Selasa 04 Jun 2019 15:16 WIB

Cermin Masyarakat Kita dalam Pembagian Zakat Fitrah

Pembagian zakat fitrah seringkali berujung maut, alih-alih berkah malah jadi musibah

Amil (petugas zakat) melayani warga saat pengumpulan beras zakat fitrah. (ilustrasi)
Foto: Antara/Anis Efizudin
Amil (petugas zakat) melayani warga saat pengumpulan beras zakat fitrah. (ilustrasi)

Pembagian zakat fitrah seringkali berujung maut. Berita itulah yang berulang-ulang disampaikan setiap tahunnya, seolah dengan adanya pendistribusian zakat fitrah tahunan itu, alih-alih berkah yang muncul adalah musibah.

Pada 2017, di Makassar, Sulawesi Selatan, contohnya. Pembagian zakat fitrah yang dilakukan oleh seorang pengusaha kaya kepada masyarakat “miskin” di sana, terjadi kerusuhan. Warga yang berjubel mengantre itu menerobos palang, kendati telah dijaga panitia akibat ketidaksabaran mereka. Walau juga dijaga aparat kepolisian, ratusan warga tersebut tetap melakukan anarkisme. Demi uang pecahan Rp 20 hingga Rp 50 ribu, masyarakat rela meregang nyawa.

Pada 2018, pembagian sembako sempat dilakukan Forum Untukmu Indonesia (FUI) di Monumen Nasional (Monas) yang menewaskan dua anak. Pada 2013, antrean daging di Masjid Istiqlal yang membuatnya harus mengantre membuat seorang kakek berusia 74 tahun meninggal dunia. Akibat menukarkan kupon, darah tingginya makin parah; ia meninggal dunia dan akhirnya tidak bisa mencicipi gulai bersama keluarga.

Antre pembagian zakat paling banyak memakan korban terjadi pada 2008 silam di Pasuruan, Jawa Timur. Sejak pagi, warga sudah mengantre zakat yang akan diberikan pengusaha sarung itu. Mereka berebut masuk untuk mendapatkan zakat sebesar 2,5 kg beras yang dikonversikan menjadi Rp 30 ribu. Tercatat, sebanyak 21 orang meninggal, dan tak sedikit warga yang semaput tak sadarkan diri.

Kasus di atas hanyalah sampel seperti tumpukan es yang terlihat di permukaan air; mungkin saja banyak yang tidak terekam oleh jejak bernama berita. Dari kasus di atas, kendati tidak semuanya berupa pembagian zakat fitrah, namun memiliki pola yang sama: permintaan untuk mengantri kepada rakyat jelata.

Masalah pembagian zakat, infak, dan/atau sedekah yang sifatnya karitatif ini memang amat kompleks. Sistem antre yang seperti itu tidak akan efektif karena masyarakat kita hari ini belum semuanya mengenyam bangku pendidikan, terutama generasi Baby Boomers kelahiran 1946-1960 dan Generasi X yang lahir pada 1961-1980. Dengan kata lain, masyarakat menengah ke bawah kita banyak yang belum teredukasi mengingat akses pendidikan yang tidak semudah sekarang. Dampaknya, nilai mengenai budaya antri belum terinternalisasi dengan baik.

Kita berbeda dengan masyarakat Jepang yang sudah matang pemahaman mengenai budaya antri. Di kejadian tsunami pada September 2018 kemarin, kendati sebuah toko supermarket menggratiskan belanjaan untuk kebutuhan darurat, mereka tetap mengantre dengan tenang.

Selain itu, di dalam teori sosiologi juga terdapat prinsip kerumunan (crowd). Pada dasarnya, jika sudah terjadi kerumunan, maka orang yang tadinya memiliki nilai (value) menjadi nihil karena sudah tertutupi oleh perilaku kerumunan —sehingga aksi dorong-mendorong bisa saja bukan keinginan seseorang di dalam kerumunan. Tetapi karena semua orang melakukan aksi dorong dan menerobos antrian, maka orang lainnya akan cenderung melakukan hal yang sama.

Prinsip kerumunan ini hampir sama terjadi seperti kerusuhan tahun 1998 dan bencana di Palu pada 2018, yang menyebabkan melakukan penjarahan toko dan barang elektronik. Mereka melakukan itu bukan karena untuk memenuhi kebutuhan atau keterpaksaan, tetapi prinsip kerumunan yang sudah berjalan sehingga nilai (value) yang telah ada mengenai ‘jangan mencuri’ hilang begitu saja.

Masalah lainnya, dalam pembagian zakat tersebut juga hal yang paling sering digaungkan adalah ketidaktepatan dalam menyasar mustahik. Bagaimana membedakan apakah seseorang mustahik atau bukan dalam suatu antrean yang amat panjang? Terjadi kemungkinan bahwa seseorang yang bukan mustahik mengaku sebagai mustahik yang sering disebut sebagai istilah ‘mustahik akhir zaman’.

Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat kita yang seperti ini, karena itu adalah cerminan kita sendiri. Maka, sebagai amil, sangat perlu untuk menyiapkan sistem agar para muzakki tercerahkan mengapa harus berzakat pada tempatnya, yaitu di lembaga amil.

Berzakat di lembaga amil diperlukan karena untuk menghindari status sosial yang berlebihan di tengah masyarakat. Tak hanya itu, di sisi lain juga menjaga harga diri para mustahik yang memang berhak menerima zakat itu dengan mengantarkan langsung ke rumahnya, sehingga tidak perlu ada antre.

Tugas lembaga amil adalah membentengi sekaligus menjembatani keduanya. Islam sudah mengatur sedemikian rupa, bahwa amil adalah pihak yang sangat penting untuk mengedukasi kedua belah pihak, baik mustahik maupun muzakki.

Belakangan ini juga tengah terjadi pembesaran isu terhadap berbagai lembaga zakat di tengah kontestasi politik yang menyala di tahun ini. Bahkan, terjadi “persaingan” antarlembaga zakat yang semakin mengkisruhkan suasana. Hal itu seyogyanya dihentikan karena semua lembaga zakat perlu untuk saling bersinergi, dan menitikberatkan fokus untuk bersama-sama berkontribusi dalam mengedukasi masyarakat, karena zakat berasal dari umat dan kembali untuk umat.

Hal lain yang penting untuk diperhatikan dalam penyaluran zakat, zakat tidak hanya memerlukan ketepatsasaran, tetapi juga tepat guna. Karakteristik masyarakat miskin kota barangkali memiliki kebutuhan yang berbeda dengan masyarakat miskin desa. Seringkali masyarakat kota lebih membutuhkan uang daripada beras untuk mudik ke kampung halaman.

Maka, sebelum melakukan pendistribusian zakat fitrah, selain melakukan asesmen terhadap kelayakan mustahik, diperlukan juga asesmen kebutuhan yang dilakukan sebelum Ramadhan, baik terhadap lembaga maupun perorangan. Barangkali di tipe masyarakat miskin urban lebih membutuhkan biaya untuk mudik ketimbang kebutuhan pokok berupa beras. Upaya antisipatif sangat perlu dipikirkan agar kejadian yang tidak diinginkan tidak terulang kembali, serta penyaluran zakat fitrah menjadi lebih efektif dan tepat guna.

TENTANG PENULIS

EVELINE RAMADHINI. Mahasiswi Pascasarjana Sosiologi Universitas Indonesia dan Staf Penelitian dan Pengembangan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement