Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Penyair terkemuka, Taufiq Ismail, mengaku prihatin atas munculnya situasi menjelang pelaksanaan Pilpres 2019. Dalam waktu beberapa hari ke depan memang sudah ada pendaftaran calon presiden dan wakil presiden. Sayang di publik kini muncul debat soal kontroversi pernyataan untuk bersiap untuk berkelahi hingga adanya diksi libas yang tersebar di media massa konvensional maupun media sosial.
''Saya sangat prihatin. Ini membuat saya sedih. Kenangan akn pemilu 1955 yang bermutu terasa menjauh," kata Taufiq Ismail, di Jakarta, Selasa (7/8).
Dalam banyak kesempatan Taufiq kerapkali mengemukakan soal suasana Pemilu 1955 yang dialaminya. Saat itu perbedaan partai dan ideologi begitu nyata dan marak. Tapi tak terjadi kekerasan dan tak ada darah yang tertumpah. Bahkan ketika dua masa yang berbeda pilihan bertemu tak ada bentrokan. Isinya cuma berselisih kata (verbal) belaka.
''Perbedaan aliran politik begitu nyata. Tapi saat itu jalannya kampanye pemilu lancar. Bahkan dipuji sebagai pemilu terbaik di Indonesia,'' katanya lagi.
Taufiq mengenangkan suasana Pemilu 1955 dalam sebuah sajaknya. Dan puisi ini pernah dia bacakan di depan para peserta pemilu dan anggota Komisi Pemilihan Umum pada sebelum menggelar ajang kampanye tanun 2014 silam. Beginilah puisinya yang berjudul: Ketika Indonesia dihormati dunia.
Dengan rasa rindu kukenang pemilihan umum setengah abad yang lewat
Dengan rasa kangen pemilihan umum pertama itu kucatat
Peristiwa itu berlangsung tepatnya di tahun lima puluh lima
Ketika itu sebagai bangsa kita baru sepuluh tahun merdeka
Itulah pemilihan umum yang paling indah dalam sejarah bangsa
Pemilihan umum pertama, yang sangat bersih dalam sejarah kita
Waktu itu tak dikenal singkatan jurdil, istilah jujur dan adil
Jujur dan adil tak diucapkan, jujur dan adil cuma dilaksanakan
Waktu itu tak dikenal istilah pesta demokrasi
Pesta demokrasi tak dilisankan, pesta demokrasi cuma dilangsungkan
Pesta yang bermakna kegembiraan bersama
Demokrasi yang berarti menghargai pendapat berbeda
Pada waktu itu tak ada huru-hara yang menegangkan
Pada waktu itu tidak ada setetes pun darah ditumpahkan
Pada waktu itu tidak ada satu nyawa melayang
Pada waktu itu tidak sebuah mobil pun digulingkan lalu dibakar
Pada waktu itu tidak sebuah pun bangunan disulut api berkobar
Pada waktu itu tidak ada suap-menyuap, tak terdengar sogok-sogokan
Pada waktu itu dalam penghitungan suara, tak ada kecurangan
Itulah masa, ketika Indonesia dihormati dunia
Sebagai pribadi, wajah kita simpatik berhias senyuman
Sebagai bangsa, kita dikenal santun dan sopan
Sebagai massa kita jauh dari kebringasan, jauh dari keganasan
Tapi enam belas tahun kemudian, dalam 7 pemilu berturutan
Untuk sejumlah kursi, 50 kali 50 sentimeter persegi dalam ukuran
Rakyat dihasut untuk berteriak, bendera partai mereka kibarkan
Rasa bersaing yang sehat berubah jadi rasa dendam dikobarkan
Kemudian diacungkan tinju, naiklah darah, lalu berkelahi dan berbunuhan
Anak bangsa tewas ratusan, mobil dan bangunan dibakar puluhan
Anak bangsa muda-muda usia, satu-satu ketemu di jalan, mereka sopan-sopan
Tapi bila mereka sudah puluhan apalagi ratusan di lapangan
Pawai keliling kota, berdiri di atap kendaraan, melanggar semua aturan
Di kepala terikat bandana, kaus oblong disablon, di tangan bendera berkibaran
Meneriak-neriakkan tanda seru dalam sepuluh kalimat semboyan dan slogan
Berubah mereka jadi beringas dan siap mengamuk, melakukan kekerasan
Batu berlayangan, api disulutkan, pentungan diayunkan
Dalam huru-hara yang malahan mungkin, pesanan
Antara rasa rindu dan malu puisi ini kutuliskan
Rindu pada pemilu yang bersih dan indah, pernah kurasakan
Malu pada diri sendiri, tak mampu merubah perilaku Bangsaku.