Kamis 15 Aug 2019 04:57 WIB

Isu Hitam Putih: Dari Ali, Sadam Hingga Kekhalifahan

Isu gorengan yang hitam putih soal kekhalifahan itu sangat berbahaya

Polisi di sebuah lokasi penembakan di dalam masjid pusat Islam al-Noor di Baerum di luar Oslo, Norwegia, 10 Agustus 2019.
Foto: EPA-EFE/Terje Pedersen
Polisi di sebuah lokasi penembakan di dalam masjid pusat Islam al-Noor di Baerum di luar Oslo, Norwegia, 10 Agustus 2019.

 Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Ketika laman BBC.com Selasa lalu (12/8) menulis berita tentang persidangan seorang pria kulit putih, Philips Manshaus,  yang menyerang Jamaah Masjdi Al-Noor di Baerum, Norwegia, entah kenapa batin ini sontak terkenang kecamuk holocoust kaum Yahudi di era ketika Jerman di bawah kaki kekuasaan Adolf Hitler.

Bayangkan, meski sudah lebih dari delapan dasa warsa dan sempat sedikit mereka setelah Jerman kalah perang, gerakan 'supremasi kulit putih' ini terus muncul kembali. Sampai sekarang bayangan itu pun masih lekat membayang. Kalau anda ketika jalan-jalan di Jerman dan tiba-tiba saja di hardik oleh lelaki kulit putih berambut plontos, maka pelaku bully itulah salah satu tanda-tandanya.

Malahan saking traumanya kepada kelompok gerakan 'supremasi putih' tersebut, pemerintah Jerman masa kini sampai harus melarang --bahkan mempidana-- siapa saja yang masih memunculkan atribut ala zaman Nazi. Bahkan, di Croatia dan negara-negara di semenanjung Balkan ada pula aturan yang sama. Dalam pertandingan sepakbola misalnya yel-yel dan nyanyian ala zaman Hitler itu dilarang secara keras. Siapa yang berani melakukannya, maka tanpa ampun lagi akan dimasukan ke penjara.

Di negara Amerika yang katanya 'empu' hak asasi manusia dan demokrasi, ideologi  gerakan supremasi putih juga diam-diam masih terasa.Belakangan sedikit memudar setelah warga non kulit hitam, Barack Obama, menjadi Presiden. Tapi setelah itu Amerika balik kembali dengan terkesan menjadi negara dengan pemerintah konservatif chauvinis dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden. Semboyannya dengan tagline 'Make Amerika Great Again' terasa ada kepongahan dengan semboyan ala supremasi kulit putih Hitler: Deutchland Uber Ales (Jerman Di atas Segalanya).

Tak cukup dengan itu, di Amerika sejak tahun 24 Desember 1865 sampai periode 1960-an, eksis sebuah gerakan  rasis ekstrem Amerika yang bernam Ku Klux Klan. Kelompok ini berkeyakinan bahwa ras kulit putih adalah ras yang terbaik.  Para anggota organisasi ini dengan nyata-nyata menyatakan berjuang memberantas kaum kulit hitam dan minoritas lain di AS seperti Yahudi, Asia, dan Katolik Roma.

Adanya sikap rasis dan munculnya gerakan seperti Klu Klux Klan, kala itu sempat membuat geram petinju legendaris Muhammad Ali. Hanya selang beberapa tahun seteleh satu-satunya Presiden Amerika yang beragama Katolik, Jhon F Kenedy, tewas ditembak -- setelah itu menyusul Malcolm X -- Ali kala itu ribut memprotes persepsi kebenaran yang terkesan tak adil yang itu selalu dilambangkan  warna hitam dan putih.

"Saya pernah bertanya soal ini kepada mama saya. Kenapa yang segala berbau putih selalu indah dan istimewa. Lihat aja malaikat selalu dilambangkan putih. Putri yang cantik selalu disebut berkulit putih layaknya salju. Bahkan gedung legendaris di Amerika di sebut 'white house' (gedung putih),'' tulas Ali.

Ali lalu membandingkan dengan nasib dirinya sebagai kaum di luar orang yang berkulit putih.''Saya pun kemudian bertanya ke mama, kenapa yang hitam didentikan dengan suatu hal yang buruk?"

Katanya, bahkan Tarzan yang hidup di Afrika dan berbicara dengan teman-temanya yang binatang itu ternyata bukan berkulit hitam, seperti orang Afrika. Tarzan selalu berkulit putih. Lihat saja juga, pemenang'Miss Amerika' dan dunia juga (saat itu,red) selalu di dominasi berkulit putih.

''Mengapa hitam selalu identik dengan buruk, black dog dan black cat selalu dipakai untuk menyebut kucing dan anjing yang nakal. Juga sebutan untuk surat kaleng, yakni black mail,'' seloroh Ali dalam sebuah acara wawancara di televisi dahulu itu.

Begitu mendengar celoteh gugatan Ali tersebut, si-pembawa acara dan para penonton acara televisi yang disiarkan secara langsung itu tertawa ngakak. Mereka terkesan dengan sikap terus terang Ali. Petinju legendaris dan kampium juara dunia kelas berat yang saat itu berada di puncak masa jayanya dengan terbuka menentang adanya ketidakadilan dunia.

Tak hanya itu, para penonton pun kembali tertawa ketika kemudian Ali menceritakan perasaannya betapa berat hidup di bawah rasisme saat menjadi juara dunia tinju kelas berat di Olimpiade di awal 1960-an. Pada upacara pengalungan medali emas Ali mengaku berdiri tegak untuk memberi hormat secata seksama ketika bendera serta lagu kebangsaan negaranya, yakni Amerika, dikerek dan diperdengarkan.

''Saya berdiri tegak dengan penuh kebanggaan,'' sahut Ali sembari menegakan diri dan menirukan lagu kebangsaan Amerika. 'Pam-pam-pam....pam..pam,,pam'' tukas Ali.

Namun ironisnya lanjut Ali, kebanggan diri itu mendadak sirna ketika pulang ke Amerika. Saat itu dengan uang yang memenuhi kantongnya serta status sebagai juara olimpiade, Ali dengan percaya diri masuk ke sebuah restoran ternama. Di situ dia segera duduk memanggil pelayanan untuk memesan makanan.

Dan tak disangka, pada saat itu pula dia mendapat perlakuan tak menyenangkan. Ali pun semakin kaget sekaligus geram ketika sang pelayan berkata ketus dan tak mau melayani pesanan makanannya. Alasannya karena restoran ini khusus untuk orang kulit putih alias bukan untuk kaum negro (negro sebutan orang kulit putih Amerika untuk mengolok para keturunan Afrika di Amerika, red(.

''Sorry tuan. Tempat ini khusus untuk orang kulit putih,'' kata pelayanan restoran. Ali sontak terdiam dan tak bisa berkata apa-apa. Dia kemudian sadar segala kebanggaan membela kebesaran negaranya ternyata semu belaka. Kaum seperti dirinya yang bukan pemilik 'kulit putih' adalah warga negara kelas dua meski telah begitu besar memberikan jasa bagi negara.

Nah, apa yang dirasakan Ali itu soal 'supremasi ras kulit putih' sampai hari-hari terakhir ini masih meletup-letup. Buktinya juga sangat gamblang terbaca, yakni pada forum pengadilan Manshaus di Oslo beberapa hari lalu itu. Bayangkan saja, di zaman moderen dan berasal dari negara yang mengaku berbudaya tinggi, ada seorang manusia yang tega menembaki sekolompok orang atas beda warna kulit, agama, ras, atau status warga negara.

Bila diurut lebih ke belakang lagi, sikap Manshaus yang kemarin menembaki jamaah masjid itu ternyata juga identik dengan sikap pendatang kulit putih yang dipimpin Columbus ketika pertama kali menginjakan kaki di benua Amerika. Saat itu, manakala rombongan 'pelaut putih' tersebut bertemu dengan orang Indian yang berbeda baik kulit dan kepercayaannya, mereka langsung saja menuduhnya sebagai orang-orang liar alias tak beradab. Ujung-ujungnya para pemilik kulit putih itu merasa berhak membunuh dan merampas tanah milik orang Indian (Sebutan Indian ini juga penamaan yang bernada pejoratif dari orang kulit putih kepada sekelompok masyarakat asli benua Amerika, red).

Nah, sikap supremasi kulit putih seperti itulah yang terus menular dan lestari sampai sekarang. Kasus terakhir berupa tindakan degil dari Manshaus itu sebagai buktinya. Kelakuan kejamnya ini pun ternyata bukan pertama. Sebab, apa yang dilakukan Manshaus diilhami oleh dua kejadian yang sama, yakni kasus penembakan massal yang dilakukan Andrebervik yang juga di Norwegia delapan tagun silam. Atau juga, kasus penembakan jamaah masjid pada sebuah masjid di Christcurch, Selandia Baru, yang baru terjadi beberapa bulan lalu.

Ternyata sikap chauvinistis (dalam hal ini supremasi ras atau negara) yang berlebihan mampu memicu tindakan radikalis dan sama saja dengan isu tindakan 'hitam' kaum  yang menyebut beragama. Keduanya sebangun dan seirama saja.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement