REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Anton Tabah*
Media menjadi salah satu saksi jujur sejarah jika kita membuka file koran Indonesia maupun dunia, seperti Washington Post, New York Times, Time, dan Asahi Simbun. Edisi 13 Maret 1966 hampir semua menulis berita jutaan rakyat Indonesia tumpah ruah di jalan-jalan kota Indonesia meluapkan sukacita.
Rakyat, pelajar, mahasiswa, tentara, polisi berpelukan dalam rasa haru. Partai Komunis Indonesia (PKI) sehari sebelumnya (12 Maret 1966) dibubarkan, resmi dilarang hidup di bumi NKRI karena tidak sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yang religius yang dikristalisasikan dalam filosofi dasar bangsa Indonesia, Pancasila.
Jenderal Soeharto yang ditunjuk Bung Karno sebagai panglima Pemulihan Keamanan pascapemberontakan PKI 30 September 1965 yang gagal dan Jenderal Nasution selaku Ketua MPRS saat itu, dielu-elukan rakyat karena berani membubarkan PKI sesuai tuntutan rakyat dalam Tritura, yaitu bubarkan PKI, retol kabinet Soekarno, dan turunkan harga. Majalah Time yang terbit sepekan kemudian mengulas lebih dalam penyelesaian brilian telah diambil di Jakarta dengan gagah berani. Jenderal Soeharto dan Jenderal Nasution membubarkan PKI, partai politik terbesar ketika itu dan disokong dua negara adidaya: RRT dan Uni Soviet. PKI bahkan telah berkuasa dua dekade dengan doktrin pemaksakan kehendak.
Karena itu, Presiden Prancis Francois Mitterand yang juga seorang kolumnis itu menulis buku berjudul La Paile et Le Grain yang diterjemahkan ke bahasa Inggris, The Weat and The Chaff (Jerami dan Sekam). Dalam buku itu, antara lain, diusulkan Jenderal Soeharto layak mendapat hadiah Nobel karena telah membubarkan PKI yang dalam Gerakan 30 September 1965 sangat biadab menyiksa dan membunuh lawan-lawan politiknya.
Sukarno (kiri) dan Suharto.