Selasa 05 Feb 2019 05:01 WIB

Anarkhi, Machiavelli, dan Takdir Pilpres Langsung

Demokrasi malah membuka pintu, acapkali sangat lebar terhadap anarkisme.

Pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Kamis.
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Kamis.

Oleh: DR Margarito Kamis, Pakar Hukum Tata Negara dan Staf Pengajar FH Univ Khairun Ternate

Persis seperti hari-hari yang sama pada kampanye pemilihan presiden yang sudah-sudah, hari-hari ini memang tidak buruk. Tetapi hari-hari di musim kampanye kali ini tidak bisa dibilang baik, apalagi sangat baik. Kabar bohong, fitnah, caci maki, tudingan merendahkan datang silih berganti. Kesantunan bukan tak ada, tetapi tampak menjadi begitu langka.

Pengelompokan haluan politikpun menjadi soal. Pada tingkat tertentu, pengelompokan ini memukul hampir semua lini kehidupan sosial budaya, bahkan hukum. Hukum menjadi begitu keropos. Nilai-nilai budaya yang mengajarkan kebijaksanaan kini terasa kehilangan relefansinya. Kebebasan berbicara terasa tak lagi diasosiasikan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ekeluargaan, basis  kebudayaan gotong royong yang hebat itu. 

Sedari Dulu Begitu

Sayangnya hal-hal buruk itu, dalam kenyataannya, terlihat  tak memiliki daya goda untuk mempertanyakan keandalan pilpres langsung. Malah pilpres langsung teridentifikasi sebagai hal mengagumkan. Pilpres langsung diidentifikasi sebagai kemajuan demokrasi negara ini, melampaui negara lain dikawasan ini.  Padahal sejarah mencatat kebenarannya sendiri, sedari awal pemilu langsung mengandung cacat parah.

Sistem ini memang dirancang untuk menggantikan sistem penunjukan atau pengangkatan atas pemenang perang menjadi kaisar. Tetapi sedari awal praktiknya, sistem ini memperihatkan cacat bawaan, untuk tak mengatakan bahwa sistem ini tertakdir dengan keburukan yang tak bisa disepelekan. Keburukan itu terlihat begitu telanjang pada waktu pemilihan konsul, yang Cicero, ahli hukum paling termashur itu, masuk dan menjadi salah satu pesertanya.

Perhatikan kata Cicero berikut ini: “kesalahan paling fatal yang dapat dilakukan negarawan manapun adalah membiarkan sesama warga, meski hanya sedikit, curiga bahwa dia mendahulukan kepentingan asing daripada kepentingan bangsanya sendiri.” Itulah dusta yang disebarkan musuh-musuh tentang diriku setelah aku mewakili bangsa Sisilia dalam kasus Verres. Itulah fitnah yang dapat dihubungkan dengan aku jika aku membela Foteius sekarang.”   

Dua kali dalam pemungutan suara harus dihentikan setengah jalan karena terjadi perkelahian di padang Martius. Cicero curiga terhadap Crasus, pesaingnya dalam pemilihan itu, menyewa preman untuk mengacaukan pemungutan suara. Memang kecurigaan ini tidak terbukti. Tetapi menarik merenungi satu pernyataan Cicero terhadap Anthonius, pesaingnya dalam pemilihan  praetor, jabatan yang berbeda dengan konsul. Anthonius tidak hanya dijuluki Si Hibrida, tetapi Cicero juga menyebutnya si pemabuk yang memperistri budak perempuan.

Cicero melanjutkan, dalam sosok Hybrida terdapat praetor yang ambisinya tak perlu dicemaskan. Kau tahu, kata Cicero kenapa dia dijuluki Hybrida? Karena dia setengah manusia, setengah otak udang. Menurutku pribadinya tidak sampai setengah manusia. Pada lain kesempatan dalam musim pemilihan konsul, Cicero menemukan kenyataan agen-agen suap telah disebar  ke berbagai tempat.

Karena ribuan suara terlibat dalam pemilihan ini, maka diperlukan  operasi besar. Dirancanglah strategi sistimatis. Agen – interpretes – yang mengetahui identitas pembeli melakukan tawar-menawar awal – harga sekian untuk lima puluh suara. Karena tidak ada orang yang mempercayai orang lain, uang diserahkan kepada agen jenis kedua “sequesters.” Orang ini memegang uang untuk selanjutnya diperiksa.

Ketika pemilu selesai dan tiba waktunya membereskan urusan, kriminal spesis ketiga “divisors” membagi-bagikan uang itu. Kata Robert Haris penulis Buku Imperium yang menceritakan sejarah hitam pemilihan demokratis di republik Romawi ini, menyatakan praktik ini sangat menyulitkan keberhasilan penuntutan. Sebabnya sederhana, andaipun ada yang ditangkap basah memberikan uang suap, dia mungkin benar-benar tidak tahu siapa yang melakukan korupsi itu sejak awal.  

Demokrasi khas republik Romawi inilah yang senang atau tidak, ditransformasi menjadi sistem yang cukup sering dinilai dan diyakini sebagai cara terbaik, yang tak tersaingi. Dan Inggris berada digaris terdepan, lebih cepat 43 tahun dari Amerika. Negara ini baru mulai mempraktikannya pada tahun 1776. Persis seperti Inggris, untuk pertama kalinya Amerika mempraktikan sistem ini untuk mengisi jabatan parlemen.

Dalam kasus Romawi, pemilihan langsung itu sejatinya menandai naiknya peradaban baru, republik, menggantikan absolutisme. Cara ini, pada level tertentu, dinilai sebagai kongkritisasi ide, yang saat ini disebut shek and balances. Dalam bentuknya sebagai organ konsul dipilih oleh rakyat, anggota senatum dipilih oleh rakyat, juga prateor  dipilih oleh rakyat.

Menurut Machiavelli Lycurgus adalah figur pertama yang mengorganisasikan hukum-hukum di Sparta. Sistem ciptaannya  menempatkan raja, aristocrat dan masyarakat dalam peran yang saling terkait. Ini yang memungkinkan, negara ciptaannya dapat bertahan lebih dari delapan ratus tahun.

Cara berpikir inilah yang mengilhami James Madison, merancang sistem cheks and balances dalam sistem pemerintahan demokratis Amerika Serikat. Mirip dengan organisasi kekuasaan republik Romawi, James juga menciptakan Presiden, Kongres dan Mahkamah Agung, dengan fungsi yang satu dan lainnya saling terkait, terhubung secara tumpang tindih, untuk apa yang saat ini, sekali lagi, disebut cheks and balances. 

   

Tak Memerintah

Republik Romawi, dalam kasus di atas menempatkan rakyat ditempat utama kehidupan bernegara. Rakyatlah yang menentukan siapa yang dipercaya memerintah mereka. Praktik khas republik Romawi inilah yang diambil dan dijadikan prinsip negara oleh penyusun konstitusi Amerika merancang system pemerintahan baru untuk tingkat nasional.” Hebat, karena mengetahui keburukan bawaannya, peserta constitustional convention harus berkreasi menemukan cara baru yang dianggap tepat.

Untuk tujuan itu, para peserta constitutional convention  menyorodorkan model pemilihan dua tahap, popular dan electoral untuk presiden. Ini yang disepakati dan dipraktikan hingga saat ini. Nyatanya cara ini hanya terbukti sebagian. Indah hanya dalam ruang perdebatan. Faktanya lain.

Caci maki datang begitu awal menghiasi pemilihan presiden. Caci maki itu diidentifikasi Deniese A Spielberg, sifatnya sangat kasar. Ini terjadi dalam pemilihan presiden yang keempat. Pemilihan ini menempatkan John Adam dan Thomas Jefferson sebagai dua kandidat berkelas. Caci maki dilakukan oleh pendukung John Adam, capres berhaluan republik, terhadap Thomas Jefferson, cepres berhaluan federalis pada pemilihan presiden Amerika yang keempat kalinya pada tahun 1801. Kasar, seronok dan tak ada kata santun. Kasar dan seronok, karena menyerang keyakinan agama Jefferson.

Maka, Jefferson dituduh kafir, dan tuduhan busuk lainnya. Berabad-abad kemudian, hal busuk ini nyatanya  muncul dengan sudut tembak yang berbeda pada kampanye pemilihan presiden terakhir. Peluru-peluru personal ditembakan secara bergantian oleh Hillary Clinton dan Donald Trump, dalam nada dan gaya yang  tak bisa dikatakan tak kasar dan tak seronok.

Identitas ras, etnis dan keyakinan agama, dalam batas yang tak bisa dikatakan masuk makal, ditembakan dipanggung kampanye. Lalu Amerika menempatkan Donald Trump, pria yang selalu dapat mengenali setiap peluang kecil yang tersedia, mengambil dan mengubahnya menjadi keuntungan, sebagai pemenang. Pria inilah yang kini menggelorakan nasionalisme ekonomi melebihi Richard Nixon, pendahulunya, dan setara dengan William McKinley, pendahulu jauhnya yang berhaluan republik ini.

Lalu apa bedanya dengan pilpres kali ini? Tidak ada. Seperti semua politik pilpres, politik pilpres saat ini tetap saja menjadi politik paling bersayap, penuh siasat, persis seperti sejarah politik yang ditulis pemenang. Tidak terlihat, sekalipun samar-samar, garis pemisah yang membedakan  dunia klasik dan modern.

Begitulah takdirnya, jutaan pemilih selalu begitu, menemukan kenyataan menjadi bagian paling awal yang dipanggil menjadi rombongan capres-cawapres. Tetapi seperti biasanya jutaan pemilih ini, pada saatnya akan menjadi manusia paling akhir dalam rantai distribusi sumberdaya politik dan ekonomi.

Seperti nasib pemilih di republik Romawi, segera sesudah semua urusan pemilihan dibereskan, kalkulus kekuasaan dan matematika politik berbicara pada kesempatan pertama. Selalu begitu, berulang dan berulang. Pemilu, karena itu beralasan untuk disebut pestanya orang berduit, bangsawan khas republik Romawi.

Detail pemerintahan, karena kekhasannya memunculkan cara penanganan yang khas, tidak memungkinkan pemilih mengetahuinya, apalagi terlibat di dalamnya. Pemilih tidak memerintah. Yang memerintah adalah sekelompok kecil orang.

Sayang sekali demokrasi tak menyediakan jalan indah untuk keluar dari takdir khasnya itu. Sama sekali tidak. Demokrasi malah membuka pintu, acapkali sangat lebar terhadap anarkisme, membiarkannya masuk dan menari bersama di dalamnya. Hebatnya demokrasi menemukan kata dinamika untuk membenarkan semua kekacauan khasnya itu. Keburukan-keburukan itupun segera berlalu, dilupakan bersama berlalunya pemilu.

Satu hal; karena semua pemilih memiliki hak bermimpi, maka masuk dan gapailah mimpi itu. Tetapi tak usah ikut-ikutan memukul lawan secara personal dengan hinaan, dengan cara-cara culas, dan siasat khas bandit. Tidak usah juga menyerang sana-sini. Nafas memiliki jejak. Nafas dipertanggungjawabkan kelak dikemudian hari.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement