REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sunarsip
Dalam enam bulan terakhir, saya berkesempatan mengunjungi Cina sebanyak dua kali. Kedua perjalanan saya tersebut dalam rangka pekerjaan. Salah satu kesulitan utama ketika berada di Cina adalah masalah komunikasi. Ini mengingat sulit sekali saya menemui orang Cina yang bisa berbahasa Inggris, sekalipun mereka itu petugas pelayanan pemerintah.
Sudah menjadi kebiasaan, ketika berada di suatu negara, tempat yang wajib saya kunjungi adalah toko bukunya. Tujuannya, mencari buku-buku yang ditulis ilmuwan lokal tentang ekonomi negara tersebut. Maka, saya pun pergi ke salah satu toko buku terbesar di Shanghai. Toko buku yang saya kunjungi ini memiliki tujuh lantai dan seluruh lantai memajang berbagai jenis buku.
Sayangnya, saya tidak menemukan satu buku pun yang saya cari. Kok bisa? Karena, buku-buku yang dijual seluruhnya berbahasa Cina, tidak ada yang berbahasa Inggris. Yang menarik bagi saya, buku-buku yang ditulis oleh para ilmuwan besar dari berbagai penjuru dunia ada di toko buku tersebut, tetapi telah diterjemahkan ke dalam bahasa Cina.
Berangkat dari pengalaman di toko buku ini saya lantas berpikir: mungkin ini merupakan bagian dari strategi Cina untuk mempercepat kompetensi warganya. Melalui percepatan kompetensi penduduknya, kinerja dan produktivitasnya pun meningkat.
Peningkatan kinerja dan produkvitas inilah yang kemudian mendorong terjadinya percepatan perekonomian Cina, sejajar dengan negara-negara besar lainnya, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman.
Strategi yang saya maksud adalah “mengimpor” ilmu pengetahuan dengan cara menerjemahkan buku-buku yang ditulis oleh para ilmuwan besar dari berbagai negara ke bahasa Cina. Melalui strategi ini, transfer pengetahuan menjadi lebih cepat, sekaligus mempercepat inovasi berbagai bidang. Keterbatasan kemampuan dalam berbahasa Inggris tidak menjadi hambatan untuk menyejajarkan diri di bidang kompetensi dan keahlian.
Kinerja ekonomi Cina memang mencengangkan dalam tiga dekade terakhir. Di era 1980-1990-an, pendapatan perkapita (dalam purchasing power parity/PPP atau keseimbangan kemampuan berbelanja) Cina masih jauh tertinggal dibanding Indonesia. Namun, sejak 2008, pendapatan perkapita (dalam PPP) Cina sudah melebih Indonesia.
Berdasarkan data Bank Dunia, kini pendapatan perkapita (dalam PPP) Cina sekitar 16 ribu dolar AS, sedangkan Indonesia sekitar 12 ribu dolar AS.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan tingginya kenaikan pendapatan perkapita Cina adalah tingginya pertumbuhan ekonomi yang rata-rata sekitar 10 persen per tahun.
Banyak orang berpendapat wajar bila ekonomi Cina tumbuh sangat cepat. Sistem politiknya memang mendukung karena kekuasaan di Cina bertumpu pada sentralisme politik. Melalui sentralisme ini, kebijakan pemerintah menjadi lebih efektif karena kontrol dari oposisi praktis tidak ada. Namun, jangan lupa, ada juga negara yang menerapkan sentralisme politik ternyata tidak berhasil dalam ekonominya. Salah satunya, Korea Utara.
Jumlah penduduk yang besar memang menjadi salah satu faktor utama yang menjadikan Cina sebagai salah satu kekuatan ekonomi terbesar. Jumlah penduduk yang besar menjadi penggerak permintaan (demand) sekaligus penyedia (supplier) di dalam negeri. Namun demikian, ekonomi Cina juga tidak semata bergantung pada kekuatan domestiknya.
Banyak pabrikan di Cina ternyata orientasinya ekspor. Ekspornya pun umumnya berupa produk berteknologi tinggi, seperti otomotif, pembangkit listrik, komputer, dan elektronik yang kualitasnya setara dengan produk dari negara maju.
Berdasarkan fakta di atas, saya ingin mengatakan bahwa capaian ekonomi Cina saat ini bukanlah semata disebabkan oleh faktor-faktor yang sudah ada (given factors). Pencapaian ekonomi Cina saat ini adalah hasil dari kebijakan yang direkayasa (by design) melalui sebuah strategi yang terutama bertumpu pada percepatan kompetensi, produktivitas, dan inovasi.
Studi McKinsey (2014) memperlihatkan, transformasi ekonomi Cina jauh lebih cepat hasilnya dibandingkan sejarah tranformasi ekonomi sebelumnya. Ketika revolusi industri pertama (1700-1855), Inggris membutuhkan waktu 155 tahun untuk menjadikan pendapatan perkapitanya naik dua kali lipat.