REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: William Henley *)
Sebuah kabar gembira berembus dari Medan Merdeka Utara, tempat Presiden Joko Widodo berkantor dan bekerja pada Jumat (23/3/2018) lalu. Saat berbicara kepada jurnalis seusai memanggil Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Menteri Badan Usaha Milik Negara, Menteri Perhubungan, dan direksi badan usaha jalan tol, Presiden menyampaikan pada akhir Maret ini, tarif tol untuk transportasi logistik akan diturunkan sebesar 20-30 persen.
Penurunan tarif berawal dari keluhan sopir angkutan yang sering didengar Presiden ketika blusukan ke daerah-daerah. Tingginya tarif tol menjadi salah satu komponen yang memberatkan beban operasional perusahaan, tidak terkecuali para pengemudi kendaraan angkutan barang.
Presiden mengemukakan banyak cara yang bisa ditempuh dalam menurunkan tarif tol untuk transportasi logistik. Misalnya dengan memperpanjang konsesi yang membuat beban pengembalian keuntungan semakin lama maupun pemberian tax holiday (pembebasan pajak) untuk proyek-proyek jalan tol baru (Sekretariat Kabinet).
Pertanyaan yang timbul kemudian, seberapa efektif penurunan tarif tol bagi ongkos logistik di Tanah Air secara keseluruhan?
Tinjauan masalah
Secara sederhana, jalan tol diartikan sebagai jalan bebas hambatan. Demikian pengertian yang ada di benak masyarakat. Sementara menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol. Kemudian tol memiliki arti sejumlah uang tertentu yang dibayarkan untuk penggunaan jalan tol.
Masih menurut UU Nomor 38 Tahun 2004, jalan tol memiliki sejumlah tujuan dan manfaat. Terkait dengan logistik, jalan tol bertujuan meningkatkan pelayanan distribusi barang dan jasa guna menunjang pertumbuhan ekonomi. Sementara, dari sisi manfaat, mobilitas dan aksesibilitas orang maupun barang menjadi lebih baik. Pengguna jalan tol juga akan mendapatkan keuntungan berupa penghematan biaya operasi kendaraan (BOK) dan waktu dibanding apabila melewati jalan yang bukan jalan tol.
Studi yang dilakukan berbagai kalangan juga menunjukkan bahwa jalan tol merupakan bagian penting dalam infrastruktur logistik sebuah negara. Selain tentu jalur kereta api, pelabuhan, dan bandara.
Akan tetapi, studi yang dilakukan The Institute of Southeast Asian Studies Singapura dan dirilis Oktober 2016 menunjukkan kenyataan pahit. Kualitas infrastruktur jalan, termasuk jalan tol, di Indonesia hanya berada pada skala 4 dari 1-7. Itu artinya kualitas infrastruktur jalan masih jauh dari kata ekstensif dan efisien. Akibatnya, ongkos logistik di dalam negeri pun terpengaruh.
Riset Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia yang dirilis pada tahun lalu menunjukkan ongkos logistik Indonesia mencapai 23,5 persen. Nilai ini masih lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara seperti Thailand (13,2 persen), Malaysia (13 persen), dan Singapura (8,1 persen).
Maka tak ayal, penurunan tarif tol untuk transportasi logistik pun disambut baik sejumlah kalangan. Namun, menurut hemat penulis, langkah tersebut tak akan berdampak signifikan terhadap turunnya ongkos logistik. Mengapa? Banyak faktor yang bisa ditunjuk.
Salah satunya dari sisi efektivitas jalan tol terhadap ongkos logistik semakin berkurang. Bukan semata-mata karena tarif yang mahal. Indikator lain dapat dilihat dari tingkat kemacetan yang semakin parah. Misalnya di ruas jalan tol yang menghubungkan Jakarta-Cikampek.
Badan Pengatur Jalan Tol mencatat V/C Ratio (rasio volume kendaraan yang masuk berbanding kapasitas jalan yang tersedia) sudah berada di angka 1. Sementara BPJT menyebut angka ideal V/C Ratio, yaitu 0,8, agar kecepatan kendaraan sesuai standar pelayanan minimal.
Ini patut disayangkan. Apalagi, jalan tol Jakarta-Cikampek merupakan urat nadi utama perekonomian Indonesia. Jika melihat data volume kendaraan 2015, rata-rata perjalanan kendaraan dari dan menuju Jakarta melalui tol tersebut sekitar 590.000 kendaraan per hari.
Berbagai rekayasa yang dilakukan oleh aparat lintas gabungan dari Kementerian Perhubungan maupun Polri, termasuk sistem ganjil-genap, perlahan mulai berdampak positif. Akan tetapi, diperlukan rekayasa-rekayasa dalam bentuk lain sehingga penurunan kemacetan menjadi lebih terasa.
Kemacetan yang semakin parah tentu membuat mobilitas angkutan semakin terbatas. Dalam kondisi lancar, sebuah kendaraan bisa melayani pengangkutan barang sebanyak tiga atau empat kali, misalnya. Kemacetan membuat jumlah perjalanan berkurang hingga hanya dua atau bahkan satu kali. Sangat merugikan.
Hentikan pungli
Efektivitas penurunan tarif tol untuk transportasi logistik juga berpotensi terasa hambar mengingat masalah klasik dalam sektor ini. Ya, pungutan liar alias pungli. Seolah sudah menjadi kebiasaan uang terima kasih atau uang dalam bentuk apapun harus disiapkan pengemudi angkutan barang.
Tanpa uang pelicin, maka perjalanan pun dipersulit. Ujung-ujungnya, barang yang hendak diantarkan pun terlambat tiba. Maka, mau tidak mau, dana lebih harus disiapkan pengusaha transportasi logistik. Mereka tentu tidak ingin mengambil risiko yang bisa berpengaruh kepada keberlanjutan bisnisnya.
Asosiasi Perusahaan Jasa Ekspres Indonesia mencatat ongkos logistik mencakup 24 persen dari biaya barang. Namun, biaya ini jadi lebih tinggi karena perilaku oknum-oknum di lapangan yang membebani ongkos pengiriman. Asosiasi juga mengklaim pungli membuat pengiriman barang dari Cina ke Jakarta lebih murah dari pada dari ibu kota ke Padang.
Dalam menyelesaikan permasalahan pungli, Presiden Joko Widodo sudah membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Pungutan Liar atau Saber Pungli pada Oktober 2016. Sebagai ketua adalah Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto. Polri menjadi ujung tombak dari Saber Pungli.
Dari data statistik, selama setahun saja, Polri sudah melakukan 1.075 operasi tangkap tangan dari skala kecil hingga skala besar. Jika didetailkan, sebagian besar sudah dilimpahkan ke kejaksaan untuk kemudian diproses di pengadilan. Vonis demi vonis kepada pelaku pun sudah dijatuhkan.
Namun, kerja-kerja Saber Pungli seolah tak berarti selama pungli sudah mendarah daging. Diperlukan upaya yang lebih tegas kepada oknum pelaku pungli. Sanksi pemecatan hingga tuntutan hukuman dengan masa hukuman yang lama bisa jadi pertimbangan.
Imbauan Presiden setelah polisi melakukan OTT terhadap sejumlah pegawai Kementerian Perhubungan yang diduga menerima suap terkait izin perkapalan, Selasa (09/10), patut direnungkan. "Kepada seluruh instansi, lembaga, mulai sekarang hentikan yang namanya pungli, terutama terkait pelayanan kepada rakyat," demikian Presiden mengimbau.
Pada akhirnya, ikhtiar pemerintah untuk mendongkrak kinerja sektor logistik, termasuk dengan menurunkan tarif tol, patut diapresiasi. Namun, seperti dijelaskan, semua ini tak akan bermakna apa-apa selama tidak diikuti langkah-langkah lain. Pemberantasan pungli harus jadi fokus utama ke depan. Kinerja Saber Pungli harus semakin ditingkatkan. Jangan hanya semangat di awal.
Apabila semua sesuai rencana, maka diharapkan ongkos logistik di Tanah Air terus turun. Efek selanjutnya adalah investasi bisa mengalir deras ke dalam negeri di tengah situasi ekonomi global yang penuh ketidakpastian. Peningkatan investasi tentu dapat membuat kinerja perekonomian Indonesia semakin lebih baik.
*) Founder Indosterling Capital