REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Neni Nur Hayati, Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP), Aktivis Nasyiatul Aisyiyah
Publik baru saja dikejutkan atas Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap salah satu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia yang berinisial WS bersama tiga orang lainnya atas kasus dugaan penerimaan hadiah/janji terkait dengan proses pergantian antar waktu anggota DPR RI. WS ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada hari Rabu, (8/1/2020), kemudian hari Kamis ditetapkan sebagai tersangka.
Hal ini menjadi keprihatinan sekaligus pukulan yang sangat berat bagi penyelenggara pemilu. Pelajaran dan peringatan yang sangat berharga bagi seluruh pemangku kepentingan agar dapat bekerja sesuai aturan perundang-undangan yang telah ditetapkan.
Peristiwa tersebut telah meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilu yang sudah terbangun lama. Padahal, di tahun 2020 ini akan digelar pilkada serentak di 270 daerah yang tersebar di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota, menjadi tantangan yang cukup berat untuk kembali memulihkan kredibilitas KPU agar publik tetap percaya dengan apa yang dikerjakan oleh KPU.
Jika melihat Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 16 Tahun 2019, tahapan pencalonan perseorangan akan dimulai pada 16 Februari 2020. Tahapan pencalonan ini dinilai cukup rawan terjadinya gratifikasi atau suap yang dilakukan oleh kandidat pasangan calon dan penyelenggara pemilu. Potret yang cukup nyata terjadi di Pilkada 2018, di mana terjadi kasus gratifikasi atau suap untuk meloloskan salah satu pasangan calon bupati dan wakil bupati Garut pada tahapan pencalonan.
Beberapa kasus dugaan penerimaan suap yang selalu terjadi pada setiap pemilihan, nampaknya belum menjadikan efek jera untuk penyelenggara. Sebab, hal ini selalu terus menerus terjadi dan terulang.
Perbuatan yang mencederai demokrasi ini perlu diberangus, jangan terlalu lama dibiarkan mengendap. Apresiasi yang setinggi-tingginya terhadap KPK yang telah mengusut tuntas semua kasus korupsi yang marak terjadi di negeri ini. KPK telah berhasil menyelamatkan triliunan uang negara. Namun yang sangat disayangkan saat strategi pencegahan yang selama ini dilakukan ternyata tidak dapat sepenuhnya menjamin kasus korupsi di Indonesia ini menjadi surut. Malah yang terjadi ancaman korupsi itu semakin nyata.
Meski begitu tidak berarti pencegahan dikatakan tidak berhasil. Terkadang memang, pelaku dugaan korupsi tersebut dilakukan oleh orang yang dalam sehari-harinya terlihat baik, ramah dan paham ilmunya.
Barangkali tidak ada satu pun yang dapat menyangka bahwa kasus suap terjadi di tubuh penyelenggara pemilu, yang selama ini gencar melakukan sosialisasi dalam memberikan pendidikan politik kepada pemilih untuk tolak money politic.
Bahkan, lembaga ini yang mendorong isu mantan koruptor tidak bisa mencalonkan menjadi anggota legislatif dan kepala daerah. Ini artinya tidak ada satu orang yang dapat menjamin integritas seseorang. Termasuk hasil psikotes sekalipun.
Menurut Agni Indriani (2015) ada 5 faktor yang dapat melemahkan integritas. Pertama, rendahnya nilai religiusitas, disiplin serta etika dalam bekerja serta adanya sifat tamak, egois dan mementingkan diri sendiri. Kedua, tidak adanya goodwill serta keteladanan dari pemimpin untuk meningkatkan integritas. Keputusan pemimpin yang berlawanan dengan ketentuan perundang-undangan dapat menyebabkan runtuhnya integritas.
Ketiga, sistem dan prosedur yang tidak transparan dan efektif. Keempat, struktur organisasi yang tidak sistematis, tidak memiliki tujuan yang jelas, tumpang tindih pembagian tugas dan adanya persaingan yang tidak sehat. Kelima, budaya kerja yang tidak mementingkan integritas.