REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy, Mahasiswa Pasca Sarjana Strategi Korporasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
"Kesuksesan akan sulit terwujud jika strategi terpisah dari implementasi."
Kata-kata di atas merupakan pandangan dari seorang ahli ekonomi J Preston Broady dan T.E Hayward lewat jurnal akademisnya pada 1998. Seperti ungkapan Broady dan Hayward itu, strategi atau rencana kadang kala tidak sesuai dengan implementasinya. Itulah yang menjadi pembeda antara keberhasilan dan kegagalan.
Rencana dan implementasi berada di ruang serta waktu berbeda. Seorang pemimpin perusahaan yang baik harus bisa menyelaraskan rencana yang berada di ruang abstrak menjadi implementasi di ruang nyata.
Teori di atas bisa dipakai di berbagai sektor organisasi. Tak hanya perusahaan yang sifatnya mikro, namun juga dalam menangani negara yang levelnya sangat makro.
Kebetulan beberapa saat lagi Jokowi akan segera mengumumkan kabinetnya pada periode kedua pemerintahan. Dalam menyusun kabinetnya mendatang, Jokowi sudah menegaskan bahwa kriteria pembantunya di kabinet adalah orang yang tak hanya memiliki ide, tapi kemampuan mengimplementasikan ide tersebut. Seperti diutarakan Jokowi pada pidato pelantikannya, dia juga berharap impelemtasi program itu mampu langsung dirasakan manfaatnya oleh rakyat.
Berangkat dari kriteria Jokowi itu kita pantas menaruh harapan besar pada kabinet mendatang. Apa pun afiliasi atau preferensi politiknya, sebagai warga negara yang baik kita tentunya berharap kabinet mendatang bisa membawa kesejahteraan bagi segenap elemen bangsa.
Membentuk bangsa yang sejahtera bukan semudah menyusun diksi-diksi dalam artikel ini. Apalagi jika bangsa itu terdiri dari 260 juta populasi. Butuh pikiran dan tenaga. Tak sekadar kata-kata melainkan pembuktiannya.
Di Indonesia, mungkin kita tidak akan kehabisan bakat mencari talenta yang jago olah kata. Tapi yang sulit mencari orang-orang yang bisa mewujudkan perkataannya dari alam pikiran menjadi implementasi di dunia nyata.
Jika diibaratkan, bangsa ini tak pernah kesulitan mencari bakat komentator sepak bola. Tapi kesulitan mencari orang yang bisa bermain di atas lapangan.
Agaknya pengibaratan ini relevan dikaitkan dengan kriteria Jokowi dalam menetapkan siapa menteri di kabinetnya. Publik tentunya berharap orang-orang yang kelak diberi amanah bukan hanya punya karakter bak komentator sepak bola.
Harapan besar tentunya kabinet nanti terdiri dari pemain yang mahir 'merumput' di atas lapangan. Menteri yang memang jago di bidangnya. Tak peduli menteri itu dari latar profesional atau partai.
Kita tahu pada periode kedua pemerintahan, Presiden Jokowi punya mimpi besar untuk membangun fisik sekaligus manusia Indonesia. Ini agar Indonesia mampu mengejar ketertinggalannya dari bangsa lain di dunia. Apalagi dunia sekarang memasuki era digital yang mana persaingan ekonomi, sosial, politik, maupun budaya telah menembus sekat-sekat batas negara.
Indonesia sebagai negara besar jangan sampai hanya jadi penonton apalagi korban dari persaingan itu. Karenanya, mimpi Jokowi untuk membangun manusia unggul Indonesia pada periode kedua ini jadi sangat relevan.
Sebuah mimpi besar yang bisa diwujudkan oleh pembantu presiden yang punya keseimbangan kemampuan perencanaan strategi, formulasi ide, hingga mewujudkannya. Menangani negara tentunya tidak mudah. Lantas bagaimana bisa sukses menangani negara yang levelnya makro itu, jika di level mikro saja gagal. Wahasil, dalam menangani negara butuh tenaga yang sudah teruji di level lebih kecil alias mikro.
Kemampuan memikul tanggung jawab pada organisasi sebesar negara bisa juga tercermin pada kemampuan mereka menangani organisasi di level lebih mikro, dalam hal ini perusahaan atau partai politik. Sebagai bagian dari anak bangsa, saya sangat lega dengan munculnya bocoran nama menteri di kabinet periode kedua Jokowi. Ada nama pengusaha sukses, milenial kreatif, hingga sejumlah politikus dengan track record mumpuni.
Nama-nama yang sudah teruji kapasitasnya dalam mewujudkan ide menjadi nyata. Sejumlah nama yang beredar sejauh ini banyak menampilkan sosok praktisi atau profesional yang tak hanya bisa mengimplementasikan ide bagi organisasinya sendiri. Tapi ide di level mirko itu bisa mengubah tatanan makro. Bahkan level dari kinerja nyata mereka sudah bukan lagi di level nasional, melainkan dunia.
Di sisi lain, dalam ilmu strategi manajemen, seorang pemimpin mesti punya kelenturan dalam merenpons lingkungan yang dinamis. Apalagi dalam hal menangani negara yang mana kondisi bisa berubah hanya dalam hitungan detik. Butuh kreativitas tak hanya dalam planning melainkan juga learning atas kondisi yang terjadi.
Ini seperti teori yang disampaikan Rosalia Lavarda lewat jurnalnya yang dimuat Euorpean Business Review pada Januari 2011. Lavarda mengatakan, pemimpin organisasi yang kompleks di lingkungan yang dinamis mesti punya kemampuan untuk mengintegrasikan nalar planning strategy dan learning strategy.
Planning strategy berbeda dengan learning strategy. Planning berdasarkan perencanaan matang dengan menggunakan pendekatan literasi dan sifatnya memprediksi. Sedangkan learning strategy sifatnya merespons lingkungan yang butuh kreativitas, intuisi tinggi, serta refleks yang tangkas. Jika dipersingkat, Planning adalah strategi sebelum mengeksekui, sedangkan learning respons alternatif jika strategi planning tidak berjalan.
Pandangan Lavarda ini berdasarkan landasan yang disusun seorang Henry Mintnzberg. Pengarang buku The Strategy Process itu menilai perencanaan hanya salah satu elemen sukses dalam strategi manajemen. Lebih penting dari itu, seorang pemimpin juga mesti punya kemampuan untuk bereaksi secara cepat untuk mempelajari perubahan lingkungan yang bisa membuat planning awal tidak terlaksana.
Masih menurut Mintzberg, seorang pemimpin yang baik mesti mencari solusi alternatif mengatasi planning yang tak terwujud dengan menyusun rencana cadangan. Semua langkah itu akan efektif dilakukan seorang pemimpin yang pandai dalam membangun budaya organisasi bottom-up. Mintzberg memandang pemimpin yang pandang membangun budaya bottom-up adalah pemimpin yang bakal mendapat banyak alternatif solusi dari sebuah masalah.
Sebagai contoh, seorang menteri boleh saja memiliki segudang kajian akademis yang kemudian di susun dalam program rencana kerja. Tapi terkadang rencana yang sudah disusun lewat kajian akademis itu tak sesuai dengan kondisi lingkungan yang berubah cepat.
Pada saat inilah seorang pembantu presiden mesti punya daya mempelajari lingkungan yang cepat. Sehingga waktu dan peluang tak terbuang percuma. Kecepatan bereaksi perubahan lingkungan itu akan berfungsi jika organisasi kementerian bekerja dengan karakter kreatif (bottom-up) bukan birokratis (top-bottom).
Apalagi di era digital seperi saat ini, Indonesia perlu menteri-menteri yang punya karakter seperti dikatakan Mintzberg, yakni kreatif bukan birokratis. Sehingga waktu yang ada tak hanya terbuang untuk wacana, wacana, wacana, melainkan aksi nyata.
Kita tentu berharap siapa pun nanti yang mendapat amanah bisa sukses menjadi pembantu Presiden dalam mewujudkan janji-janji politiknya. Tak peduli dari mana latarnya, asal bisa membawa kesuksesan dan kesejahteraan bersama patut kita dukung bersama.
Siapa pun dia orangnya asal mampu menjalankan ide besar untuk diwujudkan secara besar pula. Tidak peduli siapa menterinya asal bisa membantu Presiden mewujudkan kesuksesan pada periode kedua pemerintahannya. Mengutip kata-kata mantan pemimpin Cina, Deng Xiaoping: "tidak peduli kucing itu hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus!”.