Mungkin saya orang iseng. Sedemikian iseng, sampai saya ingin tahu asal nama tempat saya dibesarkan, yaitu Cengkareng.
Keisengan itu bukan hanya saat ini, tapi sejak kecil. Dulu saya bertanya-tanya mengapa tempat saya disebut Cengkareng, bagaimana asalnya, dan apa arti kata itu. Nggak ada yang tahu. orang-orang tua di kampung saya, Rawa Bengkel, juga nggak tahu.
Sekarang saya iseng lagi, untuk mencari asa-usul nama Cengkareng, dan artinya. Mulailah, memanfaatkan teknologi, saya mencari asal usul nama Cengkareng.
Peta tanah Ommelanden, yang dikoleksi De Haan, menyebut satu nama persil, yaitu Tjankaar. Dalam keterangan disebutkan peta itu dibuat 1790. Lengkapnya; Land Tjankaar(ang) en Benting Allang Allang, toebehoorende den We Edele Gestren Heer Davied Johan S(mith) enz. Van omstreeks 1790, netjes geteekend doch verkleurd Greving. Van Toffen (sic) Qual. Canal van Soenje Kamal (uit de Mookervaart noordwaarts).
Tanah di sisi kiri Kanal Mookervaart, jika kita berjalan dari Tangerang ke Jakarta, mulai menjadi incaran para tuan VOC dan pemukim Tionghoa kaya setelah pembangunan kanal tahap pertama selesai dibangun 1689 -- atau di masa kekuasaan Gubernur Jendera VOC Joannes Camphuys. Penggagas pembangunan Kanal Mookervaart adalah Gubernur Jenderal VOC Joan Maetsuycker. Ia memerintahkan penggalian tahun 1678, beberapa bulan sebelum mengakhiri tugas dan kembali ke Belanda.
Tjankaar adalah kata dalam Bahasa Belanda yang artinya terkekeh. Entah bagaimana ada tambahan 'ang' di belakang kata Tjangkaar. Jika sebelumnya 'ang' berada dalam tanda kurung, pada peta De Haan berikut melebur menjadi Tjangkaarang.
Tanah dimiliki David Johan Smith, putra Agatha G Smith-Coomans --adik istri Gubernur Jendera VOC Petrus Albertus van der Parra. Tahun 1760, Johan Smith meminta arsitek Michiel Romp membangun landhuis, rumah peristirahatan di desa. Tiga tahun kemudian, menurut The Social World of Batavia: European and Eurasian in Dutch Asia, Johan Smith menikahi Hester Petronella Romp -- putri kesayangan Michiel Romp.
Landhuis Tjengkareng, demikian Collectie Tropenmuseum menyebutnya, adalah satu dari belasan peninggalan kolonial yang tergerus kerakusan bisnis properti. Kehilangan yang disesali banyak sejarawan dan pencinta arsitektur ini disebabkan landhuis Tjengkareng -- menurut buku In en Om Batavia yang diterbitkan tahun 1938-- bergaya rumah bangsawan Prancis era Louis XV.
Rumah bergaya sama, saat ini juga telah hilang, dibangun di Molenvliet West -- kini Jl Gatot Subroto -- No 111. Empat tahun sebelum Jepang datang, Landhuis Tjengkareng masih berdiri gagah tapi pemiliknya bernama Lie Kian Tek -- warga keturunan Tionghoa yang berjualan roti di sisi Kali Mookervaart.
Tidak ada penjelasan, termasuk dalam peta De Haan, mengapa tanah milik David Johan Smith disebut Tjankaar, yang kemudian menjadi Tjankareng dan Tjengkareng. Jean Gelman Taylor, penulis The Social World of Batavia: European and Eurasian in Dutch Asia, tidak menyebut apakah Tjankaar berkaitan dengan perilaku pesta penuh tawa sang tuan tanah.
Yang pasti saat masih bernama Tjankaareng, Cengkareng adalah wilayah kosong. Sepanjang mata memandang, Tjengkareng adalah rawa dan sawah tadah hujan, dengan hanya sedikit permukiman di dalamnya. Jejak rawa di Cengkareng masih tertera pada sejumlah nama, tiga di antaranya Rawa Bengkel, Rawa Kramat, dan Rawa Bebek.