REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Iman Sugema
Kerugian besar yang menimpa Jiwasraya dan ASABRI menyadarkan kita semua tentang pentingnya mengembalikan industri asuransi ke fungsi dan tujuan awal sebuah perusahaan asuransi dibentuk. Dalam bahasa populer, setiap perusahaan asuransi harus back to basic, atau dalam bahasa NU disebut sebagai kembali ke khitah.
Sebuah perusahaan asuransi, apa pun bentuknya, baik itu asuransi jiwa maupun asuransi umum, memiliki fungsi utama untuk melindungi nasabah dari berbagai risiko yang tercantum dalam polis. Bagaimana kalau ternyata perusahaan asuransi gagal dalam melindungi nasabah dari risiko? Jelas perusahaan asuransi tersebut tidak layak lagi disebut insurer atau pelindung.
Dari berbagai kasus gagal bayar perusahaan asuransi dalam negeri maupun global, ada satu benang merah yang dapat kita ambil pelajaran. Pada umumnya, perusahaan asuransi menjadi insolvent dan illiquid karena kerugian dalam mengelola aset. Kalau nilai aset tiba-tiba mengempis, kewajiban menjadi lebih tinggi dibandingkan aset. Pada saat itulah sebuah perusahaan secara teknis telah bangkrut.
Kalau sudah seperti itu, alternatifnya hanya ada dua, yakni rekapitalisasi dan/atau melakukan perbaikan di sisi nilai aset. Tapi, langkah kedua ini biasanya melibatkan rekayasa keuangan yang harus ditempuh selama bertahun-tahun.
Apa pun masalahnya, perusahaan asuransi selalu menghadapi risiko dari dua sisi, yakni sisi kewajiban dan sisi aset. Dari sisi kewajiban, ia menghadapi risiko over-claim atau membengkaknya tagihan klaim dari nasabah. Dari sisi ini, jarang sekali terjadi kebangkrutan karena per usahaan asuransi memiliki risk pooling mechanism.