REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nindira Aryudhani, Relawan Opini dan Media, Kampung Inggris, Pare, Kediri, Jawa Timur; Email: [email protected]; [email protected]
Profesor, hingga detik ini, masih menjadi gelar akademik tertinggi. Gelar tersebut mengaktualisasikan pemiliknya pada variabel kepakaran dan intelektualitas. Namun demikian, kiranya kita tak lepas waspada dengan wacana serius pemerintah untuk mengimpor dosen asing yang telah diresmikan dengan Peraturan Presiden No 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Perpres TKA). Mengamini Perpres TKA ini, Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, Indonesia kini membutuhkan banyak tenaga pengajar dan instruktur asing untuk mendukung perkembangan ekonomi digital.
April 2018 lalu, tercatat digital di sejumlah media, bahwa Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) telah menganggarkan dana sekitar Rp 300 miliar untuk menggaji dosen asing yang segera didatangkan ke Indonesia. Menurut Dirjen Sumber Daya IPTEK dan Dikti Ali Ghufron, hingga saat ini setidaknya sudah ada 70 perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang mengajukan agar dosen asing bisa mengajar. Perguruan tinggi tersebut seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Lanjut Ghufron, Kemenristekdikti sudah bekerja sama dengan Thailand dan Jerman. Karenanya, dia memastikan tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebih mengenai kedatangan dosen asing. Sebab pemerintah, kata dia, telah memiliki regulasi dan skema yang cukup ketat. Ini setali tiga uang dengan Menristekdikti Mohammad Nasir, yang mengatakan bahwa Indonesia memerlukan dosen asing untuk mendongkrak mutu dan kualitas pendidikan tinggi.
Namun, sungguh hal ini terlalu paradoks dengan adanya fakta pemeriksaan terhadap dua orang profesor oleh Tim Adhoc Etik Senat Akademik yang bersangkutan. Padahal, secara rekam jejak, keduanya lurus mengabdi. Pengabdian lurus yang disertai kekritisan sebagai wujud kegalauan sekaligus peraduan kepada Sang Pencipta, ketika menyaksikan sejumlah ketimpangan sosial. Yang satu, kritis mengatakan bahwa Khilafah sejalan dengan Pancasila. Yang satu, kritis menyatakan penolakan terhadap putusan PTUN yang resmi mencabut status Badan Hukum Perkumpulan (BHP) sebuah ormas Islam yang tengah fenomenal. Bengkok-kah kelurusan mereka?
Sesungguhnya, ini adalah pemeriksaan terhadap dua intelektual yang jika dibahasakan dengan istilah awam, adalah sama dengan persekusi. Istilah yang lebih dimengerti oleh masyarakat.
Bermula ketika sepanjang tahun 2017 lalu, tercatat banyak peristiwa persekusi pada aktivitas-aktivitas keislaman. Tak sebatas pembubaran pengajian-pengajian Islam, mimbar-mimbar dakwah, bahkan para dai-nya pun hendak disertifikasi. Mereka didata dalam bentuk rekomendasi, tapi juga sudah ada yang dikriminalisasi.
Pointer dari persekusi ini nampaknya diawali oleh peristiwa Aksi Bela Islam (ABI) 411 dan 212. Menuju medio 2018 ini, eskalasi dan militansi umat membela Islam secara kaffah kian meningkat. Perjalanan umat membela dien-Nya kian berliku. Buktinya, persekusi makin menjadi-jadi. Sangat nampak, bahwa upaya-upaya persekusi ini sesungguhnya respon yang reaksioner dari pemerintah terhadap meningkatnya semangat ke-Islam-an masyarakat.
Kita bisa menilai, tidakkah ini bagai pengarusan isu agar masyarakat jangan mendekati hal-hal yang bernafas syariah, Islam kaffah, juga Khilafah? Tidakkah ini menunjukkan bahwa sistem hukum telah menjelma menjadi senjata pemusnah dakwah dan persekusi orang kritis?
Merefleksi sejarah Rasulullah SAW, ini tak ubahnya kondisi kaum musyrik jahiliyah Makkah yang selalu berusaha mempersekusi dakwah beliau. Namun semua pengorbanan Rasulullah SAW dan para shahabat/shahabiyah akibat persekusi oleh penguasa Quraisy, tidak sedikit pun menyurutkan langkah mereka dari dakwah Islam. Makin kuatnya persekusi, justru makin memekatkan aktivitas dakwah mereka. Mereka tetap konsisten mengemban kebenaran. Inilah yang semestinya diteladani.