Jumat 16 Mar 2018 07:41 WIB

Makna Kemenangan Partai Bulan Bintang (PBB)

Kemenangan PBB memberikan dampak signifikan terhadap politik nasional.

Ketua  Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra bersama Sekjen PBB Ferry Afriansyah Noor menunjukan nomor urut sembilan belas saat acara Pengundian Nomor Urut Peserta Pemilu 2019 di Kantor KPU, Jakarta, Ahad (18/2).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra bersama Sekjen PBB Ferry Afriansyah Noor menunjukan nomor urut sembilan belas saat acara Pengundian Nomor Urut Peserta Pemilu 2019 di Kantor KPU, Jakarta, Ahad (18/2).

REPUBLIKA.CO.ID  Oleh: Muhamad Fajar Pramono, Dosen Sosiologi Agama UNIDA Gontor Ponorogo

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) akhirnya menyatakan Partai Bulan Bintang (PBB) menjadi peserta Pemilu 2019. Keputusan itu disampaikan dalam sidang adjudikasi penyelesaian sengketa proses pemilu yang dipimpin Ketua Bawaslu Abhan, Ahad (Republika, 4/3) malam.

"KPU memutuskan menolak eksepsi termohon dan mengabulkan seluruhnya tuntutan pemohon," ujar Abhan saat membacakan keputusan Bawaslu.

Hasil sidang tersebut juga membatalkan keputusan KPU tertanggal 17 Februari 2018 yang menyatakan PBB tidak lolos verifikasi nasional calon peserta pemilu. Bawaslu juga memerintahkan KPU untuk melaksanakan keputusan Bawaslu maksimal tiga hari sejak dibacakan.

Kemenangan itu tidak hanya menggembirakan PBB, tetapi juga tentunya umat Islam.

Kemenangan bagi PBB itu menunjukkan, pertama, kekuatan PBB tidak terbendung oleh kekuatan Islamofobia yang tidak menghendaki PBB yang selama ini dipahami sebagai pewaris Masyumi untuk eksis dan berkembang dalam politik di Indonesia.

Kedua, kemenangan PBB menunjukkan Profesor Yusril Ihza Mahendra adalah bukan politikus ecek-ecek, yang begitu mudahnya dikelabui cara-cara politik yang tidak lucu dan tidak bermutu. Sedangkan, kemenangan PBB bagi umat Islam, pertama, menumbuhkan ghirah dan gairah umat Islam dalam politik yang selama ini aspirasinya belum atau kurang tertampung secara baik oleh PKS, PAN, PPP, dan PKB.

Dengan demikian, menumbuhkan harapan baru akan lahirnya politik keumatan yang belum menampung berbagai potensi politik umat, seperti FPI, HTI, dan gerakan-gerakan Islam lain yang selama ini golput dalam setiap pemilu.

Setidaknya, secara politik yang selama ini gerakannya bersifat sporadis menjadi gerakan yang terstruktur dalam PBB dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Kedua, kemenangan PBB bagi partai-partai Islam, khususnya bagi PAN, PKB, dan PPP, tidak terlalu “mengganggu” karena sudah jelas berbeda dengan segi platform yang memang dalam AD/ART bahwa PAN dan PKB di samping mengedepankan pluralisme, juga tidak mengusung penegakan syariah, sebagaimana PBB.

Sedangkan, PPP bagi umat Islam posisinya sudah sangat jelas baik telah memosisikan sebagai partai pendukung pemerintah dan yang lebih penting dalam konteks Pilkada DKI dianggap tidak punya pemihakan terhadap gerakan antipenista agama, justru membela habis-habisan.

Jadi, kemenangan PBB tidak punya pengaruh apa-apa terhadap PKB, PAN, dan PPP. Mungkin yang punya pengaruh cukup signifikan adalah terhadap PKS. Namun, setelah dikalkulasi secara objektif tidak juga.

Pertama, untuk membangun kekuatan oposisi yang efektif tidak cukup hanya kekuatan PKS. Kita butuh kekuatan lain, seperti PAN dan Gerindra, juga tentunya PBB. Untuk menjadi kekuatan baru dalam politik di Indonesia dibutuhkan sekitar 70 juta-80 juta suara.

Jika mengandalkan PKS, kita hanya punya 8.480.204 suara atau 6,79 persen dari 125.259.891 suara sah dalam Pemilu 2014.

Jadi, kita butuh PAN yang punya 9.481.621 suara (7,59 persen), juga Gerindra dengan 14.760.371 suara (11,81 persen), dan PBB yang punya modal 1.825.750 suara (1,46 persen) yang berpotensi mendapatkan dukungan kelompok-kelompok Islam yang selama ini tidak berpartisipasi dalam pemilu, seperti HTI dan FPI.

Makna kedua bagi PKS dengan kemenangan PBB diharapkan bisa menjadi kanal bagi beberapa kelompok atau kader PKS yang tidak cocok atau kurang nyaman dengan gaya kepemimpinan PKS sekarang.

Kader-kader PKS, seperti Fahri Hamzah (FH) dan teman-temannya, menurut penulis, lebih baik masuk dan memperkuat PBB daripada masuk PDIP atau Golkar dalam rangka membangun kekuatan politik keumatan, yakni kekuatan baru politik Islam yang menyatukan kekuatan politik dan kekuatan nonpolitik dengan menggunakan formulasi kekuatan gerakan 212.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement