Ada yang seharusnya membuat kita miris menyaksikan realitas yang saat ini terjadi di tengah-tengah kaum Muslimin. Yakni, mewabahnya sikap pragmatis dalam hidup sehingga jauh dari nilai-nilai Islam, lemahnya semangat untuk menuntut ilmu, memudarnya tradisi keilmuan yang menjadi tonggak peradaban, dan rapuhnya kekuatan politik umat Islam.
Semua realitas tersebut membutuhkan jawaban dan keseriusan untuk mengubah nasib umat Islam yang tertinggal menjadi umat terdepan, umat yang maju dan kuat, baik dari segi keilmuan, budaya, ekonomi, sosial, dan politik.
Buku yang ditulis oleh seorang aktivis, pengajar, dan wartawan ini berupaya mengajak para pembaca untuk memahami peta permasalahan umat dan juga menawarkan solusinya. Melalui buku ini, penulis memberikan langkah-langkah yang seharusnya dilakukan oleh kaum Muslimin agar mampu mengembalikan kegemilangan dan kejayaan peradaban Islam yang dulu sempat menjadi cahaya yang terang bagi dunia.
Langkah-langkah tersebut, antara lain, menanamkan akidah yang kuat, mengembalikan semangat kaum Muslimin untuk menuntut ilmu, mengokohkan basis-basis keilmuan, menghidupkan semangat ilmiah dalam menyelesaikan segala persoalan, menjaga adab sebagai orang yang berilmu, serta membangun kesadaran umat dalam bidang politik.
Hal itu bisa disimak dari judul-judul kecil dalam buku yang merupakan kumpulan esai politik ini, seperti mengapa kaum Muslimin mundur; parlemen iblis; akal, adab, dan kejayaan bangsa; serta peradaban Islam, peradaban ilmu dan tulisan.
Penulis juga mengupas perbandingan pemikiran politik Mohammad Natsir, Hasan al-Banna, Abul A'la al-Maududi, dan Taqiyuddin an-Nabhani. Penulis juga menyajikan nasihat Natsir, Alfatih, dan Ali bin Abi Thalib.
"Pemikiran politik Natsir, Al-Banna, Maududi, dan An-Nabhahi hampir mirip. Tokoh Masyumi, Ikhwanul Muslimin, Jamaat Islam, dan Hizbut Tahrir ini sama-sama menginginkan berlakunya hukum Islam dalam masyarakat dan menciptakan terwujudnya negeri Islam. Namun, ada perbedaan strategi perjuangan dan metode penerapan hukum-hukum Islam dalam masyarakat dan negara." (hlm 40).
Pada bagian lain buku ini, penulis memberikan tanggapan terhadap Menlu Inggris David Miliband serta menguraikan perang pemikiran pada perguruan tinggi Islam. Di samping itu juga didapati kisah teladan dari Gubernur Said bin Amir, adab menurut cendekiawan dan ulama-ulama Melayu, serta dahsyatnya jihad harta.
Penulis juga membahas tentang Pancasila dan Islam (catatan untuk Shalahuddin Wahid), studi Islam di Barat, serta demokrasi versus teodemokrasi. Masih banyak esai politik lainnya, seperti jangan berlebihan memuji Prof Sahetapy, 22 Juni 1945 dan 5 Juli 1959, kesatuan Piagam Jakarta dan Pancasila, jangan pertentangkan Islam dan Pancasila, serta jihad pembebasan nusantara.
Buku ini bisa menjadi salah satu referensi kaum Muslimin, terutama para intelektual, akademisi, mahasiswa dan santri, ulama, guru dan dosen, para politisi, pengamat politik maupun mereka yang duduk pada pemerintahan.rep:irwan kelana ed: hafidz muftisany
Judul: Agar Batu Bata Menjadi Rumah yang Indah
Penulis: Nuim Hidayat
Penerbit: Pustaka Al-Kautsar
Cetakan: I, Maret 2014
Tebal: 348 hlm