Oleh Lukman Hakiem, Peminat Sejarah
SELASA (7/11/2018) sekitar pukul 10, telepon genggam saya berdering. Saya lihat, berasal dari dr Samhari Baswedan. Segera saya angkat, dari dari ujung sana terdengar suara sumringah. Samhari mengabarkan bahwa pada hari Rabu (8/11/2018), Abdul Rahman Baswedan (1908-1986) akan dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional.
Sesudah mengucapkan syukur dan menyampaikan tahniah, saya balik bertanya: "Siapa lagi Mas?"
Samhari menjelaskan, semuanya ada enam, tapi dia cuma hafal empat: Mr. Kasman Singodimedjo, K.H. Sjam'un, dan Pangeran Muhammad Noor. "Dua lagi dari Sulawesi dan Bangka," ujar Samhari.
Keluarga besar AR Baswedan di Istana Negara, Jakarta, Kamis (8/11).Keluarga besar AR Baswedan di Istana Negara, Jakarta, Kamis (8/11).
Saya kembali mengucapkan syukur alhamdulillah. Perjuangan panjang mengusulkan para pendiri bangsa agar dikukuhkan menjadi Pahlawan Nasional, akhirnya berbuah juga.
Lepas dzuhur, saya telepon putri Mr Kasman, Prof Dewi Nurul Mustaqimah, untuk mengucapkan selamat. Saya telepon juga Rektor Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Purworejo, Supriyono, untuk keperluan yang sama. Ini karena untuk Mr Kasman, pengusulannya sebagai pahlawan nasuonal dimulai dari Unmuh Purworejo.
Setelah menerima kabar dari dr. Samhari, seketika saya teringat Almarhum AM Fatwa.
Sejak 2008 saya mulai terlibat dalam kepanitiaan pengusulan gelar pahlawan nasional. Pada tahun itu, dipimpin Prof. Laode M. Kamaluddin, kami mengusulkan pencetus Mosi Integral, M. Natsir (1908-1993) menjadi Pahlawan Nasional.
Serangkaian diskusi di berbagai kota, digelar. Sejumlah buku diterbitkan. Film testimoni dibuat di bawah arahan sutradara kondang Chairul Umam.
Alhamdulillah, ikhtiar panitia berhasil. Tokoh yang pertama kali menjadi Perdana Menteri Negara Kesatuan itu dikukuhkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Pahlawan Nasional.
Pada tahun 2011, dipimpin AM Fatwa, kami mengusulkan mantan Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), Mr Sjafrudfin Prawiranegara (1911-1989) menjadi Pahlawan Nasional.
Alhamdulillah, ikhtiar ini juga berhasil. Tahun itu juga Sjafruddin dikukuhkan menjadi Pahlawan Nasional.
Barangkali karena melihat kerja keras Fatwa yang seolah tidak mengenal lelah, pada 2012 Pimpinan Pusat Muhammadiyah menunjuk Fatwa menjadi Ketua Panitia Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional untuk Ki Bagus Hadikusumo, Mr Kasman Singodimedjo, dan KH Abdul Kahar Mudzakkir.
Dengan gayanya yang khas, Fatwa segera membagi tugas. Persyaratan administratif untuk Ki Bagus dipercayakan penanganannya kepada Universitas Prof Dr Hamka (UHAMKA), Jakarta; untuk Mr Kasman Singodimedjo dipercayakan kepada Unmuh Purworejo; dan untuk K.H.A. Kahar Mudzakkir dipercayakan kepada Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Kahar Mudzakkir adalah rektor pertama UII.
Saya diminta menyiapkan berbagai seminar, dan mengumpulkan makalah-makalahnya menjadi buku. Diskusi digelar di UHAMKA, di Unissula, Semarang, di Unmuh Puworejo, dan di UII Yogyakarta. Sejumlah cendekiawan mulai Taufik Abdullah, Ahmad Syafii Maarif, Mahfud MD, Eddy S. Hamid, Laode M. Kamaluddin, Anhar Gonggong, Hamdan Zulva, Jawahir Thontowi, hingga Yudi Latif; mendukung kegiatan tersebut.
Sebagai Ketua Panitia, AM Fatwa memimpin langsung delegasi menemui kepala daerah yang salah seorang putra terbaiknya diusulkan menjadi Pahlawan Nasional. Demikianlah, kami datang menemui Bupati Purworejo, Gubernur Jawa Tengah, dan Gubernur Yogyakarta meminta kesediaan para pejabat itu mengusulkan putra daerahnya menjadi pahlawan.
Kasman Singodimedjo
Alhamdulillah, kerja keras Panitia membuahkan hasil. Pada 2015, Presiden Joko Widodo mengukuhkan Ki Bagus Hadikusumo menjadi Pahlawan Nasional.
Melanjutkan Perjuangan Yayasan NabiL
Pada 2011, Yayasan Nation Building (Nabil) yang dipimpin Drs Edi Lembong, mengusulkan mantan Menteri Muda Penerangan dan Anggota Delegasi Diplomatik RI ke Timur Tengah, Abdul Rahman Baswedan menjadi Pahlawan Nasional.
Nabil berpendapat, Baswedan layak dikukuhkan menjadi Pahlawan Nasional karena langkah-langkah nasionalistik dan patriotiknya sejak usia muda.
Ketika orang masih ragu mendukung nasionalisme Indonesia, Baswedan tanpa ragu menjadi Indonesia. Meskipun dalam sistem hukum kolonial Belanda, Baswedan dan orang-orang keturunan Arab bersama golongan Timur Asing berada di peringkat kedua; Baswedan justru memilih menurunkan derajatnya di peringkat ketiga bersama golongan pribumi.
Untuk mempromosikan Baswedan, Nabil mengadakan serangkaian seminar tentang Baswedan, antara lain di Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta. Sebuah buku, juga diterbitkan.
Semua ikhtiar Nabil, berbuah positif. Baswedan memenuhi semua syarat untuk menjadi Pahlawan Nasional. Instansi terakhir dalam urusan ini, Dewan Gelar dan Tanda Jasa, sudah mufakat. Akan tetapi pengukuhan Baswedan tertunda lantaran pada tahun terakhir masa pemerintahannya, Presiden SBY hanya mengukuhkan kepahlawanan Bung Karno dan Bung Hatta.
Di tengah berbagai kesibukannya sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah, suatu hari AM Fatwa menyampaikan rencananya untuk melanjutkan perjuangan Yayasan Nabil mengusulkan Baswedan.
Segera sesudah memperoleh persetujuan dari Yayasan Nabil, AM Fatwa membuka komunikasi dengan Kementerian Sosial mengenai kelanjutan pengusulan A.R. Baswedan. Dan begitu Kementerian Sosial memberi lampu hijau, Panitia segera bergerak membuat seminar, menerbitkan buku saku, dan mengumpulkan kembali berbagai bahan.
Rupanya ikhtiar mengusulkan Mr Kasman Singodimedjo, KH A Kahar Moedzakkir, dan AR Baswedan, sungguh-sungguh menjadi kepedulian utama AM Fatwa. Pada akhir Agustus 2017, dalam pesan WA kepada saya, Fatwa menyampaikan beban pikirannya itu. Dia ingin segera melihat hasil perjuangannya, karena: "Saya merasa sebentar lagi mau meninggal dunia."
Tidak Sewenang-wenang
Menurut konstitusi, pemberian gelar dan tanda jasa adalah hak prerogatif presiden. Akan tetapi, berbeda dengan di masa lalu ketika presiden menggunakan hak prerogatif "sekehendak hatinya", sejak berlakunya Undang-undang No. 20/2009, hak prerogatif itu diatur penggunaannya.
Dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, semua orang, lembaga, atau organisasi, boleh mengusulkan seseorang menjadi pahlawan nasional.
Usul diajukan melalui pemerintah Kabupaten/Kota, Provinsi, terus ke Pusat, dalam hal ini Kementerian Sosial.
Di Kementerian Sosial terdapat sebuah Team Independen yang akan menilai seluruh calon yang telah memenuhi syarat administratif. Jika lolos di Team Independen, calon diajukan kepada presiden melalui Dewan Gelar dan Tanda Jasa. Di sinilah, hak prerogatif presiden digunakan.
Maka, di zaman kiwari, pengukuhan seseorang menjadi pahlawan nasional adalah pertemuan antara aspirasi masyarakat dengan hak prerogatif presiden.
Terhadap pengukuhan para putra terbaik bangsa menjadi pahlawan nasional, kita tentu harus berterima kasih kepada Presiden Jokowi yang telah menjatuhkan hak prerogatifnya kepada tokoh-tokoh yang diusulkan.
Namun yang tidak kurang pentingnya, kita wajib memberi penghargaan kepada seluruh lapisan masyarakat yang telah menyampaikan aspirasinya.
Klausul Khusus untuk Pendiri Republik
Sesudah melihat pelaksanaan Undang-undang di lapangan, AM Fatwa berpendapat mestinya ada klausul khusus untuk para pendiri negara, yakni para anggota BPUPKI dan PPKI. Para pendiri Republik itu, kecuali mereka yang berpindah kewarganegaraan, seharusnya secara otomatis dikukuhkan sebagai pahlawan nasional.
Ini jelas terasa lucu sekaligus ironis, jika para pendiri Republik itu harus diteliti oleh generasi yang datang kemudian. Seolah-olah generasi penikmat kemerdekaan lebih hebat dari para pendiri Republik.
Menyedihkan mendengar pengusulan KH Ahmad Sanusi menjadi pahlawan nasional ditolak. Padahal tanpa interupsi Ajengan yang produktif menulis kitab itu, sidang BPUPKI terancam macet tanpa menghasilkan apa-apa. Di berbagai kesempatan, Fatwa mengusulkan agar Undang-undang No 20/2009 diamandemen.
Last but not least, tentu saja kita harus mengapresiasi panitia yang telah mengelola aspirasi masyarakat dengan baik dan mempertemukannya dengan hak prerogatif presiden.
Terakhir, dalam rangka pengusulan Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimedjo, dan K.H.A. Kahar Mudzakkir; hanya A.M. Fatwa yang bisa mengumpulkan pimpinan MPR, DPR, dan DPD untuk menandatangani surat pengusulan kepada presiden.
Sesudah enam tahun, kerja keras Panitia akhirnya membuahkan hasil. Alhamdulillah.[]