Senin 25 Mar 2019 09:02 WIB

Re-skilling

Re-skilling center akan menjadi jauh lebih populer dari perguruan tinggi (PT).

Iman Sugema
Foto: Republika/Da'an Yahya
Iman Sugema

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Iman Sugema

Lima tahun yang akan datang barangkali re-skilling merupakan salah satu kata yang paling sering kita dengar. Setiap orang yang kehilangan pekerjaan akan mencari pusat-pusat pelatihan yang menawarkan keterampilan baru yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.

Begitu pun bagi para pencari kerja baru yang merasa waktu tunggu bekerjanya terlalu lama karena pendidikan yang ditempuhnya tidak lagi sesuai dengan zaman. Re-skilling center atau pusat pelatihan kembali akan menjadi jauh lebih populer dari pendidikan umum atau perguruan tinggi. Mengapa?

Sudah banyak yang meramalkan akan adanya gelombang disrupsi di dunia kerja maupun dunia pendidikan. Beberapa bidang pekerjaan akan mendadak hilang atau makin sedikit seperti bagian ticketing, pramusaji, teller di bank, tukang sol, tukang las, sopir taksi, kondektur dan sopir bus, pembantu rumah tangga, dan lain sebagainya. Sebagian hilang karena digantikan oleh mesin yang beroperasi secara digital.

Bahkan guru, dosen, dan sekretaris akan semakin menyusut. Pendidikan tinggi tidak lagi diminati karena menjadi kurang relevan. Dosen hanya dibutuhkan untuk mencetak dosen, ilmuwan, dan para peneliti.

Keahlian yang tinggi tidak hanya bisa diperoleh dari ruang kelas, tetapi bisa juga didapatkan secara virtual di dunia maya. Hampir segala sesuatu bisa Anda cari dengan bertanya kepada mbah Google.

Jika ruang kelas tidak memberi pengetahuan dan keahlian yang lebih baik dari mbah Google, hampir bisa dipastikan ruang kelas tersebut tidak lagi diminati.

Bukankah apa yang saya sampaikan di atas hampir setiap saat kita dengar dari para ahli? Jika para teller di bank terkena PHK massal, lantas mereka akan bekerja di mana? Jawabannya pasti adalah mereka akan pindah profesi.

Profesi apa? Segala jenis pekerjaan yang dibutuhkan oleh penyedia pekerjaan. Semudah itukah? Yang pasti mereka akan memerlukan keahlian baru dan di situlah rumitnya.

Coba kita bayangkan kalau ada jutaan orang yang ingin beralih profesi entah karena PHK atau karena merasa bidang keahliannya tidak lagi dibutuhkan oleh pasar. Mereka akan bingung tentang tiga hal.

Pertama, mereka akan bertanya-tanya tentang bidang keahlian apa yang sesuai dengan minat dan bakat mereka sendiri sekaligus dibutuhkan pasar kerja. Kedua, mereka akan mencari-cari tempat untuk mendapatkan keahlian baru tersebut. Ketiga, berapa lama mereka harus menempuh pelatihan dan berapa korbanan finasialnya selama pelatihan.

Untuk menjawab masalah pertama dan kedua, pastinya pemerintah, BUMN, dan swasta harus menyediakan ribuan BLK baru serta melakukan revitalisasi sistem pendidikan. Ini yang harus menjadi fokus pembangunan lima tahun ke depan. Fokus pembanguan manusia adalah pada re-skilling. Itu pun bukan perkara mudah.

BLK harus dibangun secara tersebar dengan tenaga pelatih yang berstandar internasional. Mungkin ada baiknya untuk memperluas cakupan kerja SMK dan sekolah vokasi di berbagai perguruan tinggi.

Mereka tidak hanya mendidik dan melatih siswa atau mahasiswa, tetapi juga memberikan pelatihan secara modular. Pendidikan vokasi sekarang ini terlalu lama untuk ditempuh bagi yang ingin mendapatkan keahlian baru. Kita harus bisa melakukan re-skilling dengan waktu tidak lebih dari tiga bulan saja.

Revitalisasi juga harus dilakukan di perguruan tinggi dan SMA di mana lulusan harus memiliki tingkat fleksibilitas keahlian. Mereka harus dengan mudah mampu menyesuaikan diri dengan perubahan dunia kerja.

Itu artinya selain core competence, mereka harus dibekali dengan kemampuan komunikasi antarpersonal, kemampuan belajar secara mandiri, dan kemampuan untuk memanfaatkan akses informasi.

Untuk masalah yang ketiga, tentunya pemerintah harus hadir dalam meringankan biaya pada masa reskilling. Tidak hanya menggratiskan pelatihan, tetapi juga memberikan living cost selama beberapa bulan.

Jangan sampai karena beban hidup yang berat, mereka tidak bisa menempuh pelatihan baru. Padahal, kunci dalam mencari pekerjaan adalah keahlian yang sesuai dengan permintaan pasar kerja. Tentu hal ini akan menjadi beban baru bagi pemerintah.

Namun, dengan disrupsi yang semakin sering terjadi, laju pertumbuhan ekonomi hanya bisa ditopang dengan tenaga kerja yang sangat fleksibel. Ketika sebuah bidang usaha mengalami disrupsi, para pekerja harus siap beralih ke bidang baru. Fleksibilitas tenaga kerja menjadi kunci bagi pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun mendatang. Sound familiar?

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement