Senin 20 Jan 2020 07:03 WIB

Saatnya Back to Basic

Apapun bentuknya, asuransi fungsi utama untuk melindungi nasabah.

Iman Sugema
Foto: Republika/Da'an Yahya
Iman Sugema

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Iman Sugema

Kerugian besar yang menimpa Jiwasraya dan Asabri menyadarkan kita semua tentang pentingnya mengembalikan industri asuransi ke fungsi dan tujuan awalnya sebuah perusahaan asuransi dibentuk.  Dalam bahasa popular, setiap perusahaan asuransi harus back to basic.  Atau dalam bahasa NU disebut sebagai kembali ke kithah.

Sebuah perusahaan asuransi, apapun bentuknya, baik itu asuransi jiwa ataupun asuransi umum, memiliki fungsi utama untuk melindungi nasabah dari berbagai risiko yang tercantum dalam polis.  Bagaimana kalau ternyata perusahaan asuransi gagal dalam melindungi nasabah dari risiko?  Jelas perusahaan asuransi tersebut tidak layak lagi disebut insurer atau pelindung.

Dari berbagai kasus gagal bayar perusahaan asuransi dalam negeri maupun global, ada satu benang merah yang dapat kita ambil pelajaran.  Pada umumnya, perusahaan asuransi menjadi insolvent dan illiquid karena kerugian dalam mengelola asset.  Kalau nilai asset tiba-tiba mengempis, maka kewajiban menjadi lebih tinggi dibanding asset, dan pada saat itulah sebuah perusahaan secara teknis telah bangkrut.  Kalau sudah seperti ini, alternatifnya hanya ada dua yakni rekapitalisasi dan atau  melakukan perbaikan di sisi nilai asset.  Tapi, langkah kedua ini biasanya melibatkan rekayasa keuangan yang harus ditempuh selama bertahun-tahun.

Apapun masalahnya, perusahaan asuransi selalu menghadapi risiko dari dua sisi, yakni sisi kewajiban dan sisi aset.  Dari sisi kewajiban, ia menghadapi risiko over-claim atau membengkaknya tagihan klaim dari nasabah.  Dari sisi ini, jarang sekali terjadi kebangkrutan karena perusahaan asuransi memiliki risk pooling mechanism.

Sejatinya, perusahaan asuransi adalah pool of risk atau kolam risiko.  Sebuah kolam memiliki inlet dan outlet yang harus dijaga keseimbangannya agar kolam tidak kering.  Dalam konteks asuransi, inlet adalah cash inflow dari iuran nasabah, sedangkan outlet adalah cash outflow akibat adanya klaim dari nasabah.

Untuk masalah cash inflow dan outflow ini, pada umumnya perusahaan asuransi sudah memiliki ahli aktuaria yang canggih untuk menjaga keseimbangan antara iuran dan klaim.  Inilah bisnis tradisional industri asuransi yang tak bisa disediakan oleh industri jasa keuangan lainnya.  Dalam bidang inilah sebetulnya terletak keunggulan kompetitif industri asuransi.  Jadi, sepanjang sebuah perusahaan asuransi tetap berada di lini bisnis tradisional, sepanjang itu pula ia akan sustainable.

Harap diingat bahwa, bisnis tradisional asuransi adalah menyediakan jasa penjaminan terhadap risiko yang dihadapi oleh nasabah.  Mekanisme pool of risk sudah dengan sendirinya menyediakan keamanan dana nasabah.  Tanpa pengelolaan asset yang canggih sekalipun, mekanisme ini seharusnya sudah bisa menjamin kelangsungan usaha asuransi.  Justru kecanggihan asuransi terletak pada penerapan ilmu aktuaria, bukan pada financial engineering.   Aktuaria merupakan sumber keunggulan kompetitif industri asuransi.

Justru, ketika sebuah perusahaan asuransi keluar dari bisnis tradisionalnya ia terekspos pada jenis risiko dari sisi kedua yakni risiko pengelolaan asset.  Ketika perusahaan asuransi berperan mirip perusahaan manager investasi, maka ia harus menghadapi risiko naik turunnya nilai asset.  Pada saat yang sama terdapat kecendurangan perusahaan asuransi beroperasi mirip sebuah bank yakni mengumpulkan dana masyarakat dengan jaminan kepastian imbal hasil.  Kalau sudah begini, persoalannya menjadi jauh lebih rumit.    Masalahnya, siapa yang bisa memberi jaminan kepastian atas sesuatu yang sama sekali tidak pasti.  Praktek seperti ini sudah jauh keluar dari pakem aktuaria.

Ilmu statistik berkandaskan pada teori asimtotik atau the law of large number.  Hukum bilangan besar menyatakan bahwa kalau sebuah kejadian berulang dalam jumlah yang besar maka peluang kejadiannya dapat kita perkirakan.  Misalnya, rata-rata harapan hidup penduduk Indonesia adalah 64 tahun.  Ini berarti bahwa pada umumnya rakyat Indonesia akan berumur hingga 64 tahun.  Tentu akan ada orang yang umurnya hingga 100 tahun dan ada pula yang hanya 30 tahun saja.  Sebaran usia ini biasanya bisa diperhitungkan secara akurat oleh ahli statistik dan perubahannya bisa dimonitor setiap saat.  Namun hal ini tidak bisa dipakai untuk memperkirakan umur seseorang atau sekelompok orang.  Ini berlaku untuk orang Indonesia “pada umumnya”. 

Kata pada umumnya inilah yang kita maksudkan sebagai pool of risk.  Kalau perusahaan asuransi menyediakan asuransi kematian maka para aktuaris sudah bisa memberikan penilaian berapa peluang seseorang pada umumnya akan meninggal pada usia tertentu berdasarkan distribusi peluang yang sudah baku.

Yang jadi masalah adalah ketika perusahaan asuransi keluar dari kaidah bilangan besar seperti di atas.  Investasi pada segelintir saham yang sangat berisiko tinggi adalah salah satu contohnya.  Bagaimana mungkin penyedia asuransi bisa menyediakan jaminan bila asetnya diinvestasikan pada instrument berisiko tinggi?

Nasabah sebaiknya mulai mawas diri bahwa perusahaan asuransi bukanlah perusahaan yang mampu menjamin high return.  Hukumnya adalah high return, high risk.  Kalau ingin hasil yang tinggi, anda harus bersedia menanggung risiko.  Jelas, tempatnya bukan di perusahaan asuransi. Regulator sebaiknya mulai berbenah agar perusahaan asuransi kembali ke kithahnya.  Keamanan keuangan industri asuransi harus menjadi perhatian utama.  Tanpa itu, uang nasabah tak akan pernah aman. Saatnya, industri asuransi back to basic.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement