, Gedung Sate.
Sebelum itu kami diterima oleh Gubernur Jawa Barat, Al-Ustadz Dr. Ahmad Herawan. Gubernur yang lebih nyaman disapa dengan Kang Aher ini menerima kami dengan penuh keramahan dan persahabatan. Ikatan hati yang dihiasi keindahan iman itu begitu kuat, sehingga seolah kami sudah sangat lama saling kenal dan bersahabat.
Tulisan ini tidak akan mampu mendeskripsi siapa beliau. Terlalu naif, dan rasanya zholim, jika tulisan sesingkat ini diakui mewakili karakterstik Kang Aher. Beliau adalah sosok yang luar biasa dalam kehidupan yang biasa. Beliau istimewa dalam kesederhanaan. Mungkin jika ketemu dan belum mengenal sebelumnya, akan ada yang kurang percaya kalau beliau seorang pejabat.
Ketawadhuan, kesederhanaan, keramahan, keterbukaan, semuanya menjadi penghias intelektualitas yang terbangun di atas fondari religiositas yang tinggi. Dalam masa sekitar 2-3 tahun ini setiap kali saya hadir di kota Bandung, beliau selalu mengacarakan kuliah subuh bagi jamaah gubernuran.
Yang menarik adalah ketika sang gubernur menyampaikan ceramah, pasti mengalir bagaikan air segar dari mulut beliau ayat-ayat dan hadits. Juga penguasaan beliau tentang sejarah peradaban dunia sangat luas. Dibarengi pula oleh soliditas intelektualitas yang mumpuni. Hal ini menjadikan beliau lebih nampak sebagai da’i ketimbang seorang gubernur yang berhasil.
Walhasil, bagi beliau posisi sebagai gubernur bukan tujuan. Tapi sebagaimana motto hidup seorang aktifis: “nahnu du’aat qabla kulli syae” (kita adalah da’i-da’i dalam segala hal). Maka jabatan bagi seorang Kang Aher adalah hanya satu dari seribu jembatan menuju kemenangan itu.
Satu hal yang istimewa bahwa setiap kali saya ingin mampir ke Jawa Barat, saya langsung mengomunikasikan dengan beliau. Seingat saya beliau selalu saja memberikan jawaban positif: “baik ustadz. Akan saya sesuaikan jadwalnya”.
Beberapa hari lalu saya kembali diberikan kesempatan untuk bersilaturrahim dengan beliau. Kunjungan saya kali ini membawa misi besar bagi kelangsungan dakwah di Amerika Serikat. Yaitu membangun pondok pesantren pertama di Amerika Serikat. Beliau menyambut sangat positif, bahkan tanpa pikir panjang mengambil bahagian penting dari perjuangan itu.
Terima kasih Kang Aher. Terima kasih Jawa Barat. Semoga Kang Aher dan Jawa Barat diberikan kemuliaan yang lebih tinggi lagi, dunia dan akhirat. Amin!
2. Sang hafiz, gubernur termuda negeri ini.
Saya sudah cukup lama mendengar nama beliau. Bahkan sejak mengenal beliau, baik melalui tulisan atau berita di luar alam sadar saya menumbuhkan kekaguman tersendiri.
Betapa tidak, TGB (Tuan Guru Bajang), demikian beliau digelari, adalah sosok yang multi-dimensi yang membanggakan. Konon juga arti Tuan Guru Bajang itu berarti Tuan Guru Muda. Sebuah penyebutan atau gelar yang memang sesuai dengan realitanya. Beliau muda tapi tidak diragukan lagi akan keilmuan beliau dalam agama. Dan ini menjadikan beliau berada pada posisi Tuan guru.
Sebagaimana Gubernur Jawa Barat, TGB yang terpilih sebagai gubernur NTB ini di saat sangat muda menjadikannya tercatat di MURI sebagai gubernur termuda di Indonesia ketika itu.
Bagi saya pribadi, jabatan adalah karunia yang Allah berikan kepaa siapa yang dipilihnya. “Engkau memberi kerajaan siapa yang Engkau kehendaki”. Dan karenanya posisi beliau sebagai gubernur bukan penilaian pertama dan terutama.
Bagi saya, justeru yang paling menarik adalah bagaimana beliau merupakan personifikasi antara seorang ulama dan umara. Kepemimpinan beliau sangat diilhami oleh jiwa keulamaan. Dan keulamaan beliau terpantul dalam gaya kepemimpinan beliau.
Sosok Gubernur NTB ini sesungguhnya merupakan jawaban terhadap asumsi bahwa agama ketika bersentuhan dengan politik menumbuhkan kediktatoran dalam dua sisi. Kediktatoran politik dan kediktatoran pemikiran.
Ternyata TGB membuktikan bahwa seorang politisi yang beragama akan lebih hebat dan bertanggung jawab. Karena pertanggung jawabannya tidak saja karena alasan demokrasi kepada rakyat. Tapi yang terpenting adalah pertanggung jawaban imani kepada Pencipta alam semesta.
Kepribadian yang tak banyak bicara menggambarkan kedalaman ilmu beliau. Sosok intelektual yang “cool” (menarik), luas, rasional di satu sisi. Tapi sangat tegas dalam memegan kebenaran di sisi lain. Dan kesemua itu dibalut oleh keindahan karakter dan komunikasi yang lembut.
Ketegasan atas kebenaran dan kejujuran itu menjadikan beliau dengan terbuka mengeritik kebijakan pemerintah pusat, khususnya kementerian yang terkait dengan perdaganan dan pertanian, dihadapan presiden negeri ini. Akan tetapi kritikan tajam dan terbuka itu tidak menyakitkan telinga pendengar, tidak juga menjadikan hati manusia mengerang. Karena sekali lagi disampaikan dalam bahasa yang santun, dan dari hati yang ikhlas “lillah” demi kepentingan rakyat.
Bulan Desember lalu Tuan Guru Bajang hadir di Amerika untuk menjadi pembicara di Muktamar IMSA (Indonesian Muslim Society in America). Kehadirannya diterima dengan kegembiraan dan kebahagiaan oleh muktamirin. Maklum, beliau seorang ulama besar, pemegang gelar Doktor di bidang ilmu Alquran.
Tapi tidak kalah pentingnya beliau banyak disebut sebagai wajah pemimpin bangsa ke depan. Apapun tafsiran kata “pemimpin” itu, hanya Allah yang akan membuktikannya. Beliau bukan tipe orang ambisius. Tapi beliau juga bukan tipe orang yang akan melarikan diri dari tanggung jawab itu.
Hanya doa yang kupanjatkan semoga sang gubernur yang tahun ini mengakhiri tugas dua term akan memasuki babak baru dalam tugas dan perjuangannya. Apapun itu, semoga Allah memberikan kemuliaan yang lebih tinggi kepada beliau. Amin!
3. Ahli politik yang santri.
Pada diri seorang Anies Baswedan terdapat ragam keunikan. Saya mengenal beliau sejak menjadi ketua senat mahasiswa di UGM. Tulisan-tulisan beliau, kalau tidak salah, di Panjimas ketika itu menjadi bacaan rutin saya. Dan sejak itu pula saya mengagumi beliau sebagai aktifis yang intelektual dan intelektual yang aktifis.
Pertemuan antara saya dengan beliau kemudian terjadi, bahkan berkali-kali, ketika beliau mengambil studi pasca sarjana di Amerika Serikat. Menyelesaikan Master beliau di salah satu universitas di Washington DC dan PhD beliau di Urbana Illinois. Pertemuan-pertemuan itu semakin memperbesar kekaguman saya kepada beliau.
Kalau di masa lalu saya mengagumi beliau karena pemikiran dan analisanya yang tajam dan cerdik, kini kekaguman itu karena kepribadian dan karakter nyata di depan mata. Kecerdikan dan pemikiran seringkali menjadi hambar dan kurang menarik ketika dibarengi oleh karakter busung dada. Anies Baswedan terbentuk oleh ketajaman akal dan hati. Sosok yang digambarkan dan dipuji sebagai “ulul albab” dalam Alquran.
Sekembali dari Amerika tidaklah mengejutkan jika Anies menempati posisi akademis yang bergengsi. Menjadi rektor Universitas Paramadina di Jakarta. Selanjutnya di masa awal pemerintahan Jokowi, Anies terpilih menjadi salah seorang menterinya. Sayang, kekuatan arus politik internal pemerintahan Jokowi menjadikan beliau diberhentikan.
Kemapanan jiwa dan kedewasaan politiknya menjadikan Anies tidak sama sekal merasa kehilangan dengan pemberhentian itu. Keyakinannya kepada Dia yang mengatur langit dam bumi membawanya kepada kesimpulan bahwa tiada peristiwa yang terjadi, besar atau kecil, kecuali punya makna tersendiri.
Beliau jalani hidup mengikut hempasan ombat taqdir Ilahi. Dan di tengah suasana panas di ibukota itu beliau tampil sebagai alternatif. Kehadiran beliau seolah kiriman kado bagi warga Jakarta yang sudah mulai merasakan kepenatan birokrasi yang kaku dan menyesakkan.
Ketika beliau maju menjadi calon gubernur DKI, tanpa pikir panjang saya pribad mendukung beliau. Beliau sebenarnya diserang dari dua arah; kiri dan kanan. Oleh arah kanan beliau difitnah sebagai syiah. Dari arah kiri sudah pasti beliau dianggap calon gubernur radikal.
Ternyata ketika Allah telah memutuskan sesuatu tak siapapun uang menghalaginya. Beliau terpilih sebagai gubernur untuk semua warga Jakarta. Terpilih dengan hasil di atas rata-rata perkiraan banyak kalangan.
Pasca terpilihnya menjadi gubernur, saya mendapat kehormatan bersilaturrahim dengan beliau di balaikota. Saya sebenarnya tidak ingin mengganggu jadwal beliau. Tapi beliau malah meluangkan waktu bersama kami, selain jumatan juga santap siang bersama.
Saya mengikuti dari dekat langkah-langkah publik beliau. Kebesaran jiwa menghadapi tantangan-tantangan politik menjadikannya semakin dicintai rakyat. Kekuatan iman pula menjadi modal keberanian beliau mengambil kebijakan yang mungkin di mata sebagian kurang populer. Tapi demi agama, DKI dan warganya beliau berani menutup tempat-tempat maksiat.
Mungkin yang paling mengesankan dan membuka mata semua orang adalah ketegasan beliau menentang reklamasi Jakarta. Sebuah proyek besar yang sarat kepentingan dan sangat politis. Tapi yang terpenting tidak berpihak ke rakyat banyak.
Inilah yang menjadikan beliau pastinya dibenci oleh sebagian yang punya kepentingan. Insiden aneh terjadi misalnya di lapangan Bung Karno beberapa waktu lalu. Seorang gubernur, tuan rumah, pemenang pula, tidak perkenankan mendampingi Presiden RI menyerahkan piala di panggung. Hal kecil, tapi dengannya Allah buka tabir kebencian itu.
Doa saya untuk pak Gubernur, semoga dikuatkan, dijaga dan dimudahkan dalam menjalankan amanah warga Jakarta. Maju kotanya, bahagia warganya. Keberhasilan beliau dalam beberapa bulan saja, menjadikan ada pihak-pihak yang dag dig dug...khawatir, dan mungkin merasa terancam.
Akhirnya, pemimpin masa depan bangsa dan negara ini memang masanya dari kalangan muda, cerdik, berwawasan dan visioner, dan tak kalah pentingnya memiliki kepedulian kepada nilai-nilai agama dan moralitas. Dan saya sangat yakin, tiga gubernur yang luar biasa ini menjadi harapan kita semua. Amin!
*) Presiden Nusantara Foundation