Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Pertanyaan Jawa yang mana yang dipilih, pantas kita ajukan kepada abangda Fachry Ali yang tengah di New York bersama Pak Jusuf Kalla dan ibu Susi Pujiastuti. Apalagi pada pekan lalu saya sempat baca ulasan sebuah diskusi yang menyoal soal kekuasaan Jawa di Teater Salihara, Pasar Minggu. Waktu itu dalam sebuah laporan abang Fachry percaya bahwa kekuasaan Jawa hari ini sudah berubah, bahkan open minded, terutama ketika memandang orang lain (liyan).
Tapi beda dengan abang Fachry, saya kok beda melihatnya. Jawa masih tetap Jawa. Ini tercermin dalam setiap kali ungkapan kepada orang lain (wong sabrang) di dalam pertunjukan wayang dengan dalang yang kini tengah naik daun, Ki Seno Nugroho, yang hampir saya saksikan setiap malam melalui 'streaming'. Ungkapan bahwa yang namanya negeri ideal (Pandawa) itu berada di Jawa tetap berhamburan. Juga misalnya soal negara persepsi negara hebat adalah negara yang terioteri luas dan punya banyak tanah jajahan.
Seperti gaya lakon pedalangan zaman dahulu, kaum pendatang selalu digambarkan sebagai orang jahat atau raksasa (durung Jawa/berangasan). Sedangkan orang Jawa beserta penguasanya adalah satria terpilih yang berbudi serba halus layaknya sosok Pandawa itu. Pendek kata Jawa beserta kekuasannya digambar tanpa tanding dan cacat sehingga para dewa di Jonggring Saloka selalu memihak kepadanya. Wahyu kekuasaan selalu bisa direngkuhnya.
Tapi dalam sosok kajian Jawa apa yang dimaksud dengan sosok Jawa dan kekuasaanya tak selamanya linear. Peneliti asal Inggris yang mengkaji sosok Diponegoro malah berkata lain. Katanya, ada perbedaan besar antara sosok orang Jawa dan budaya kekuasaan Jawa setelah usai perang besar itu di tahun 1830. Hal ini juga senada dengan apa yang berulangkali dikatakan pakar sejarah jawa UNS Solo, Prof Joe Hermanu: Di jawa itu budaya dan kekuasaanya terjadi banyak perubahan ekspresi!
Gambar Sunan Pakubuwono X mengunjungi Kampung Luar Batang tahun 1920-an.
Bila mengakaji sejarah Kesultanan Mataram setelah tahun 1830 adalah kekuasaan Jawa sudah sangat lemah. Kala itu kerajaan hanya sebagai lambang budaya saja. Kekuasaan bisnis dan pemerintahan mutlak ada di tangan pemerintah Belanda yang saat itu benar-benar eksis sebagai tuan koloni. Jalannya pemerintahan mereka atur dengan patih sebagai kepanjangan tangannya. Raja disingkirkan hanya sebatas keperluan upacara atau simbol budaya.
Uniknya, mulai tahun 1830 pula dunia pesantren yang dahulu sebagai mitra strategis kerajaan jawa kala itu dimusuhi karena dianggap sebagai pusat perlawanan kekuasaan dan dicap sebagai ekstrimis dan radikal. Bangsawan kerajaan diputus dari duna pesantren, padahal sebelumnya semua raja dan bangsawan Jawa belajar di sana. Mereka tak boleh menuntut ilmu di pesantren dan tak boleh lagi menikahi anak-anak kiai/pesantren. Para bangsawan hanya boleh kawin di antara mereka atau anak keturunan belanda. Priyayi (keluarga raja) seolah dunia yang terpisah.
Saking lemahnya kekuasaan raja Jawa saat itu, dia tak bisa menolak ketika terjadi kebijakan tanam paksa. Daerah-daerah pertanian subur oleh penguasa kolonial melalui patihnya harus menanami berbagai tanaman yang laku keras di Eropa. Kalau perlu agar eksploatasi lebih masif dibangun jalur kereta api di sekujur Jawa. Raja jawa sekali lagi tak bisa apa-apa dan sangat tergantung kepad tuan koloninya.
Hal ini pun sebenarya sudah terjadi pada masa-masa sebelum tahun 1830, yakni saat Raja Mataram menyerahkan berbagai pelabuhan penting yang ada di Pantai Utara setelah VOC membantunya memadamkan pemberontakan Trunojoyo. Jawa pun saat itu sebenarnya sudah tak independen dan makin parah setelah 1830 atau pasca kekalahan Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa. Istilah gampangnya raja Jawa di kerangkeng dalam sangkar emas. Semua kebutuhan dicukupi asal jangan coba-coba main politik, apalagi ikut-ikutan bisnis.
Imbas lainnya pun masuk pada soal religi. Sebelum 1830, yakni pada zaman VOC eksis, mereka tak bawa-bawa penyebaran agama Kristen (Zending dan Misi) dalam pengaturan kekuasaan. Ini karena VOC melihat soal 'misi kristen' ini harus dipisah karena hanya akan menuai masalah. Pihak kerajaan Mataram pun kukuh dengan menyatakan tak boleh ada pendirian gereja di wilayah Vorstellanden (wilayah kesultanan). Yang boleh berdiri hanya masjid. Bahkan, masjid dijadikan sebagai tanda batas negara (Masjid Patok Nagari). Mereka pun eksis mandiri sebagai tanah perdikan yang bebas intervensi kekuasaan dan pajak.
Nah, setelah 1830 semuanya berubah. Jawa menjadi tergadai di tangan penguasanya sendiri. Raja layaknya penguasa yang mengalami sakit terkena wabah 'bebek lumpuh' (lamb duck goverment). Dia tak lebih hanya orang gajian kolonial. Dia tak berdaya apa-apa misalnya dalam mengangkat aparat birokratnya, misalnya bupati dan Wedana, serta jabatan strategis lainnya.
Dalam kaitan dalam soal ini saya teringat percakapam malam dengan budayawan WS Rendra. Meski berasal dari kalangan priyayi kraton dia selalu mengatakan: Apa yang terjadi sekarang adalah sistem kekuasaan ala Jawa Mataram, bukan Jawa sesungguhnya.
''Ingat orang Jawa pada masa sebelum itu sangat percaya diri. Misalnya dalam era kerajaan Jawa Demak, tak ada orang lain yang berani merendahkan Jawa. Misalnya, ada seseorang yang berada ditempat lebih tinggi ketika ada orang Jawa lewat, mereka langsung diteriaki agar turun. Ini beda sekali kulturnya dengan Jawa kala era Mataram yang serba 'inggah-inggih' tak jelas,'' kata Rendra kala itu sembari makan donat.
"Apa tidak takut jadi kontroversi mas Willly'' tanyaku.
Mas Willy menjawab: ''Tidak. Sama sekali tidak takut. Saya lahir dan besar dilingkungan itu. Ingat ibu saya masih satu keturunan dengan Diponegoro!".
Mendengar semua itu saya bingung dan tercenung. Jadi siapakah Jawa hari hari ini? Pertanyaan ini sangat pantas diajukan kepada pengamat sosial dan pakar budaya Jawa yang lahir di Aceh, Abangda Fachry Ali itu.
''Sekali lagi, jadi Jawa yang mana abang? Jawa yang pra 1830 atau jawa yang pasca 1830? Jawa yang ala Demak dan Majapahit atau Jawa yang Mataraman? ya Bang Fachry"
Abang silahkan jawab. Jangan-jangan abang lupa ya karena begitu luluh ditangan kolonial, sampa-sampai tentara Marsose Belanda yang dikirim menumpas perlawaan rakyat dalam Perang Aceh dahulu ituadalah dari legiun tentara kesatuan Mangkunegara, Solo. Legiun ini juga menjadi bala tentara yang melawan Diponegoro. Dalam soal penyikapan perang Jawa, Raja Mangkunegara dan Sunan Paku Buwono memang beda sikap. Yang satu pro belanda yang satu tidak!
Ingat ya abangda Fachry, inilah yang menjadi awal mula mengapa segala yang berbau Jawa begitu dibenci di Aceh. Semua ini bisa dicek dari nama tentara Marsose yang dikubur dalam pemakaman Belanda di Banda Aceh itu. Di sana nama-nama tentara yang tewas dari Jawa terpampang. Ada nama Sutardji yang tertera lahir dari Kedung Kebo (Purworejo) sebuah daerah yang tak jauh dari Yogyakarta. ''Jadi model Jawa yang mana yang abang pilih?''
Dahulu mendiang Cak Nur dalam setiap diskusi selalu mengingatkan apa yang disebut kekuasaan Jawa. Kala itu dia bertanya: Apakah gaya kekuasaan Jawa seperti Soeharto. Apakah gaya dan model pemerintahan Orde Baru mencontoh gaya kekuasaan Mangkunegara IV yang banyak orang mengatakan sebagai 'masa puncak kekuasaan dinasti Mataram'.
Seingat saya Cak Nur lalu memberikan ilustrasi begini.''Nah ketika soal gaya kekuasaan Soeharto saya pernah cek kepada orang Jawa di Yogyakarta, mereka jawab tidak begitu. Lalu mereka kata itu mungkin gaya 'orang Kemusuk' (tempat kelahiran Soeharto). Dan saya pun cek ke Kemusuk. Orang di sana juga jawab tidak begitu. Nah, di situ saya ambil kesimpulan bahwa gaya Jawa sebenarnua gaya pribadi Soeharto sendiri. Bukan gaya budaya masyarakatnya."
Oh ya juga untuk orang Aceh seperti Om Fahmi Mada dan si anak Amber Papua yang jadi jurnalis Republika, Fitriyan Zamzami: apa komentar kalian atas ini semua. Benarkah gaya kekuasaan Jawa yang itu menjadi 'trademark' Indonesia moderen sudah berubah? Ingat ya Orde Baru eksis dengan mencontoh periode kekuasaan Mangkunegara IV. Apa kalian mau ulangi lagi?
Untuk menjawab soal ini, saya tak perlu perlakuan kasar Pangeran Diponegoro ketika memukul patih Danurejo karena banyak melakukan penyelewengan kekuasaan (korupsi). Saat itu Danurejo dipukul oleh sang pangeran atas perilaku banalnya. Dan sejak itu Danurejo yang kawan sang pangeran saat menjadi santri di sebuah pesantren berbalaik 180 derajat memusuhinya. Bahkan dia bersumpah akan mempermalukan dan melawan Diponegoro sampai kapanpun. Dan ini dia buktikan sepanjang masa kekuasaanya sebagai Patih (wakil raja) Sultan Yogyakarta.
Kini semua bisa berharap cerita sedih itu tak berulang. Ingat orang Jawa tak suka lakon hitam putih ala lakon cerita Ramayana. Mereka lebih suka lakon Mahabarata, di mana semua orang salah dan tak ada yang suci!
Sekali lagi, saya masih ingat betul nasihat Mas Willy. Katanya seraya berseru: Ratu adil tak akan pernah datang. Yang kita butuhkan adalah kekuasan dan hukum yang adil. Dan celakanya orang Jawa kesulitan mencari tahu maksud kata 'adil' itu sebab kata adil itu kosa kata serapan dari bahasa Arab.''
Ingat ya abang, kalau orang Inggris tahu padanan kata adil adalah ' justice', orang Prancis 'juste', orang Latvia menyebut adil dengan 'tikai' mengapa budaya dan bahasa Jawa --juga Indonesia - tak punya padanan lokalnya katanya. Bahkan dalam suluk pewayangan posisi adil bukan berada pada tataran tertingi, namun diletakan di bawah kata 'luhur'.
Dan disinilah saya sadar adil itu tak membutuhkan sikap pribadi dari raja, dan ini beda dengan 'luhung' yang menganggap raja adalah pusat segala kebaikan (dewa raja).
''Adil itu menyandarkan atau bertumpu pada sebuah aturan tertulis yang ditegakan oleh lembaga independen dan berlaku kepada semuanya tanpa pandang bulu. Di situ raja dan kawula tidak ada beda perlakuan. Ini sudah terjadi pada masa kerajaan Demak di mana raja bukan sebagai pemutus segalanya,'' kata mendiang mas Willy.
Jadi model Jawa yang mana yang abang pilih?